KUNINGAN (MASS) – TIDAK bisa dipungkiri bahwa penumpang kereta api cepat ‘whoosh’ adalah konsumen pemakai jasa transportasi. Seperti diatur dalam Perpres No. 49 tahun 2024 tentang Strategi Nasional Perlindungan Konsumen, pemerintah menetapkan sektor jasa transportasi sebagai salah satu sektor strategi nasional perlindungan konsumen. Sedangkan konsumen menurut UU No. 8 Tahun 1999 adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
Saat ini tengah ramai dibicarakan polemik tentang utang kereta api cepat ke China apakah menggunakan APBN atau tidak. Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan tidak akan menggunakan uang negara alias APBN untuk menanggung utang jumbo proyek Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) atau Whoosh. Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) menanggung beban utangnya mencapai Rp 116 triliun. Menurut Purbaya, sejak superholding itu terbentuk, seluruh dividen BUMN telah menjadi milik Danantara dan tidak lagi tercatat sebagai penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Nilainya disebut bisa mencapai sekitar Rp 80 triliun per tahun. (Kompas.com, 13 Oktober 2025, 05:59 WIB)
Awalnya, pada 1 November 2021, pemerintah Presiden Jokowi mengeluarkan Penyertaan Modal Negara (PMN) sebesar Rp 3,4 Triliun untuk mengatasi pembengkakan biaya yang dialami KCIC. Setelah KCIC mendapatkan PMN, pemerintah saat itu (Presiden Jokowi) dianggap mengingkari janji oleh media massa dan sebagian masyarakat. Masalahnya, KCIC adalah proyek bisnis-ke-bisnis sehingga skema pembiayaannya tidak menggunakan APBN.
Seperti diberitakan Kompas.com, 26 Mei 2022, 10:41 WIB, dalam beberapa kesempatan, baik Presiden Jokowi (waktu itu) maupun para pembantunya, berungkali menegaskan bahwa proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung adalah murni dilakukan BUMN. “Kereta cepat tidak gunakan APBN. Kita serahkan BUMN untuk business to business. Pesan yang saya sampaikan kereta itu dihitung lagi,” kata Jokowi dikutip dari laman Sekretariat Kabinet pada 15 September 2015.
Sebenarnya sejak awal berbagai pihak telah memperingatkan bahwa proyek KCJB berisiko tinggi. Menteri Perhubungan saat itu, Ignasius Jonan, secara tegas menyatakan proyek ini tidak layak secara ekonomi dan transportasi, dengan jarak Jakarta-Bandung yang terlalu pendek untuk kereta cepat. Jonan kemudian digantikan.
Kritik juga datang dari para pakar independen seperti ekonom Faisal Basri, pengamat kebijakan publik Agus Pambagio, dan mantan pejabat BUMN Said Didu, yang menyebut bahwa proyek ini tidak hanya sarat konflik kepentingan, tetapi juga menunjukkan gejala kuat dari tata kelola yang buruk dan pemborosan negara.
Proyek kereta api cepat whoosh ini termasuk dalam daftar Proyek Strategis Nasional (PSN), artinya proyek tersebut membutuhkan restu Presiden dan didorong melalui berbagai instrumen negara. Kini, ketika proyek tersebut menimbulkan risiko fiskal dan membebani keuangan publik, pertanggungjawaban hukum harus ditegakkan.
Dalam sistem hukum Indonesia, tidak ada satu pun entitas atau individu yang berada di atas hukum. Setiap perbuatan yang menimbulkan kerugian terhadap negara atau masyarakat, baik melalui kesengajaan maupun kelalaian, wajib dimintai pertanggungjawaban.
Setidaknya ada tiga dasar hukum penting dapat digunakan dalam konteks ini, yakni Hukum Perdata (Pasal 1365 KUH Perdata), Hukum Pidana (KUHPidana, UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001), dan Hukum Administrasi Negara (UU PTUN, UU Administrasi Pemerintahan, UU Penyelenggara Negara, UU Pelayanan Publik, UU Ombudsman).
Sudah terlalu sering rakyat diberi dalih bahwa “niat pemerintah baik”, atau “proyek ini demi kemajuan bangsa”. Padahal, niat baik tidak menghapus tanggung jawab hukum jika dalam praktiknya terjadi penyimpangan, kerugian negara, atau pengabaian prinsip kehati-hatian. Justru yang lebih berbahaya adalah niat baik yang digunakan untuk menutupi ketidakcakapan, kelalaian, atau bahkan manipulasi kekuasaan. Negara bukanlah milik kelompok kecil pengambil keputusan. Jika proyek sebesar ini dilakukan dengan mengabaikan peringatan para ahli, tanpa transparansi, dan kini justru membebani rakyat.
Pertanyaannya, apakah penolakan pembayaran utang kereta api cepat menggunakan APBN ada kaitannya dengan konsumen sebagai pembayar pajak?
APBN adalah anggaran negara yang sumber utamanya berasal dari Pajak penghasilan (PPh), Pajak pertambahan nilai (PPN), Pajak bumi dan bangunan (PBB), Bea cukai, dan lain-lain. Artinya, setiap konsumen/publik, baik langsung maupun tidak langsung, menjadi penyumbang dana negara, yang kemudian dialokasikan melalui APBN. Pemerintah awalnya menyatakan bahwa Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) tidak akan menggunakan APBN. Dibiayai oleh konsorsium BUMN Indonesia dan Cina (PT KCIC), sehingga risikonya ditanggung investor.
Proyek ini tidak bersifat layanan publik (public service obligation) seperti KRL atau subsidi bahan bakar yang bisa digunakan misalnya oleh rakyat miskin, yang menurut keterangan Bank Dunia bahwa 68,3% Penduduk RI termasuk kategori miskin, yakni setara 194,7 juta jiwa, artinya rakyat miskin tidak bisa/tidak mampu beli tiket kereta whoosh, maka publik menganggap tidak adil jika dana APBN dipakai untuk menutup utang atau pembengkakan biaya kereta whoosh. Beban keuangan proyek seharusnya ditanggung oleh investor, bukan rakyat.
Jika APBN digunakan untuk membayar utang maka dana yang seharusnya bisa digunakan untuk subsidi pendidikan, kesehatan, infrastruktur daerah, dll akan dialihkan membayar hutang kereta api cepat. Melihat Perpres 49/2024 tentang Strategi Nasional Perlindungan Konsumen, dari sekian banyak sektor kehidupan rakyat di bidang ekonomi, hanya diprioritaskan 11 sektor, di antaranya sektor jasa transportasi, dan sektor lainnya adalah obat dan makanan, listrik dan gas rumah tangga; keuangan; jasa telekomunikasi; jasa pariwisata dan ekonomi kreatif; sektor perumahan, air, dan sanitasi; barang elektronik, telematika, dan kendaraan bermotor; sektor perdagangan melalui sistem elektronik; serta sektor jasa logistik.
Apabila APBN digunakan untuk membayar utang kereta api cepat, tentu sektor² lain tidak dapat berjalan karena anggarannya tersedot. Selain itu beban fiskal meningkat dan bisa berujung pada kenaikan pajak atau pengurangan subsidi di sektor lain. Di sisi lain Mantan Menko Polhukam Mahfud MD mengingatkan ancaman kedaulatan bangsa akibat utang kereta cepat Whoosh. Jika gagal bayar utang ke China, ancaman pencaplokan wilayah kedaulatan, misalnya Laut Natuna Utara.
Mahfud MD juga mengungkap dugaan mark up dalam proyek Kereta Cepat Whoosh Jakarta-Bandung, dengan biaya per kilometer jauh lebih tinggi dari estimasi Cina. “Dugaan mark upnya naik tiga kali lipat,” ungkapnya dalam akun YouTube Mahfud MD Official, dikutip Bisnis.com Kamis (16/10/2025). Sementara, Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan mengakui kondisi keuangan dalam proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) atau Whoosh sudah tidak baik sejak awal ditangani. Ia bahkan menyebutnya barang busuk. (Herald.id, 17 Oktober 2025, 15:22)
Penolakan penggunaan APBN untuk membayar utang kereta cepat sangat terkait dengan konsumen sebagai pembayar pajak. Konsumen punya hak untuk menolak karena mereka adalah pihak yang mendanai APBN. Selain itu proyek tersebut awalnya tidak dijanjikan menggunakan uang rakyat sehingga ada kekhawatiran beban fiskal akan dialihkan kembali ke masyarakat sebagai konsumen pembayar pajak.
Bahkan meski klaim pengambilalihan Pulau Natuna belum terbukti, tidak berarti tidak ada risiko bilateral atau diplomatik dalam proyek utang semacam ini. Risiko semacam “utang bumerang”, “conditionalities”, atau “utang pertukaran aset”, dalam konteks utang luar negeri dapat saja hal ini terjadi.
Untuk itu terhadap proyek kereta whoosh ini sudah saatnya dilakukan audit investigatif menyeluruh oleh BPK dan KPK. Penelusuran aliran dana dan kemungkinan korupsi/markup. Menetapkan pertanggungjawaban hukum secara perdata, pidana, maupun administratif terhadap aktor-aktor utama pengambil keputusan. Evaluasi menyeluruh terhadap seluruh Proyek Strategis Nasional yang rawan pemborosan dan konflik kepentingan.
Negara hukum tidak boleh tunduk pada proyek-proyek yang merugikan rakyat. Keputusan yang terbukti keliru dan membahayakan kepentingan publik wajib dipertanggungjawabkan secara hukum, apa pun status dan kekuasaan yang dimiliki pelakunya. Rakyat Indonesia berhak mendapatkan keadilan, bukan hanya dalam pengadilan, tetapi dalam setiap kebijakan publik yang dijalankan. (***)
Penulis : Dr. Firman Turmantara Endipradja, SH., S.Sos., M.Hum dosen Politik Hukum Perlindungan Konsumen Pascasarjana Univ. Pasundan/Dewan Pakar Ekonomi Majelis Musyawarah Sunda (MMS)/Mantan Anggota BPKN RI (periode 2013-2016 & periode 2020-2023).
————–
