KUNINGAN (MASS) – Rotasi dan mutasi aparatur sipil negara (ASN) di Kabupaten Kuningan kembali menjadi sorotan. Alih-alih menjadi instrumen reformasi birokrasi dan peningkatan kinerja pemerintahan, kebijakan tersebut dinilai justru mencerminkan logika kekuasaan yang sarat kepentingan politik.
Firgy Ferdansyah, Ketua Permahi mempertanyakan hal tersebut, apakah itu bagian dari penyegaran organisasi, atau sekadar seremoni kekuasaan.
Menurutnya, dalam sistem tata kelola pemerintahan yang sehat, rotasi dan mutasi ASN seharusnya dilandaskan pada prinsip meritokrasi, evaluasi kinerja objektif, serta semangat pemberantasan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Ia mengatakan, Bupati sebagai kepala daerah yang memiliki wewenang dalam manajemen kepegawaian, termasuk melakukan pergeseran jabatan. Namun, penggunaan kewenangan tersebut semestinya tidak didasarkan pada loyalitas politik atau relasi personal.
Sinyal ironi paling mencolok adalah tetapnya sejumlah pejabat di Organisasi Perangkat Daerah (OPD) yang justru diduga memiliki kontribusi terhadap predikat Wajar Dengan Pengecualian (WDP) dalam laporan keuangan daerah.
Predikat WDP menunjukkan adanya kelemahan dalam penyajian data keuangan yang akuntabel dan kepatuhan terhadap aturan. Ia mempertanyakan mengapa OPD dengan catatan kinerja tidak maksimal justru tidak tersentuh oleh rotasi.
“Ini bukan semata soal teknis birokrasi. Ini menyangkut integritas pemerintahan. Ketika pejabat yang tidak menunjukkan perubahan tetap dilindungi, yang dipertaruhkan adalah kepercayaan publik,” ujar Firgy
Ia menilai, keberhasilan rotasi dan mutasi ASN seharusnya dapat diukur dari peningkatan kinerja OPD, kualitas laporan keuangan, serta penerapan sistem merit yang menempatkan pejabat berdasarkan kompetensi dan rekam jejak bersih.
ia menekankan pentingnya transparansi serta pelibatan publik dalam proses penilaian kinerja ASN, termasuk pengawasan oleh DPRD, inspektorat, hingga masyarakat sipil.
Menurut Firgy, realita di lapangan menunjukkan sebaliknya. Rotasi-mutasi ASN di Kuningan justru terkesan minim transparansi dan lebih mencerminkan upaya konsolidasi kekuasaan menjelang kontestasi politik yang lebih besar.
“Jika jabatan dijadikan alat tukar loyalitas, maka yang dikorbankan adalah etika birokrasi dan masa depan pelayanan publik,” tegasnya.
Di tengah gencarnya wacana reformasi birokrasi dari pemerintah pusat, dinamika di daerah seperti Kuningan menunjukkan bahwa jalan menuju birokrasi yang profesional dan bersih masih panjang. Yang dipertanyakan kini bukan hanya soal siapa yang diganti atau dipertahankan, tetapi untuk siapa dan demi apa kebijakan itu dijalankan. (didin)
