KUNINGAN (MASS) – Artikel ini akan menyoroti akar masalah terjadinya kerusakan dalam sistem politik di Indonesia, dengan fokus pada kerusakan sistem pemilu, sebagai salah satu komponen utama dalam sistem politik.
Kerusakan dalam komponen lainnya, seperti penyelenggara negara dan pemerintahan (eksekutif, legislatif dan yudikatif), partai politik, aktor politik, budaya politik dan kebijakan politik, juga akan disinggung seperlunya, untuk menunjukkan bahwa kerusakan sistem politik telah terjadi pada seluruh komponen utamanya.
Kemudian akan dianalisis bagaimana kerusakan itu masuk ke dalam sistem politik Indonesia melalui jaringan kepentingan global, terutama bidang politik dan ekonomi.
Artikel ini mengajukan solusi untuk kembali ke dalam sistem politik Pancasila yang memiliki konsep musyawarah dan mufakat, yang kini semakin tergerus oleh demokrasi liberal, yang tampak terutama pada komponen sistem Pemilu.
Di bagian akhir, disampaikan kesimpulan dan refleksi dengan penekanan pada pengaruh perebutan geopolitik dan ekonomi global, dimana Indonesia memiliki posisi strategis.
Pada analisis terakhir, berdasarkan perspektif Eskatologi Islam, akan sampai pada akar permasalahan utamanya, yaitu kerusakan global yang ditimbulkan oleh sifat destruktif ya’juj dan ma’juj melalui zionisme, elit global, dan oligarki politik sebagai eksekutor lapangannya.
Oligarki Politik dalam Mekanisme Pengendalian Global
Berikut adalah analisis peran oligarki politik Indonesia dalam mekanisme pengendalian global:
- Kapitalisasi Politik dan Ketergantungan pada Sistem Ekonomi Global
Oligarki politik Indonesia sangat terkait dengan elit ekonomi yang memiliki koneksi kuat dengan kapital global, seperti lembaga keuangan internasional (IMF, World Bank) dan korporasi multinasional.
Hal ini menciptakan ketergantungan pada sistem ekonomi global yang dirancang untuk menguntungkan negara maju.
Sistem ekonomi global adalah instrumen dominasi yang memperbudak negara berkembang melalui utang, privatisasi, dan eksploitasi sumber daya.
Kekayaan alam dieksploitasi demi kepentingan asing, sementara rakyat tidak menikmati hasilnya. Sementara oligarki politik mengamankan kepentingan korporasi global untuk mempertahankan kekuasaannya.
- Penguasaan Media dan Manipulasi Informasi
Sebagian besar media di Indonesia dimiliki oleh oligarki yang berafiliasi dengan kekuatan politik. Media digunakan untuk menciptakan narasi yang mendukung status quo, memanipulasi opini publik, dan mengalihkan perhatian dari isu-isu strategis.
Dajjal sering dikaitkan dengan kontrol atas informasi global, sebagaimana simbol “mata satu” yang dapat ditafsirkan sebagai dominasi media dan teknologi komunikasi. Akibatnya, informasi yang beredar jadinya selalu memihak oligarki, dan mengabaikan isu keadilan sosial. Selanjutnya, budaya materialisme dan hedonisme dipromosikan, yang menjauhkan masyarakat dari nilai-nilai spiritual.
- Politik Transaksional dan Hilangnya Nilai Moral
Oligarki politik menciptakan sistem yang berbasis uang, di mana kekuasaan diperoleh melalui transaksi finansial, bukan meritokrasi atau nilai moral. Hal ini menjadikan politik sebagai alat untuk memperkaya diri sendiri atau kelompok tertentu. Sistem Dajjal didasarkan pada penggantian nilai-nilai spiritual dengan materialisme dan keserakahan.
Politik uang merusak integritas demokrasi, mengutamakan kepentingan pemodal besar daripada kesejahteraan rakyat. Pemimpin yang dihasilkan cenderung tidak memikirkan keadilan sosial dan keberlanjutan bangsa.
- Pelemahan Kedaulatan melalui Agenda Global
Indonesia sering terjebak dalam agenda geopolitik global yang dikendalikan oleh kekuatan besar. Hal ini terjadi karena oligarki politik memiliki keterkaitan erat dengan kepentingan global demi mempertahankan kekuasaannya. Mekanisme Dajjal bertujuan mengontrol dunia melalui tatanan geopolitik yang tidak adil, di mana negara berkembang dipaksa tunduk pada negara maju.
Akibatnya, kebijakan strategis, seperti investasi asing dan perdagangan, lebih menguntungkan korporasi global daripada rakyat. Ketergantungan pada kekuatan asing melemahkan kedaulatan bangsa.
- Penghancuran Sistem Musyawarah dan Mufakat
Sistem demokrasi liberal yang diterapkan pasca-reformasi menggantikan sistem musyawarah berbasis Pancasila. Demokrasi langsung memunculkan persaingan berbasis kapital, menggantikan prinsip gotong royong dengan individualisme.
Hubungan dengan Dajjal, Demokrasi liberal dianggap sebagai salah satu alat Dajjal untuk menciptakan kekacauan sosial dan politik, khususnya di negara-negara Muslim.
Efek pada Indonesia, sistem politik menjadi arena kompetisi bebas tanpa kendali nilai moral, solidaritas sosial terkikis, lalu memperbesar jurang kesenjangan sosial dan konflik horizontal.
Akibatnya, kerusakan terjadi pada seluruh komponen sistem politik. Dalam komponen penyelenggara Negara dan Pemerintahan terjadi korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan, ketergantungan pada kepentingan politik jangka pendek, dan birokrasi yang tidak efisien.
Kerusakan dalam komponen Partai Politik tampak dari penggunaan dana yang besar untuk memperoleh dukungan politik, termasuk pembelian suara dalam pemilu, terjadinya fragmentasi dan polarisasi akibat terlalu banyaknya partai politik yang mempersulit pencapaian konsensus nasional, serta kekurangan visi yang jelas.
Banyak politisi yang lebih berorientasi pada kepentingan pribadi atau kelompok daripada kepentingan rakyat, kurangnya transparansi dan akuntabilitas. Beberapa aktor politik seringkali menghindari pertanggungjawaban kepada publik mengenai kebijakan atau keputusan yang diambil, serta penggunaan media sosial untuk kampanye politik yang lebih mengutamakan pencitraan daripada substansi kebijakan.
Dalam komponen budaya politik terjadi apatisme dan kurangnya partisipasi politik. Masyarakat sering tidak terlibat dalam proses politik karena merasa tidak ada perubahan signifikan yang terjadi. Beberapa kelompok atau individu memiliki pengaruh politik yang sangat besar, mengabaikan suara atau aspirasi masyarakat lainnya.
Dalam komponen kebijakan publik, banyak kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat dan lebih menguntungkan kelompok tertentu yang mengabaikan kepentingan umum.
Kurangnya kebijakan jangka panjang dan lebih fokus pada pencapaian jangka pendek, seperti keberhasilan dalam pemilu, daripada perencanaan jangka panjang yang berkelanjutan. Kebijakan sering tidak sesuai dengan kebutuhan dasar masyarakat, seperti pengentasan kemiskinan, pendidikan, dan kesehatan yang merata.
Keseluruhan kerusakan ini menunjukkan bahwa masalah dalam sistem politik Indonesia tidak hanya terpusat pada satu komponen, tetapi melibatkan seluruh komponen yang saling terkait dan mempengaruhi satu sama lain.
Kerusakan dalam Sistem Pemilihan Langsung
- Politik Uang (Money Politics)
Pemilihan langsung membuka peluang besar bagi praktik politik uang, di mana kandidat atau partai politik menggunakan dana untuk “membeli” suara pemilih. Hal ini terjadi karena masyarakat sering kali dipandang sebagai objek yang dapat dimanipulasi secara ekonomi.
Praktik ini merusak integritas demokrasi karena pemilih cenderung memilih bukan berdasarkan visi, misi, atau kapabilitas kandidat, tetapi karena insentif finansial. Hasilnya, kandidat yang terpilih berfokus pada pengembalian investasi politik mereka daripada melayani masyarakat.
- Kecurangan Pemilu
Pemilu langsung sering diwarnai manipulasi data pemilih, intimidasi, dan penggelembungan suara. Kecurangan ini terjadi baik di tingkat penyelenggara maupun peserta pemilu, seperti:
Penyusunan daftar pemilih tetap (DPT) yang tidak transparan, mobilisasi massa untuk memilih secara tidak sah atau penghilangan suara lawan, manipulasi hasil di tingkat rekapitulasi suara.
- Manipulasi Suara
Sistem langsung memudahkan manipulasi suara melalui berbagai bentuk pelanggaran teknis dan struktural, seperti:
Kampanye hitam untuk menjatuhkan lawan politik, intervensi oleh elite politik atau pemodal besar yang memiliki kepentingan tertentu, sehingga suara rakyat menjadi “terkooptasi”, serta teknologi informasi yang dimanfaatkan untuk rekayasa hasil pemilu.
Yang tidak kalah pentingnya adalah manipulasi hasil hitung cepat (Quick Count). Meskipun quick count adalah alat yang digunakan untuk mendapatkan gambaran awal hasil pemilu, di Indonesia manipulasi dilakukan oleh lembaga survei yang mendukung pihak tertentu. Ini dapat menyesatkan publik mengenai hasil pemilu yang sebenarnya dan memengaruhi opini publik.
Masuknya Sifat Destruktif ke dalam Sistem Politik Indonesia
- Reformasi yang Tidak Dibarengi Penguatan Moralitas
Liberalisasi politik pasca-reformasi membuka ruang bagi kapitalisme dan individualisme tanpa penguatan etika politik dan nilai spiritual. Hal ini menciptakan sistem politik yang pragmatis dan transaksional.
- Dominasi Elite dan Oligarki
Kekuasaan politik terkonsentrasi pada segelintir elite yang memiliki akses ke modal dan jaringan internasional. Mereka memanfaatkan sistem untuk melanggengkan kekuasaan, sering kali dengan mengorbankan rakyat.
- Ketergantungan pada Sistem Global
Indonesia tunduk pada tatanan ekonomi dan politik global yang dirancang untuk menguntungkan negara maju. Sistem ini memaksa negara berkembang tetap dalam posisi subordinat.
- Lemahnya Pendidikan Politik dan Kesadaran Publik
Mayoritas masyarakat masih kurang memahami hak politik dan nilai-nilai demokrasi substantif. Hal ini membuat mereka rentan terhadap manipulasi oleh oligarki.
Kembali kepada Sistem Politik Pancasila
Pancasila, melalui sila keempat, mengedepankan demokrasi yang berdasarkan musyawarah untuk mencapai mufakat, sebagaimana diatur dalam UUD 1945 sebelum amandemen.
Sistem perwakilan ini dirancang agar keputusan politik diambil berdasarkan dialog dan diskusi yang mendalam oleh para wakil rakyat.
Namun, reformasi 1998 mengubah sistem menjadi pemilihan langsung untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, dan mengurangi potensi oligarki di parlemen.
Sayangnya, pemilihan langsung membawa konsekuensi negatif yang bertentangan dengan prinsip musyawarah.
Hal ini karena pemilih sering kali tidak terlibat dalam dialog substantif, hanya menjadi “pengikut” kampanye populis, proses mufakat digantikan dengan persaingan tajam berbasis mayoritas.
Kesimpulan, Implikasi dan Refleksi
Dalam Eskatologi Islam, Dajjal, Ya’juj & Ma’juj, Zionisme, dan Elite Global terhubung dalam suatu mekanisme mata rantai pengendalian global. Dalam konteks politik Indonesia, oligarki politik dipandang sebagai bagian dari elit global yang berperan sebagai eksekutor dari mata rantai pengendalian itu. Oligarki politik memiliki mata rantainya sendiri dalam suatu sistem pengendalian melalui aktor-aktor politik yang bekerja di balik layar.
Pesan eskatologis tentang Ya’juj dan Ma’juj yang terdapat dalam Surah Al-Kahfi (18: 94-98) dan Surah Al-Anbiya (21: 95-96) menekankan bahwa mereka telah dilepaskan dari penghalang yang dibangun oleh Zulkarnain.
Pelepasan ini bukan merupakan peristiwa masa depan, melainkan telah terjadi di masa lampau, tepatnya 17 bulan setelah Nabi SAW hijrah ke Madinah bersamaan dengan pelepasan rantai Dajjal, yang ditandai oleh peristiwa sejarah monumental perubahan arah Kiblat bagi umat Islam dari Palestina ke Mekah, sehingga memungkinkan Ya’juj dan Ma’juj telah menyebar ke seluruh dunia, sejak abad ke-VII Masehi.
Mereka diidentifikasi sebagai simbol kekuatan yang menyebarkan kerusakan global, baik dalam bentuk eksploitasi ekonomi, dominasi politik, maupun kehancuran nilai-nilai moral. Karena itu, kini Ya’juj dan Ma’juj tidak terbatas pada satu etnis atau bangsa, tetapi mencakup kelompok-kelompok yang menggerakkan sistem hegemonik untuk menguasai dunia. Penyebaran mereka ke segala penjuru dunia menggambarkan infiltrasi kekuatan destruktif dalam setiap aspek kehidupan manusia.
Sifat destruktif (fasad) Ya’juj dan Ma’juj yang disebutkan dalam Surat Al-Kahfi, dalam konteks kontemporer, merujuk pada kerusakan dalam sistem politik, militer, teknologi, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, pemikiran, sistem kesehatan yang tidak sehat, moral, spiritual, lingkungan, dan seterusnya.
Ketika sifat destruktif ini dikaitkan dengan dunia kontemporer dalam sistem politik di Indonesia, maka jejaknya dapat dilihat dalam dominasi negara-negara besar atas negara-negara berkembang, baik melalui intervensi militer maupun kontrol ekonomi.
Demokrasi sering digunakan sebagai alat untuk mengontrol negara lain, sementara dalam praktiknya, banyak negara besar yang mendukung rezim otoriter demi kepentingan mereka.
Dalam konteks politik global, instrumen seperti PBB, sering kali bias dan tidak mampu melindungi kepentingan negara-negara kecil, terutama di Palestina, Suriah, dan kawasan konflik lainnya.
Mekanisme pengendalian Dajjal menggambarkan sistem global yang bertujuan mengontrol dunia melalui sistem politik, ekonomi, ideologi, dan budaya. Indonesia, sebagai salah satu negara dengan penduduk Muslim terbesar, memiliki posisi dan peran strategis dalam peta kekuasaan ini. Dalam perspektif ini, oligarki politik di Indonesia, dengan penguasaan hampir seluruh sumber daya politik, merupakan bagian dari mata rantai mekanisme tersebut.
Dengan menafsirkan Teks Profetik secara tekstual dan kontekstual sekaligus, Eskatologi Islam mengingatkan umat Islam dan dunia Islam untuk mengenali tanda-tanda zaman, memahami akar permasalahan global, dan mempersiapkan diri menghadapi konsekuensi akhir zaman dengan memperkuat kesadaran politik dan geopolitik.
Maman Supriatman (Akademisi)
والله اعلم
MS 01/12/24