KUNINGAN (MASS) – Kenalkan namaku Jia. Aku anak ke-tiga dari tiga bersaudara. Aku mempunyai kakak laki-laki dan kakak perempuan. Kakakku yang pertama bernama Jefri, kakak perempuan ku yang kedua namanya Jeliyah dan kakak tertuaku sekarang sedang sibuk bekerja, saat ini kakak kedua ku sibuk dengan pendidikannya, anaknya rajin dan pandai. Terkadang ketika aku mengalami kesulitan dalam memahami pelajaran sekolah, dia yang terdepan mengajariku sampai Aku bisa. Keluarga kami keluarga yang bahagia, hubungan ayah dan ibuku pun sangat harmoni. Ayahku adalah seorang pahlawan bagi keluarga kecil kami.
Tapi, orang-orang mengira bahwa aku seorang yang baik-baik saja. Padahal yang sebenarnya aku memiliki penyakit yang tidak mudah untuk di sembuhkan. Aku mempunyai trauma, seringkali bayangan ‘itu’ seperti datang menghantui hati dan pikiran. Ya, trauma masa itu masih membekas di hati ini sampai sekarang. Rasa takut, sedih, khawatir semua itu masih berlanjut hingga kini. Aku tidak ingin kedua orang tuaku, teman-teman mengkhawatirkanku.
Saat ini aku duduk di bangku SMA, aku baru menginjak di sekolah ini. Di sekolah ini Aku sangat senang karena memiliki teman yang sangat baik dan sayang padaku. Rasanya menjadi anak remaja adalah bagian dari hidupku yang paling bahagia dan berharga. Terlepas dari semua itu Aku masih berusia 14 tahun. Aku mempunyai kebiasaan atau pun sekedar hal rahasia yang ingin aku ungkapkan. Ketika kita hang out, sahabatku sering merasa kehilangan ku dan Mereka sibuk mencariku. Padahal sebenarnya aku itu sedang sibuk melakukan hal yang aku suka contohnya berbelanja.
Kuperkenalkan beberapa sahabatku yang selalu menyayangiku, mereka adalah Maya, Syifa, dan Echda yang selalu membuatku tertawa. Kami berempat selalu bersama-sama, susah maupun senang, suka atau duka. Banyak hal yang telah kami lakukan bersama. Kami di sekolah adalah siswa aktif yang mengikuti berbagai eskul yang ada. Tidak ada yang bisa menandingi persahabatan kami.
Pada hari Senin, ketika aku sedang belajar matematika di kelas, Aku sangat terkejut tak menyadari bahwa hidungku mengeluarkan darah segar. Aku spontan berlari menuju toilet untuk membersihkan serta meredakan mimisan ini. Aku merasakan mual, pusing dan sakit yang sangat hebat, untuk menangani sakitku ini aku pergi UKS untuk beristirahat sejenak sambil berharap sakitku akan mereda. Tapi sayangnya, sakitku ini makin tak terbenung hingga aku memutuskan untuk pulang, aku menunggu ayahku menjemputku.
Ayahku datang menjemputku untuk memeriksakannya kepada dokter, kami langsung menuju rumah sakit untuk di periksakan. Kebetulan ayahku dan Dr. Zaenal ini berteman sudah cukup lama. Aku berbaring terdiam ketika dokter memeriksa mulut dan mataku melalui senter kecil, ayahku mulai bertanya-tanya tentang penyakitku. Tetapi Dr. Zaenal hanya berkata “tidak apa-apa ini hanya flu biasa yang disebabkan karna tubuh Jia kecapean, nanti saya buatkan surat dokter untuk bed rest di rumah ya” katanya sambil membuat resep obat.
Aku dan ayahku merasa lega dengan apa yang dikatakan dokter, dugaan sementara untuk penyakitku hanya flu biasa dengan minum obat secara teratur dalam beberapa hari kedepan mungkin akan sembuh. Hari demi hari berlalu, namun ada yang aneh dengan diriku. Mataku tidak kunjung memutih dan terus memerah mengeluarkan air dan terasa perih. Hidungku terus mengeluarkan darah dalam beberapa kali sehari. Lubang hidung sebelah kiriku terasa mati rasa, Ayahku disini mulai sangat khawatir dan kebingungan, sebenarnya apa yang terjadi pada diriku ?
Karna penyakitku semakin parah dan tak kunjung sembuh, Aku dan ayahku memutuskan kembali ke rumah sakit untuk di periksa kembali. Aku takut untuk kembali berobat dan merasa sedikit gemetar, Aku menginjakkan kaki di rumah sakit untuk bertemu dengan seorang profesor, profesor itu bernama Prof. Lukman, beliau adalah seorang dokter sekaligus profesor yang terkenal di rumah sakit ini. Dan banyak mendengar bahwa beliau telah benyak menangani pasien.
Prof. Lukman mulai memeriksaku, ia melakukan tindakan awal. Kepalaku akan di CT Scan dan ini adalah pengalaman pertamaku dalam hidup ini menghadapi berbagai macam alat canggih. Di dalam benakku penuh dengan pertanyaa, ada apa dengan diriku? Mengapa hanya sebuah flu, Aku harus melakukan berbagai macam pemeriksaan.
Setelah hasil CT Scan keluar, Prof. Lukman terdiam dan terlihat berkonsentrasi memperhatikan hasil CT Scan tersebut. Prof. Lukman hanya memandangku sekilas lalu berkata padaku.
”Jia, bisa kamu keluar sebentar? Saya ingin berbicara dengan Ayah kamu. ” ujar Prof. Lukman.
”Baik prof” ujarku untuk keluar dari ruangan itu.
Keadaan menjadi sunyi, Prof. Lukman mulai menghela nafas untuk memulai pembicaraan dengan Ayahku.
”Pak Jody..” ujar Prof. Lukman pada Ayahku.
”Iya Prof, ada apa ya? Kenapa anak saya dari kemarin mimisan dan katanya dia susah untuk bernafas? Apa hasil diagnosanya Prof?” tanya Ayahku.
”Mohon Pak Jody kuat untuk mendengar semua ini” ujar Prof. Lukman
”Ada apa dengan Jia prof?” tanya Ayah.
”Putri Bapak terinfeksi penyakit Rabdomiosarkoma”
”Hah…Penyakit apa itu dok…” ujar Ayahku
”Penyakit ini dikatakan tergolong Kanker.!”
”Kanker……!?” Ayah terkejut.
”Benar Pak Jody. Putri anda didiagnosa penyakit Rabdomiosarkoma atau kanker ”
”Saya sama sekali tidak mengerti, bagaimana bisa? Tanya Ayah.
”Mohon Bapak tenangkan diri sebentar”
”Saya minta maaf untuk mengatakan kalau penyakit kanker pada putri anda adalah kanker yang termasuk ganas. Kanker yang ada dalam tubuh anak bapak sudah masuk stadium 3 dan kanker ini hanya perlu berkembang sekitar lima hari saja pak.”
“Ini adalah kasus pertama dalam hidup saya melihat kejadian pada putri Anda. Biasanya kanker ini hanya menyerang anak di bawah usia 3 tahun atau usia lanjut.”
“Tapi Prof, bagaimana bisa Jia terserang kanker yang begitu menakutkan ini!” tanya Ayah ku.
”Pak Jody. Saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk mencari penyebab kanker, namun adalah saatnya untuk mengobati kanker ini agar tidak menyerang pada organ yang lainnya.” ujar Prof . Lukman.
Ayah hanya bisa menangis, profesor berusaha untuk membuat Ayah tenang. Setelah keadaan mulai terkendali, Profesor mulai menjelaskan langkah-langkah yang harus dilakukan untuk menyembuhkan penyakitku. Prof. Lukman mengambil hasil rontgen tengkorak wajahku kemudian menjelaskan tindakan yang harus dilakukan.
”Jadi langkah yang harus dilakukan adalah mengangkat kanker ini melalui operasi. Operasi yang harus dilakukan adalah memotong tulang pipi, kemudian mata, dan setengah dari wajah pasien. Boleh dikatakan putri bapak kemungkinan akan menjadi buta dan cacat” ujar Prof. Lukman.
”Astaga Prof, kanker itu hanya sekecil kuku, mengapa operasi harus sampai seperti itu?” tanya Ayah
”Pak Jody. Prosedur pengangkatan kanker secara medis harus seperti itu. Mengenai masalah setelah operasi, Jia bisa saja melakukan operasi plastik”
”Tapi Prof, anak saya adalah seorang perempuan. Bagaimana bisa dia menghadapi masa depan setelah operasi yang nyaris menghabiskan hampir sebagian dari mahkota dia!”
”Ini adalah keputusan yang terbaik. Bagaimanapun tidak ada pilihan lain untuk kanker ini!”
”Apakah ada jaminan setelah melakukan operasi putri saya akan sembuh?” tanya Ayah dan Prof. Lukman hanya terdiam.
”Saya tidak bisa menjamin semunya. Keberhasilan sembuh pada pasien sangat kecil, apalagi melihat keadaan putri bapak yang saya bisa katakan ini adalah semua kehendak dari Tuhan.!”
”Berikan saya waktu untuk menjawab Prof. Saya harus mendiskusikan masalah ini dengan keluarga.” Ujar Ayah
”Saya sarankan pak Jody untuk mengambil keputusan secepatnya. Kanker ini berkembang sangat cepat!”
Aku mulai bosan menunggu pembicaraan Ayah dengan Prof. Lukman. Tidak lama dari sana Ayah muncul dengan wajah yang terlihat sedih
.
”Ayah.. lama banget ngobrolnya!” kataku.
”Maaf ya Jia, tadi ada hal penting yang harus Ayah bicarakan dengan Prof. Lukman.” Ujar Ayah.
Aku tak mengerti apa yang terjadi, namun saat itu juga Ayah memandangku dengan wajah sedih kemudian ia memelukku.
”Aduh Ayah, malu……..kenapa ayah tiba-tiba memeluk ku seperti ini!” Ujarku.
“Tidak apa-apa Jia, ayo kita pulang.”
Kami kembali ke dalam mobil. Tidak seperti biasanya Ayah terlihat berbeda, karena rasa penasaran Aku pun mulai bertanya.
”Ayah, apa sih kata Prof. Lukman tentang penyakit Jia?” tanyaku dan Ayah hanya tersenyum kecil dan berkata,
”Jia ini hanya sakit flu biasa. Tidak ada yang perlu ditakutkan, minum obat nanti juga sembuh.” ujar ayah.
Aku mulai merasakan ada yang salah pada tubuhku. Sebenarnya aku lebih tahu apa yang terjadi dalam tubuhku. Aku tidak ingin berpikir yang aneh-aneh, dan tidak ingin menunjukan rasa sakit pada semua orang.
Sesampai dirumah, aku langsung ke kamar untuk beristirahat. Keluarga kami berkumpul bersama tanpa Aku ketahui. Apa yang mereka bicarakan ? Tidak ada pilihan apapun dalam situasi seperti ini, yang pasti membutuhkan keputusan yang tepat untuk masa depanku. Pada akhirnya Ayah dan keluargaku memutuskan untuk mencoba pengobatan alternatif dan tradisional namun mereka juga mencoba untuk mencari informasi rumah sakit lain.
Seiring berjalannya waktu, kanker yang ada pada tubuhku itu mulai menyebar dan berkembang. Terjadi perubahan di wajahku, Aku mulai kehilangan rasa peka dan penciuman, wajahku semakin tak beraturan. Kanker itu mulai membesar seukuran bola tenis, mata sebelah kiriku mulai tak bisa melihat, kulit tipis yang berada di garis mataku mulai tertarik. Aku tak mengerti apa yang terjadi, namun Aku berusaha untuk tetap tegar.
Semua sahabatku mulai curiga dengan apa yang telah terjadi. Aku hanya bisa terdiam tanpa melakukan apapun, aku tahu mereka sangat ingin bertanya denganku apa yang telah terjadi, namun mereka merasa sungkan untuk bertanya. Mereka berusaha menerima keadaanku tanpa pernah mengeluh, mereka selalu ada disisiku dan selalu menemaniku. Itulah yang membuat Aku menjadi kuat dalam menjalankan aktifitasku, Aku bersekolah seperti biasa dan tanpa malu Aku masih bisa tertawa dengan sahabatku. Walau Aku hanya berada di kelas setiap jam istirahat saja.
Suatu ketika Aku hanya terdiam dan mulai sadar apakah semua orang yang melihatku bertanya hal yang sama? Apakah selama ini mereka diam namun sesungguhnya ingin tau apa yang terjadi? Aku merasa sedih dan hatiku terasa bagaikan teriris sebuah pisau tajam. Namun, Aku berusaha tegar Aku berlari menuju toilet, disana Aku mengurung diriku sambil terus menangis. Aku sedih dengan apa yang terjadi kepadaku, Aku sungguh merasa malu dengan semua ini. Apa yang terjadi padaku, siapa yang bisa memberikan sebuah jawaban?
Hari demi hari berlalu, disitulah aku mulai menyadari adanya keanehan pada wajahku. Hidungku terasa semakin sulit untuk bernafas, wajahku membengkak bahkan hidung dan mata sebelah kiriku terlihat keriput. Sebuah benjolan besar seukuran bola tenis mulai nampak di wajahku dan rasanya semakin membesar. Bahkan Aku sendiripun tidak sanggup untuk melihat wajahku di cermin.
Aku bertanya-tanya dalam hatiku, ada apa denganku? Siapakah yang bisa menjawab rasa sakitku ini? Ketika Aku mulai menangis dan malu karena wajahku. Aku memutuskan untuk tidak bersekolah, Aku lebih memilih mengurung diriku di kamar tanpa ada orang yang melihat diriku. Ayah dan ibuku memaklumi keputusan yang telah diambil olehku. Hingga pada akhirnya, Aku mulai menyadari satu penyakit yang ada dalam diriku Apakah tumor ini adalah penyakitku? Aku hanya bisa menangis dan marah pada Tuhan. Mengapa Aku mendapatkan penyakit ini, sedangkan setiap dokter yang Ayah bawa untukku selalu merahasiakannya padaku. Aku kesal, hingga akhirnya Aku memutuskan untuk berontak bertanya dan meminta penjelasan pada Ayah akan penyakitku ini.
Pada akhirnya aku mengetahui penyakit apa yang sedang aku alami ini. Disaat aku mengetahui bahwa aku mengidap penyakit Rabdomiosarkoma, duniaku serasa hancur berkeping-keping sepertinya sudah tidak ada harapan bagiku untuk sembuh, aku merasa Tuhan tidak berpihak padaku.
Dua bulan berlalu sejak pencarian pengobatan tradisional yang kulalui. Tiba akhirnya di pencarian terakhir yang bisa kami lakukan. Terdapat sebuah informasi seorang ustadz yang dapat mengobati segala penyakit. Kami datangi ustadz tersebut, ia tinggal di salah satu pesantren yang berada di Jakarta. Kami langsung bergegas mendatangi pesantren tersebut, tibalah Aku dan ayahku ditempat itu pada sore hari. Aku tidak turun untuk menemui ustadz itu, hanya ayah yang menemuinya. Ustadz itu menemuiku secara langsung di mobil tempat Ayah diparkirkan.
Kulihat Pak ustadz itu memandangku secara kaget lalu berkata, ”Astagfirullah Pak, anak bapak ini bukan kena tumor, tapi kanker. Saya tidak bisa kalau sudah sampai kanker. Harusnya bapak bawa ke ahlinya..!” ujar pak ustadz itu.
Dan Aku hanya terdiam dan bertanya dalam hatiku.
”Ya.. Tuhan.. Aku bukan terserang tumor, tapi kanker. Mengapa Aku mengalami nasib seperti ini?” teriak batinku.
Air mataku terus mengalir tak bisa dibendung dan rasa sedih mendalam merasuki seluruh ragaku. Selama ini Aku bukanlah terserang tumor, namun Kanker. Yang ku ketahui dari penyakit ini adalah penyakit yang mematikan! Penyakit menakutkan! Banyak hal yang kutahu akan penyakit ini namun tak pernah kuduga Aku pun harus mengalami duka ini.
Saat tiba dirumah Aku mengurung diriku, bahkan tidak ada seorang pun yang boleh mengangguku. Aku menangis, marah, kecewa dan benci terhadap semua ini, rasanya Aku ingin mati saja. Aku ingin lenyap dari dunia ini. Lenyapkan Aku dari semuanya! Aku ingin tidak ada yang melihatku. Mengisolasi diri dan tidak ada satu orang pun yang bisa membujukku untuk keluar dari kamarku.
Melihat kondisiku yang tidak stabil dan tidak ingin makan obat atau pun makanan berat, hal ini bisa membuat kondisiku bertambah buruk. Ayah mengajak orang yang tak kuduga, yaitu sahabat-sahabatku.
Mereka datang padaku, bahkan Aku sendiri tak percaya. Mereka datang dengan membawa segelas air putih dan obat-obat yang harus aku minum, sejujurnya Aku malu bertemu dengan mereka. Hal yang kulakukan ketika aku bertemu mereka di sekolah adalah berlari. Namun saat ini mereka datang padaku dengan senyum yang hangat. Syifa berkata, ”Jia, Aku tahu kamu marah terhadap kondisimu ini. Tapi menyiksa diri seperti ini bukanlah Jia yang sesungguhnya! Jia sahabatku adalah orang yang selalu tersenyum dan riang dalam keadaan apapun!” ungkapnya.
Kata-kata itu meluluhkan hatiku, Aku tidak akan lagi menangis. Aku sadar saat ini aku hanya melakukan satu kebodohan yang membuat orang disekitarku merasa cemas. Aku harus kuat dan Aku harus bisa berjuang. Mereka semua menungguhku untuk kembali sehat, Aku adalah Jia yang kuat. Sejak hari itu Aku mulai kembali menjadi diriku yang kuat, tidak ada lagi air mata yang harus kusimpan. Tetapi yang harus ku tanam untuk hari esok adalah kebahagiaan.
Ayah sungguh luar biasa, tidak ada kata pantang menyerah darinya untuk menyelamatkan hidupku. Ada yang memberi tahu suatu berita tentang kehebatan seorang Profesor yang sudah berpengalaman lebih 20 tahun menghadapi penyakit kanker. Ayah langsung bergegas mencari dan berhasil menemukan Profesor yang bernama Prof. Harry atau lebih sering dikenal orang-orang Pak Harry.
Pada hari pertama kunjungan ke tempat prakteknya, Pak Harry menyarankan Ayah untuk membawaku padanya. Mereka membuat sebuah perjanjian di sebuah rumah sakit tempat Pak Harry saat ini bekerja. Menyadari keadaanku yang tidak kunjung membaik. Akhirnya Ayah benar-benar membawaku padanya, Pak Harry terlihat ramah. Hatiku terasa senang melihatnya, orangnya hangat dan baik. Beliau meminta izin padaku untuk mengambil foto, setelah itu proses pemeriksaannya sama ketika Aku melakukan pemeriksaan di rumah sakit sebelumnya.
Kali ini hal yang lebih buruk terjadi, Pak Harry sempat tak percaya dengan apa yang terjadi padaku. Dua puluh tahun ia meniliti dan mengobati kanker, namun pada kasusku ini adalah kasus pertama dalam hidupnya. Tentunya itu tidak ia katakan padaku. Hal yang sama pun terjadi, Pak Harry memintaku untuk menunggu diluar sedangkan, ia harus bicara dengan Ayah secara tertutup. Aku menyadari bahwa ini adalah hal yang ingin mereka tutupi dariku walau hasilnya tetap sama Aku adalah penderita kanker ganas.
Di dalam ruangan Pak Harry, terjadi pembicaran antara Ayah dan Pak Harry. Hal yang sama telah dijelaskan akan penyakitku. Namun, yang membuat heran Pak Harry mengapa Aku sanggup bertahan selama dua bulan lamanya. Sebab virus kanker ini selayaknya dalam lima hari dapat membunuh pasien. Namun, untukku entah sudah berapa banyak kanker ini telah berkembang besar di wajahku, bahkan sudah sebesar buah kelapa, untuk mengimbangi kepalaku saja terasa berat sekali.
”Hal yang terjadi pada putri anda sungguh luar biasa. Bagaimana bisa Jia bertahan bahkan tadi anda sempat bilang sampai berkeliling mencari pengobatan hingga ke seluruh daerah.” ujar Pak Harry
”Jadi prof, apa yang harus saya lakukan?” tanya Ayah.
”Pak, tindakannya tetap sama. Operasi ini mengharuskan putri anda kehilangan wajah cantiknya, kanker tersebut telah bersarang di wajahnya dan harus segera diangkat agar tidak terjadi perluasan dibagian organ lain.” jelas Pak Harry.
”Saya mohon prof. Adakah cara lain untuk mengobati putri saya? Dia adalah putri satu-satunya yang saya miliki. Saya tidak sanggup melihat dia di masa depan tanpa wajah yang sempurna!” Ujar ayah menangis.
”Saya mengerti Pak, saya sangat mengerti! Tapi walau pun ada cara lain saya tidak yakin ini akan berhasil.”
”Apapun caranya selain operasi saya rela prof. Saya tidak ingin dampak buruk dari akibat semua ini masa depan putri saya sebagai taruhannya.” ujar Ayah.
Pak Harry hanya diam sejenak dan kemudian mulai bicara pilihan lain. ”Kemotrapi…mungkin cara ini bisa membuat Jia sembuh, namun saya tidak bisa menjamin sama sekali. Tetapi saya pasti akan berusaha sebisa saya!”
“Apa itu kemotrapi..?” tanya Ayah.
”Kemotrapi sejenis pemberian obat-obat tertentu yang bisa membunuh sel-sel kanker, ini termasuk obat keras. Pada kasus putri bapak, karena masih terlalu muda saya hanya takut adanya penolakan dari putri bapak.”
”Bagaimanapun cara ini bisa kita coba kan prof?”
”Bisa saja, tapi tahapnya sekitar 6 kali setiap 1 bulan sekali. Semoga dalam 3 kali kemotrapi keadan mulai membaik.”
”Saya percaya Jia sanggup menghadapinya. Saya tahu, dia anak yang kuat!” ujar Ayah.
Pilihan yang telah disepakati dan Aku hanya perlu menerimanya. Aku tahu Ayah adalah orang yang bijaksana, keyakinan itu membuat Aku semangat dalam menjalani proses ini. Kemotrapi itu dijalankan sebanyak 6 kali, Aku harus dirawat di rumah sakit dalam bebarapa hari.
Namun Aku bahagia disaat seperti ini, seluruh teman-temanku terutama sahabatku datang menemuiku. Mereka datang untuk membuatku tertawa dan membatku kuat. Aku tidak lagi kesepian dan merasa takut untuk menghadapinya. Orang-orang disekitarku memberikan semangat luar biasa kepada diriku. Menjalani kemotrapi aku merasa bagaikan makluk asing yang tiba di bumi, di tempatkan disebuah ruangan kosong, seluruh suster pun hanya terlihat matanya saja. Mereka terlihat sibuk menyiapkan obat-obat yang akan diberikan ke dalam tubuhku.
Kemotrapi itu dilakukan dengan cara di suntikan melalui lengan tanganku. Ketika jarum itu menyentuh tubuhku, Aku tertidur. Setelah beberapa saat Aku terbangun, kemotrapi pertama itu telah selesai dilakukan.
Reaksi kemotrapi membuat sehelai demi sehelai rambutku berjatuhan. Hingga akhirnya, seluruh tubuhku tidak terdapat bulu atau rambut. Aku menjadi botak tanpa sehelai rambut apapun, efek obat ini sangat keras bahkan membakar jaringan lunak yang membuat diriku seolah seperti bayi yang baru lahir tanpa helai rambut.
Selain itu, Aku merasakan rasa dingin yang luar biasa ketika obat itu mulai bereaksi. Pak Harry mengatakan ini hanya reaksi dari obat, Aku harus bertahan untuk beberapa jam kedepan. Aku dikelilingi orang-orang yang Aku sayangi, rasa dingin itu seolah berubah menjadi hangat. Mereka selalu ada disampingku, mereka selalu memberikan kehangatan disekitarku.
Beberapa hari berlalu, Aku menjalani 6 kali kemotrapi dan hasilnya sungguh sulit dipercaya. Bagian dari wajahku yang terserang kanker mulai mengecil. Wajahku kembali menjadi normal, Aku senang dengan hasil yang memuaskan ini, bahkan Pak Harry terlihat seolah tak percaya dengan apa yang telah terjadi. Satu kalimat yang ia katakan adalah. ”Ini mukjizat Tuhan Jia, Tuhan sayang pada Jia!!”
Aku tidak menyangka ini adalah kenyataan, bukan hanya mimpi. Untuk memastikan kanker itu benar-benar lenyap, Pak Harry memutuskan untuk melakukan operasi kecil untuk mengangkat sedikit sampel kulitku untuk dilakukan pemeriksaan di labotarium, hanya untuk memastikan penyakit itu sudah lenyap. Setelah hasil tes itu keluar, Aku sudah dinyatakan telah sembuh total dan bebas dari kanker. Suka cita besar keluarga, sahabat dan saudaraku berbondong-bondong hadir dan mengucapkan selamat atas kesembuhanku. Mereka melihat ini sebagai rencana Tuhan untukku.
Setelah dinyataka sembuh, Pak Harry menyarankanku untuk melakukan pembersihan untuk membuat kanker itu lenyap, 30 hari lamanya Aku selalu datang untuk melakukan pelaseran agar dapat kembali hidup normal.
Ayah mengadakan syukuran untuk merayakan atas sembuhnya penyakitku. Seluruh keluarga besar dan sahabatku datang kerumah, tak lupa Pak Harry hadir dalam acara ini. Kesembuhan ini adalah keberhasilan luar biasa dalam ilmu kedokteran. Bahkan kasusku dijadikan sebuah seminar yang di hadiri oleh dokter-dokter dari beberapa negara maju untuk belajar dari kasusku.
Aku tidak ingin ada lagi hal yang sama terjadi di dunia ini, cukup hanya Aku yang merasakan hal ini. Aku bahagia karena bisa melalui dari cobaan berat. Walau keadaan telah berbeda namun, hal itu tidak akan membuat Aku lupa akan kejadian masa lalu.
Harapan yang Aku nantikan akhirnya telah datang, doaku selama ini telah di dengar oleh Tuhan. Kesabaran dan keihklasan ku menerima semua cobaan ini telah terbayar dengan kesembuhanku. Saat ini, Aku bisa melakukan apapun untuk hidupku yang telah terlewatkan ketika aku sakit kala itu. Aku ingin membalas segala rasa sedih yang kualami dengan keceriaan.
Kebahagian yang tak ternilai dengan apapun adalah kesembuhanku. Teman-teman dan sahabatku bersuka cita memberikan ucapan selamat kepadaku atas sembuhnya penyakit yang menimpa diriku. Senyuman tiada habisnya di wajahku entah mengapa air mata mengalir deras di pipiku, semua ini bukan mimpi. Semua ini nyata dalam menyertai hidupku, Ayah pernah berkata padaku untuk selalu ingat satu hal dalam hidup ini yaitu sejarah, belajarlah dari sebuah sejarah untuk melihat masa depan. Sejarah akan membuat kamu menjadi lebih dewasa dan lebih kuat dari apapun dan kini kuyakini itu semua adalah benar.
——
Cerpen ini merupakan karya bersama
Penulis : Nina Majlani Islami – Mahasiswa asal Cigadung dan Siti Risma Wati – Mahasiswa asal Cibinuang, Kuningan.