KUNINGAN (MASS) – Masalah klasik yang seolah terus diklasikkan. Orang yang benar-benar susah justru tidak mendapatkan jatah bansos. Sebaliknya orang yang punya motor dua berhasil mendapatkannya.
Ini merupakan curhatan salah seorang mantan wakil rakyat, Rakim Sungkar. Sebagai orang yang kerap bersentuhan langsung dengan masyarakat, pria yang tinggal di Desa Padamatang Kecamatan Pasawahan tersebut sedikit banyak tahu kondisi masyarakat di sekitarnya.
“Nunyeuseuh nyeuseuh, nungampar ngampar. Nuseubeuh seubeuh, nulapar lapar,” ungkap Rakim dalam menggambarkan kondisi masyarakat ketika dikaitkan dengan bansos yang dikucurkan pemerintah pusat.
Masalah tersebut sangat erat kaitannya dengan pendataan orang-orang yang layak mendapatkan bansos. Jangan sampai orang yang punya motor dua, punya toko atau sudah berusaha, mereka malah mendapatkan jatah bansos.
Seharusnya, hakikat bansos itu untuk membantu orang susah. Jika memungkinkan, orang susah tersebut menjadi orang mampu setelah dibantu program bansos.
“Kenyataannya, yang susah tetap susah. Malah saya prihatin, ada seorang janda tua menghidupi anak yatim, yang ketergantungan dari belas kasihan orang lain. Palingan kalau ada yang nyuruh ngoyos (nanam padi, red) dia bisa makan. Tapi gak dapet bansos, prihatin,” tuturnya sembari mengelus dada.
Apa yang dilihatnya, nyaris terjadi di setiap desa. Dirinya menilai perlu ada evaluasi dari sisi pendataan. Petugas Dinas Sosial sudah seharusnya terjun langsung ke penerima agar betul-betul tahu kondisi mereka. Karena percuma ada petugas dinas social di tiap kecamatan jika masih ada orang susah yang tetap susah.
“Nampaknya ini menyeluruh ya. Di Cirebon juga saya melihat dan mendengar keluhan yang sama. Ini memerlukan pendataan ulang. Karena perangkat desa juga ketika ditanya, jawabnya sudah mengajukan revisi tapi yang muncul tetap data lama,” ucapnya.
Rakim menegaskan, menteri sosial harus lebih peka. Apa yang dikeluhkan masyarakat mesti didengar oleh pejabat tersebut. Termasuk pejabat dinas sosial di provinsi maupun daerah. Survei langsung ke rumah-rumah penerima sudah menjadi keharusan.
“Kalau missal ungkapan saya ini dianggap hoax, silahkan ontrog saya. Kenyataannya memang seperti itu. Yang susah susah, yang senang senang. Ada orang rumahnya bagus, suaminya bekerja, punya motor dua, eh dapat bansos,” ungkap dia.
Kendati begitu, Rakim mengakui ada beberapa diantaranya orang yang sudah merasa mampu memiliki kesadaran yang tinggi. Meski terdata, ia menolak bansos tersebut untuk diberikan kepada tetangganya yang dinilai layak.
“Pokoknya tolong lakukan pendataan ulang. Petugasnya survei langsung ke lapangan, jangan menerima laporan saja. Setelah itu perjuangkan, jangan sampai data yang muncul itu data lama lagi, sampai orang sudah meninggal juga masih terdata. Perhatikan mereka yang betul-betul susah, kasihan,” pungkas Rakim. (deden)