KUNINGAN (MASS) – Bagi pria satu ini, tidak ada istilah pensiun. Meski hampir 2 tahun tidak lagi menyandang status sebagai ASN namun dirinya masih tetap menjadi “abdi negara”. Ialah Ir H Jajat Sudrajat MSi, mantan pejabat eselon II yang terakhir menempati posisi kepala Dinas PUPR.
Sebagai pensiunan birokrat sejak Agustus 2018, pria yang akrab disapa Ajat ini merasakan betul bagaimana sulitnya melepaskan rutinitas yang sudah puluhan tahun ia jalani. Kesibukan pelayanan yang telah mendarah daging.
“Kesulitan saat pensiun itu pasti dirasakan. Bagaimana kita beradaptasi dari aktivitas sebelumnya. Waktu berjalan, kesulitan pun bisa dilalui. Jangan berhenti bekerja. Pensiun bukan segalanya, bahkan tak ada istilah pensiun,” tutur Ajat.
Jika pensiun dimaknai sulit, maka dipastikan bakal terbelenggu. Justru seharusnya, pengalaman yang telah dilalui sebelumnya mesti dijadikan sesuatu yang berharga untuk bisa memberikan manfaat bagi orang lain.
“Berikan motivasi kepada orang lain, generasi penerus kita. Jadikan pengalaman agar memberikan manfaat. Jangan berhenti bekerja,” tandasnya.
QS Al Insyirah dijadikan pijakan oleh Ajat dalam melangkah. Didalamnya disebutkan, karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Pada ayat berikutnya, Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain. Dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap.
Dari landasan itulah kini Ajat serius menggeluti LPK Yuuki Training Center Indonesia yang melatih peserta magang untuk dapat bekerja di Jepang. Pengalamannya sebagai kepala Disnakertransos, termasuk jaringan yang dijalin waktu itu, dicoba olehnya dijadikan sesuatu yang dapat memberikan manfaat bagi orang lain.
“Berangkat ke Jepang, pindah ke tempat lain untuk tujuan lebih baik, mencari penghidupan yang layak, dapat dimaknai sebagai hijrah,” jelasnya usai memberangkatkan 10 calon TKI ke Jepang, Selasa (18/2/2020).
Bukan hanya hijrah, imbuh Ajat, para peserta magang itu pun memasuki tahap jihad. Sebab, budaya, adat istiadat dan agama di Jepang jelas berbeda. Untuk shalat saja, minim fasilitas bagi mereka yang beragama Islam.
“Nah tadi saya pesankan kepada calon peserta magang, meski di negeri orang, kita mesti punya jati diri. Itulah jihad. Tantangannya disitu,” ucap Ajat.
Dengan begitu maka secara otomatis mereka bertaqwa dengan menjalankan perintahNya dan menjauhi laranganNya. “Insya Allah ada kebahagiaan. Berikan manfaat pada dirinya. Pengalaman disiplinnya nanti bisa diterapkan,” pungkas Ajat. (deden)