KUNINGAN (MASS) – Ramadan, bulan penuh berkah yang setiap tahunnya datang sebagai momentum perubahan spiritual, menuntut umat Muslim untuk tidak hanya memperbanyak ibadah, tetapi juga merenungi hakikat perjalanan mereka menuju hidayah. Imam Al-Ghazali, melalui kitab Bidayatul Hidayah, menghadirkan panduan holistik yang menggarisbawahi keseimbangan antara amalan lahiriah dan penyucian batiniah, sebuah prinsip yang selaras dengan esensi Ramadan itu sendiri.
Dalam kitab ini, Al-Ghazali memaparkan struktur yang sangat terorganisir: bagaimana seorang Muslim seharusnya menjalani ibadah secara sempurna, menghindari maksiat, dan membangun hubungan yang baik dengan sesama. Esensi dari tiga tema besar ini menjadi relevan untuk kita refleksikan di tengah modernitas yang sering kali merenggut perhatian dan waktu kita dari hal-hal yang substansial.
Puasa, misalnya, bukan sekadar ritual menahan lapar dan dahaga, tetapi sebuah instrumen untuk melatih hati agar mampu melawan hawa nafsu dan membersihkan diri dari noda-noda spiritual seperti keserakahan, amarah, dan keangkuhan. Inilah bentuk nyata dari ibadah tarkiyyah yang ditekankan Imam Al-Ghazali: meninggalkan segala hal yang menjauhkan kita dari Allah. Dalam kaitannya dengan Ramadan, tantangan ini hadir dalam rupa yang lebih luas, seperti melawan godaan untuk mengabaikan makna spiritual ibadah dan tenggelam dalam rutinitas semata.
Selain itu, Imam Al-Ghazali mengingatkan kita untuk memperkuat ibadah fi’liyyah, yaitu melaksanakan amalan-amalan ibadah dengan konsistensi dan niat yang tulus. Di bulan Ramadan, ini dapat diwujudkan melalui salat malam, tadarus Al-Qur’an, dan memperbanyak doa. Namun, ia juga menegaskan bahwa inti dari ibadah tersebut adalah keikhlasan. Tanpa keikhlasan, ibadah hanyalah sekadar kebiasaan tanpa jiwa. Pesan ini sangat relevan di zaman sekarang, di mana pencapaian spiritual sering kali tergantikan oleh pencitraan ibadah di ruang publik.
Bagian terakhir dari kitab ini, yaitu pembahasan tentang muamalat, mengingatkan kita akan pentingnya hubungan sosial yang baik sebagai bagian tak terpisahkan dari perjalanan spiritual. Ramadan memberikan kesempatan bagi kita untuk merefleksikan hubungan kita dengan keluarga, tetangga, dan masyarakat secara umum. Kegiatan seperti berbagi dengan fakir miskin melalui zakat fitrah atau sedekah adalah aplikasi nyata dari ajaran Imam Al-Ghazali tentang akhlak mulia dalam interaksi sosial.
Pesan besar yang bisa kita ambil dari kitab Bidayatul Hidayah adalah bahwa perjalanan menuju hidayah dimulai dari penyadaran diri, pengendalian nafsu, dan penguatan hubungan kita dengan Allah serta sesama manusia. Ramadan adalah wadah sempurna untuk mengimplementasikan pesan ini. Dalam keheningan sahur dan keramaian buka puasa, kita diajak untuk merenungi sejauh mana diri kita bergerak menuju pintu hidayah.
Imam Al-Ghazali, dengan kebijaksanaannya, mengajarkan kita bahwa kebahagiaan spiritual sejati bukanlah hasil dari pencapaian eksternal, melainkan buah dari keselarasan hati, pikiran, dan tindakan. Ramadan hadir untuk menyelaraskan semua aspek ini, sehingga kita dapat menjalani hari-hari berikutnya sebagai Muslim yang lebih baik.
Semoga kita mampu mengambil pelajaran dari pemikiran beliau, sehingga Ramadan kali ini benar-benar menjadi bulan transformasi, bukan sekadar rutinitas tahunan. Mari kita jadikan setiap detiknya berarti, seperti halnya pesan agung dari seorang ulama sufi besar yang tak lekang oleh zaman.
Ali Khowas Abdul Basith, M.H.
Imam Masjid Al-Ikhlas, Puncak Cigugur
