KUNINGAN (MASS) – Ketika sector pendapatan pada APBD segitu-gitunya, kedepan Kuningan perlu meningkatkan kemampuan keuangan daerah. Sumbernya dua yaitu sumber local dan sumber dari luar yang dimasukan ke dalam diluar APBN. Pernyataan itu dilontarkan salah seorang anggota DPR RI Fraksi PKB, H Yanuar Prihatin, Minggu (26/2/2023).
Untuk sumber local, bagaimana melakukan optimalisasi retribusi dan pajak daerah. Namun batas maksimal dari dua sector tersebut bisa diukur. Sehingga perlu sumber kedua, yaitu bagaimana mencari supporting dari luar supaya mereka mau menginvestasikan uangnya di Kuningan.
“Bagaimana mengundang kekuatan luar untuk mengembangkan uangnya di Kuningan. Di dewan, tiap hari itu ributnya uang yang sudah ada. Mestinya naikkan keributannya terhadap duit yang belum ada. Yang membuat investor mau masuk ke Kuningan itu gimana?,” tandas Yanuar.
Dirinya punya rumus yang simple kaitan dengan kekuatan dari luar. Dikatakan, kota-kota yang maju di dunia itu punya satu ciri. Dia punya icon yang khusus, unik dan jadi magnet bagi kotanya. Tidak ada kota maju yang punya banyak item.
Yanuar mencontohkan Amerika Serikat, ketika ingin menjadi pebisnis maka datang ke Newyork. Ketika ingin jadi politisi datang ke Washington. Ketika ingin jadi artis datangnya ke Holliwood. Dan ketika ingin kaya judi datangnya ke Las Vegas.
“Jadi, semua orang terdistribusikan menurut minatnya. Tiap kota punya branding yang khas,” ungkapnya.
Bicara Kuningan, guna mencari apa yang mau dibranding, perlu dicek satu persatu. Pertama, apakah memungkinkan untuk menjadi kota industri, menurut Yanuar, Majalengka sudah leading yang diuntungkan dengan dekatnya akses ke Bandara dan jalan tol.
“Nah, kalau probabilitynya sudah begitu, lebih baik dicoret. Jangan buang-buang energy dan anggaran buat mikirin industri,” sarannya.
Kota jasa dan perdagangan, Yanuar juga berpendapat sudah diambil alih oleh Cirebon yang diuntungkan oleh letak geografis yang berada di persimpangan orang lalu lalang.
Kota pendidikan dimana pendidikan itu investasinya mahal, ia mengira orang akan lebih memilih Bandung dan Yogyakarta untuk melanjutkan studinya. Artinya, dari sisi persaingan kiri dan kanan, kedua kota tersebut sudah menang lantaran sudah mengivestasikan diri untuk pendidikan begitu lama.
Bukan berarti Kuningan jangan memikirkan pendidikan, karena menurut Yanuar, saat ini sedang berbicara branding utama atau icon branding, atau etalase depannya. Jadi, untuk menjadikan kota pendidikan perlu dipertimbangkan.
Kalau mau menjadi pusat kerajinan, atau penguatan ekonomi kecil, dirinya mempertanyakan apakah Kuningan bisa seperti Bali. Untuk menuju ke sana, Yanuar berpendapat Kuningan masih jauh. Justru Ciamis dan Tasikmalaya dinilainya lebih kuat.
Peluang terakhir, kota pariwisata. Guna mengecek wacana branding ini, ia membaginya dalam 3 klaster. Pariwisata alam, wisata religi dan wisata berbasis seni kreatif. Untuk wisata alam dengan Ciremainya, menurut dia, orang banyak memilih Gunung Tangkuban Perahu atau Gunung Bromo.
“Dari situ saja sudah kalah. Persaingannya dengan sekitar, begitu ketat. Wisata alam menurut saya sebagai supporting saja. Bukan branding utama. Nah, kalau wisata religi, orang akan lebih memilih Gunung Djati atau Panjalu, di sekitar kita,” paparnya.
Maka pilihan terakhir yakni pariwisata berbasis seni kreatif. Kekuatannya ada pada manusia, orisinalitas ide dan inovasi. Meski bergantung pada itu, namun mesti ada dasar agar bisa naik. Setidaknya ada 5 ukuran yang harus dipakai guna mengujinya.
“Apakah punya akar sejarah? Itu aspek historisnya. Lalu apakah sudah memasyarakat?. Apakah mudah diduplikasi? Investasinya murah? Prospeknya bagus gak? Pasar internasional sudah terbentuk gak?. Nah, setelah komunikasi sana sini, ketemunya Seni Angklung,” ungkap Yanuar.
Nama angklung, menurut dia, sudah banyak didengar oleh banyak orang. Akar historisnya pun ada yaitu ada seorang pencipta nada angklung tradisional yang diadaptasikan dengan angklung modern yaitu Daeng Sutikna asal Citangtu, pada zaman Belanda.
Pada perundingan Linggarjati, angklung tersebut dipentaskan. Sehingga secara akar historis, pada saat lahirnya saja angklung asal Kuningan sudah mendunia. Gen awalnya sudah bagus, sehingga kedepannya pun akan bagus.
Meski daerah lain bisa saja mengklaim seni angklung, namun pencipta nada angklung kolaborasi tradisional dan modern itu lahir di Kuningan. Menurut Yanuar, itu tidak bisa diklaim.
Untuk itu, pihaknya berpendapat perlu untuk membumikan angklung di Kuningan untuk dijadikan icon branding. Jika saja dalam setahun diadakan festival angklung maka bisa menyedot turis asing untuk datang ke Kuningan. Uang ratusan miliar bisa bergulir di Kuningan ketika festival tersebut ditonton puluhan ribu turis asing.
Bukan hanya itu, andong atau delman akan hidup lagi di Kuningan. Pengrajin bamboo akan bangkit. Ekstrakurikuler angklung di sekolah-sekolah menggeliat dan karang taruna pun dapat meliriknya. Icon branding tersebut dinilainya akan memberikan riak ekonomi masyarakat Kuningan menggeliat.
“Tinggal bagaimana political will yang diimplementasikan pada political policy. Kita bisa diskusikan, Kuningan mau kemana? Bluprintnya harus ada. Saya yakin 5 tahun cukup untuk pembrandingan tersebut,” tandasnya. (deden)