KUNINGAN (MASS) – Tanggal 14 Februari mendatang masyarakat Indonesia akan menggelar pesta demokrasi untuk memilih pasangan calon presiden dan wakil presiden, serta anggota legislatif. Masyarakat sipil selain abdi negara (TNI, dan POLRI) memiliki hak untuk memilih para calon pejabat negara tersebut melalui sistem pemilihan umum.
Indonesia sebagai negara demokrasi menjadikan pemilihan umum (Pemilu) sebagai instrumen yang digunakan untuk mengartikan kedaulatan rakyat. Hal ini tentunya sesuai dengan aturan kenegaraan yakni undang-undang dasar 1945 pasal 1 ayat 2, pasal 22 E dan lebih lanjut diuraikan pada UUD No.7 tahun 2017.
Komisi Pemilihan Umum (KPU), sebagai badan khusus kenegaraan independen yang bertugas mengurusi pemilu, sudah menetapkan jadwal dan tahapan pemilu, termasuk waktu kampanye. Hal ini tentunya sudah diatur dalam Peraturan KPU (PKPU).
Terhitung sejak 28 November 2023 lalu hingga tanggal 10 Februari 2024, para capres-cawapres, caleg, serta seluruh pendukungnya (relawan) sudah bergerak untuk mencari simpati masyarakat agar mendapatkan suara pada kontestasi pemilu kali ini.
Selama masa kampanye berlangsung, masyarakat Indonesia sering kali diperlihatkan oleh tontonan dan drama musiman yang muncul sebelum masa pemilu. Tak heran selama kontestasi menjelang pemilu suhu tensi politik meningkat serta suasana di tengah masyarakat menjadi tegang.
Saling sindir dan lempar isu antara paslon capres – cawapres, caleg serta partai pengusung membuat ajang kontestasi perebutan kursi kekuasaan pada jabatan pemerintahan menjadi semakin meriah.
Pertengkaran antar elit partai politik serta kelompok pemangku kuasa, semestinya menjadi tontonan yang menarik bagi masyarakat. Akan tetapi karena propaganda seluruh kontestan pemilu serta para relawannya yang cukup masif, akhirnya suasana itu sampai kepada masyarakat akar rumput sehingga menimbulkan polarisasi yang tak terhindarkan.
Mengapa drama pertengkaran aktor elit dan kelompok politik menjadi menarik bagi masyarakat? hal tersebut karena pada kenyataannya seringkali setelah para aktor elit serta kelompok politik tertentu menduduki jabatan pemerintahan, mereka cenderung abai dan mengecewakan masyarakat, serta bergerak untuk kepentingan kelompoknya.
Isu perusakan lingkungan, konflik agraria, maraknya korupsi, pemerintah yang arogan dan anti kritik serta tidak tegasnya para penegak hukum dsb, membuat penerapan kualitas demokrasi di negara Indonesia menjadi stagnan dan tergolong sebagai demokrasi yang cacat menurut data Economist Intelligence Unit (EIU). Hal inilah yang patut menjadi evaluasi pada setiap kontestasi pemilu.
Perwujudan demokrasi yakni kedaulatan rakyat tidaklah cukup jika hanya diartikan sebagai mencoblos kontestan pemilu pada waktunya, atau menjadi kontestan pemilu itu sendiri (kedaulatan politik). Hal tersebut dapat menyempitkan makna demokrasi.
Mohammad Hatta, sang pejuang bangsa pernah menuangkan gagasan bahwa, demokrasi kita (Indonesia) ialah demokrasi politik dan demokrasi ekonomi, keduanya diambil dari sifat dasar rakyat Indonesia yang terbiasa bermusyawarah untuk mencapai mufakat (demokrasi politik) serta melaksanakan gotong-royong untuk kesejahteraan (demokrasi ekonomi).
Lebih lanjut, prosesi pemilu beberapa hari mendatang yang juga digaungkan sebagai pesta demokrasi rakyat, merupakan salah satu instrumen dari demokrasi secara prosedural. Namun tentu masyarakat mesti juga memahami bahwasanya terdapat beberapa prinsip lain yang akan menunjang tegaknya sistem demokrasi.
Adapun diantara prinsip atas tegaknya demokrasi menurut Almaududi, diantaranya yakni; kedaulatan rakyat, pemerintahan berdasarkan persetujuan dari yang diperintah, Kekuasaan mayoritas, hak-hak minoritas, jaminan hak asasi manusia, pemilihan yang bebas dan jujur, persamaan di depan hukum, proses hukum yang wajar, pembatasan pemerintah secara konstitusional, pluralisme sosial, ekonomi, dan politik, serta nilai-nilai toleransi, pragmatisme, kerja sama, dan mufakat.
Berdasarkan hal tersebut, tentunya sudah menjadi tanggung jawab bersama untuk memberikan pendidikan serta kesadaran politik kepada masyarakat luas. Sehingga partisipasi masyarakat dalam menjaga keutuhan demokrasi tidaklah timpang.
Dengan demikian, sebagai masyarakat mestinya kita bersatu dan tidak usah larut dalam pertikaian karena beda pilihan. Biarkan pertengkaran terjadi di tingkat elit saja, masyarakat akar rumput biarlah bersatu dan beralih dari pendukung fanatis menjadi kekuatan penyeimbang pemerintah/pejabat negara dengan fungsi pengawasan ekstra.
Penulis : Hafid, Pemuda Desa Indramayu – Sarjana IAT IAIN Syekh Nurjati Cirebon