KUNINGAN (MASS) – Pembentukan lembaga penyelenggara pemilu sudah dimulai pada 1946 ketika Presiden Soekarno membentuk Badan Pembaharuan Susunan Komite Nasional Pusat (BPS-KNP), dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1946 tentang Pembaharuan Susunan Komite Nasional Indonesia Pusat (UU No. 12/1946). Namun BPS yang memiliki cabang-cabang di daerah ternyata tidak pernah menjalankan tugasnya melakukan pemilihan anggota parlemen. Setelah revolusi kemerdekaan reda pada 7 November 1953 Presiden Soekarno menandatangani Keputusan Presiden Nomor 188 Tahun 1955 tentang Pengangkatan Panitia Pemilihan Indonesia (PPI). Panitia inilah yang bertugas menyiapkan, memimpin dan menyelenggarakan Pemilu 1955 untuk memilih anggota Konstituante dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (Panitia Pemilihan Indonesia, 1958).
Undang-Undang nomor 7 Tahun 1953 tentang Pemilihan Anggota Konstituante dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (UU Nomor 7 tahun 1953) yang disahkan pada 4 April 1953 menyebutkan PPI berkedudukan di ibukota Negara, Panitia Pemilihan berkedudukan di setiap daerah pemilihan Panitia Pemilihan Kabupaten berkedudukan di setiap Kabupaten, Panitia Pemunggutan Suara berkedudukan di setiap kecamatan, Panitia Pendaftaran Pemilihan berkedudukan di setiap desa dan Panitia Pemilihan Luar Negeri. PPI ditunjuk oleh Presiden, Panitia Pemilihan ditunjuk oleh Menteri Kehakiman dan Panitia Pemilihan Kabupaten ditunjuk oleh Menteri Dalam Negeri.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) sendiri sesungguhnya merupakan jelmaan dari Lembaga Pemilihan Umum (LPU), Lembaga yang bertugas menyelenggarakan pemilu pada zaman Orde Baru. Menyusul runtuhnya rezim Orde Baru, LPU yang di bentuk Presiden Soeharto pada 1970 itu kemudian direformasi menjadi Komisi Pemilihan Umum (KPU) dengan memperkuat peran, fungsi dan struktur organisasinya menjelang pelaksanaan Pemilu 1999. Saat itu KPU diisi oleh wakil-wakil pemerintah dan wakil-wakil peserta pemilu 1999. Namun, pasca-pemilu 1999 KPU diformat ulang kembali guna mengikuti tuntutan publik yang mendesak agar lembaga tersebut lebih independen dan bertanggungjawab. Melalui format ulang dengan dikeluarkannya UU Nomor 4 tahun 2000, maka diharuskan bahwa anggota KPU adalah non-partisan, bukan dari unsur wakil-wakil pemerintah dan wakil-wakil peserta pemilu seperti pada Pemilu 1999.
KPU pertama (1999-2001) dibentuk dengan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 16 Tahun 1999 yang berisikan 53 orang anggota yang berasal dari unsur pemerintah dan Partai Politik dan dilantik oleh Presiden BJ. Habibie. KPU kedua (2001-2007) dibentuk dengan Keppres Nomor 10/P/2001 yang berisikan 11 orang anggota yang berasal dari unsur akademis dan LSM dan dilantik oleh Presiden AbdurrahmanWahid (Gus Dur) pada tanggal 11 April 2001. KPU ketiga (2007-2012) dibentuk berdasarkan Keppres Nomor 101/P/2007 yang berisikan 7 orang anggota yang berasal dari anggota KPU Provinsi, akademisi, peneliti dan birokrat, dilantik tanggal 23 Oktober 2007. KPU keempat (2012-2017) dibentuk berdasarkan Keppres Nomor 34/P/2012 yang berisikan 7 orang anggota yang berasal dari anggota KPU Provinsi, akademisi, dan LSM dilantik tanggal 23 Oktober 2012.
Pada Kamis, 2 Maret 2023 ada sekelompok oknum yang berusaha menghempit ruang demokrasi dengan berusaha menunda PEMILU di tahun 2024. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memerintahkan Komisi Pemilihan Umum untuk menunda Pemilu 2024. Perintah tersebut tertuang dalam putusan perdata yang diajukan Partai Prima dengan tergugat Komisi Pemilihan Umum. Jelas ini sudah keliru, kenapa pemilu rutin bagi demokrasi? Karena kita sangat membutuhkan sirkulasi elit. Kita sangat membutuhkan pergantian kekuasaan yang sifatnya rutin, supaya tercipta sirkulasi demokrasi yang sehat. Jadi, jika sekali saja pemilu tersendat maka bangunan demokrasi kita akan runtuh bahkan bisa saja hancur lebur.
Dalam UUD Pasal 22E “Bahwa pemilu presiden dan wakil presiden, anggota DPR RI, DPD, serta DPRD Provinsi dan kabupaten/kota dilaksanakan lima tahun sekali.” Artinya ketika ada penundaan pemilu, maka harus ada amandemen yang sifatnya politis, misalnya melalui KPU. Tapi, apapun jalannya, ini jelas inkonstitusional.
Jika penundaan pemilu benar-benar terjadi, ini akan memberikan kepercayaan diri kepada penguasa bahwa mereka bisa melakukan apa pun yang mereka inginkan. Dengan kepercayaan itu, anggapan mereka adalah rakyat sipil tak mungkin untuk mengatakan tidak.
Maka, sudah seharusnya gejolak perlawanan turun menyuarakan. Berikan pelajaran untuk para elit itu, bahwa namanya demokrasi, kedaulatan itu ditangan rakyat.
Penulis : M Hanif
Founder Ruang Muda Indonesia, Pegiat Sosial Demokrasi dan Pendidikan