KUNINGAN (MASS) – Warga Dusun Patapan, Desa Sukadana, Kecamatan Ciawigebang, Kabupaten Kuningan kembali menggelar tradisi adat Ngajenan Kabumi. Tradisi ini merupakan agenda rutin tahunan warga setempat.
Kali ini acara yang sarat dengan nilai kearifan lokal tersebut dirangkaikan dengan peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-80 Kemerdekaan Republik Indonesia, menciptakan suasana yang penuh makna dan kebersamaan.
Tradisi sendiri direncanakan akan digelar selam empat hari, yakni mulai dari 16-19 Agustus 2025. Saat ini, gelaran telah memasuki hari kedua, dimana pada Sabtu (16/8/2025) acara dimulai dengan prosesi sakral Muka Lawang sebagai pembukaan.
“Muka Lawang ini menjadi simbol pembukaan pintu menuju berkah dan keselamatan bagi seluruh warga Dusun Patapan,” ujar Kepala Dusun Patapan, Muhamad Ade Rismawan, Minggu (17/8/2025).
“Hari ini kami warga setempat menggelar upacara pengibaran bendera merah putih di Puser Dayeuh sebagai bentuk penghormatan kepada jasa para pahlawan dan ungkapan rasa syukur atas kemerdekaan bangsa,” tambahnya.
Ia menyampaikan, pada tanggal 18 kegiatan dilanjutkan dengan prosesi Babad Lembur, yaitu membersihkan lingkungan dan ruang-ruang kehidupan masyarakat. Menurut Ade tradisi tersebut memiliki makna mendalam sebagai simbol penyucian lahir dan batin, menyatukan warga dalam kebersihan dan kedamaian.
Lebih lanjut, pada tanggal 19 atau hari keempat menjadi puncak acara tradisi ini, yakni acara Ngajenan Kabumi, yang melibatkan prosesi Ruwatan dan Ajul Berkat. Kedua prosesi tersebut menjadi momen penting bagi warga setempat, sebagai ungkapan syukur kepada Sang Pencipta serta doa keselamatan untuk seluruh warga Dusun Patapan.
“Meski berada di pelosok desa dengan jarak sekitar 6 kilometer, masyarakat kami tetap menjaga tradisi ini dengan penuh semangat. Keberlanjutan adat istiadat ini menjadi perekat kebersamaan warga sekaligus peneguh identitas budaya kami,” jelasnya.
Berikut beberapa rajah yang selalu menyertai prosesi adat yang digelar warga, seperti:
Hyang Manon nu ngawening,
Nunggal dina Patapan,
Cahya rahayu mancerah,
Pamunah sangsara, panyirna balai.
Patapan rahayu sinangling,
Ngajaga jagat mandala,
Ngalenyepan kuasa Sang Hyang,
Mupus pikasieuneun, mupus sangsara.
Rahayu Patapan, rahayu nagara,
Pamulih jagat, panyinglar cilaka.
Sinar sepi, sinar jembar,
Pamunah nu ngageugeuh sukma.
Rajah tersebut menggambarkan harapan warga untuk senantiasa menjaga keharmonisan dengan alam, sesama, dan Sang Maha Kuasa.
“Tradisi ini bukan sekedar ritual tahunan, tetapi juga menjadi pengingat bahwa manusia harus selalu menjaga keseimbangan dan kedamaian dalam hidupnya,” pungkasnya. (didin)
