KUNINGAN (MASS)- Pemilihan umum (pemilu) adalah mementum bagi rakyat untuk menunjukkan legitimasinya sebagai yang berkuasa untuk menentukan siapa yang akan ditunjuk sebagai pengendali politik kekuasaannya selama 5 tahun.
Pemilu tidak untuk dimaknai sebagai perebutan kekuasaan yang sempit dan dapat menodai demokrasi yang disillusion. Pemilu tidak diperuntukan sebagai ajang panggung drama yang penuh kebohongan dan kebusukan.
Mempertontonkan sandiwara lakon yang dipuja hasil make up politik tanpa tahu arah perjuangan dalam kontestasi pesta demorasi. Senada dengan pernyataan Richard A. Joslyn, “Kampanye politik tidak ada bedanya dengan sebuah adegan drama yang dipentaskan oleh para aktor-aktor politik.”
Sedangkan seorang sastrawan pemenang Nobel 1998 kelahiran Portugis Jose de Sousa Saramago menyatakan, “Pemilihan umum telah jadi representasi komedi absurd, yang memalukan”.
Masyarakat Pemilu mau menggunakan hak pilihnya jika ada yang memberikan “sesuatu” atau hanya sekedar datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) tanpa didorong niat dan pikiran untuk perebuhan yang lebih baik, setelah dari TPS lalu menggerutu.
“kehidupan kita tidak akan berubah karena pemilu”. Itu adalah realitas yang tidak boleh dinafikan. Persoalan tersebut perlu dievalusi pendidikan politiknya.
Pemilu idelanya dimanfaatkan untuk pendidikan politik masyarakat, sebagai bagian sistem demokrasi itu bisa memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa buah demokrasi harus dinikmati oleh seluruh rakyat bukan hanya segilintir orang yang dapat membagi dan menikmatinya.
Rocky Gerung menyatakan, “Demokrasi cenderung melahirkan oligarki, karena prosedur teknis elektoral (koalisi, electoral treshold) memungkinkan terjadinya transaksi politik status quo.”
Lebih lanjut Gerung menjelaskan bahwa secara substansial demokrasi harus bertumpu pada prinsip keutamaan warganegaranya yaitu jaminan filosofis bahwa politik tidak terbagi habis dalam electoral politics. Singkatnya adalah pemilu harus berdasarkan kepentingan masyarakat bukan untuk partai politik atau golongan tertentu.
Pendidikan politik bukan hanya sosialisasi pemilu yang teknis (tata cara pelaksanaan pemilu), tetapi pendidikan politik adalah mengaktifkan kesadaran masyarakat bahwa politik sebagai alat perjuangan untuk mencapai kehidupan yang diharapkan.
Diperjuangkan, karena tidak sedikit politik dijadikan alat untuk memperkaya diri atau golongan tertentu sehingga memantik gesekan kepentingan antara yang ideal dengan yang busuk.
Maka dari itu, Max Weber, sosiolog Jerman menyatakan “Politics is a strong and slow boring of hard boards” (Politik adalah pengeboran kayu keras yang sulit dan lama).
Objek yang diperjuangkan adalah gagasan-gagasan yang bisa membidani kebijakan yang pro terhadapa rakyat. Bukan memperjuangkan dan membela siapa yang bayar tanpa tau figur dan motivasinya.
Bila kekuasaan dipimpin oleh orang-orang yang motivasinya bukan untuk membangun, maka akan menjadi kayu keras yang sulit untuk ditembus hukum bahkan kaum ideal.
Sosialisasi pemilu selama ini perlu dievaluasi, sesering apa pun sosialisasi tanpa berorientasi membagun paradigma kesadaran masyarakat akan politik, maka hasilnya tidak akan menggembirakan dan berakhir yang sifatnya “prosedural formal”.
Seringkali dibanggakan oleh penyelenggara pemilu ketika partisapasi pemilih naik. Itu adalah kuantitas dan banyak terlupakan berbicara kualitas.
ini bukan hanya pekerjaan rumah penyelenggara saja, tetapi semua pihak yang berkempentingan dalam membangun demokrasi yang berkualitas, terlebih bagi para kontestan (caleg, capres dan cawapres).
Pendidikan menurut Paulo Freire dan Buchori, mengartikan “Pendidikan sebagai upaya menghasilkan manusia yang mampu dan berani bertindak sebagai hati nurani zamannya.”
Lebih lanjut Freire menjelaskan dalam kaitannya dengan aktor dan perubahan, pendidikan memiliki tiga makna, yaitu (1) tempat untuk mendiskusikan masalah-masalah politik dan kekuasaan secara mendasar, karena pendidikan menjadi ajang terjalinnya makna, hasrat bahasa, dan nilai-nilai kemanusiaan.
Lalu, (2) tempat untuk mempertegas keyakinan secara lebih mendalam tentang apa sesungguhnya yang disebut manusia dan apa yang menjadi impiannya. Sedangkan poin (3) tempat untuk merumuskan dan memperjuangkan masa depan. Apakah pendidikan politik kita khususnya pendidikan politik di Kabupaten Kuningan sudah menyentuh 3 prinsip tersebut?
Kualitas demokrasi dapat diukur dari tingkat kekritisan masyarakat atau tentang program pemerintah yang dibuat dan progam tersebut apakah sudah menyentuh kebutuhan masyarakat atau tidak, karena pada dasarna manusia adalah mahluk politik.
Aristoteles filsuf Yunani (384-322) menyebutkan zoon politicon ̶̶̶ di samping pemenuhan hak-hak warga negara (citizen’s rights). Tingkat kekritisan masyarakat mengetahui berapa perda yang telah dibuat oleh dewan dan fungsi lainnya yang konkrit dapat dirasakan oleh masyarakat.
Ini adalah hal mendasar dan cukup sederhana dipahami, apa pun pekerjaan dan tugas yang harus dilaksanakan yang telah diwakilkan, yang mewakilkan perlu tau kinerjanya.
Pemilu mementum yang tepat untuk mengevaluasi kinerja 5 tahun mandataris rakyat. Masyarakat perlu menilai seberapa dekat dan peduli para dewan dan pimpinan daerah atau pusat terhadap masyarakat dalam memperjuangkan nasib rakyat.
Apakah meraka komitmen terhadap janji-janjinya pada pemilu yang lalu dan memposisikan diri sebagai pelayan masyarakat? Bagaimanakah dalam memenuhi hak-hak masyarakatnya (hak hidup layak, mendapat pekerjaan, untuk hidup sehat dan hak-hak yang lain yang telah diatur dalam UUD 1945)?
Selain itu yang paling penting mengetahu bagaimana kehidupan sosialnya? Pemilu ini perlu dimanfaatkan sebaik-baiknya sebagai ajang evaluasi dan melihat potensi sekiranya yang pantas untuk dipilih tentunya perlu dipilih.
Jangan sampai pemilu mengakibatkan pemilih yang dilupakan.
Maka dari itu pendidikan politi akan mengatasi permasalahan memilih kucing dalam karung atau memilih kucing dalam kertas serta pembusukan politik seperti politik uang.
Money polics adalah cara tradisional yang dirasa masih efekti untuk meraup suara dengan instan, dengan demikian adalah upaya sistemik membangun budaya politik pragmatis dan merusak. Satu suara dibayar Rp 50.000, 100.000, 200.000.
Semakin masyarakat pragmatis tidak menutup kemungkinan akan terjadi lelang suara. Transaksi politik lah yang terjadi.
Bagaimana bila masyarakat membuat kriteria bagi calon-calon yang akan mewakilinya nanti di gedung dewan, senayan sampai istana presiden dengan ukuran materialistik? Kita secara tidak langsung sedang membangun politik feodalisme dan masyarakat feodal yang dapat melahirkan banyak persoalan bagi bangsa ini.
Selamat merayakan pesta demokrasi, mudah-mudahan momentum ini bisa dimanfaatkan sebaik mungkin demi menciptakan demokrasi yang berkualitas (langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil serta aman dan damai) di samping mengedepankan politik etis, no hoax no money politics. Aamiin.***
Penulis : Arip Samsul Aripin
Ketua Umum HMI Cabang Kuningan