KUNINGAN (MASS) – Entah nama apa yang pantas selain pemilu serentak presiden dan legislatif kemarin, pesta demokrasi kah, perebutan kekuasaan kah, atau sebagai ajang pamer suara atau hanya drama ftv, tak ada yang lebih menarik selain drama Hamlet prince of Denmark.
Dalam jurnal titik temu vol 5 nomor 2, terdapat tiga aspek makna demokrasi di antaranya: aspek prosedural memiliki makna yang meliputi substansi dan partisipasi. Prosedural meliputi kompetisi, akuntabilitas dan aturan hukum. Substansi bermakna bahwasanya demokrasi menjaga hak dan kebebasan sipil, begitupun dengan berkurangnya kesenjangan dan ketidak setaraan dalam bidang politik ekonomi dan sosial. Dan dari segi hasil demokrasi harus menjadi sistem yang responsif, sistem demokrasi yang tidak responsif akan gagal memenuhi tugas utamanya yakni memenuhi kedaulatan rakyat.
Maka dari itu Cak Nur meyakini dimensi substansi dan hasil merupakan dimensi paling pokok, tapi ia pun menyadari bahwasanya tanpa dimensi prosedural dua dimensi yang lainnya tidak akan tercapai. Namun, masalahnya adalah dimensi prosedural terlalu mendominasi praktik politik modern. Sehingga dimensi yang lainnya menjadi terlantar. Dan inilah yang menjadi cermin, negara demokrasi besar seperti India sebagian masyarakatnya masih hidup di bawah garis kemiskinan.
Contoh di atas adalah salah satu keboborkan yang lumrah terjadi. Kemudian, signifikasi itu dapat kita fahami melalui demokrasi deliberatif, term deliberatif berasal dari kata deliberatio, atau deliberasi yang memiliki makna konsultasi, musyawarah atau menimbang-nimbang. Demokrasi yang memiliki sifat deliberatif ialah yang memerintah sesuai harapan yang diperintah (regierung de regierten). Diskursus publik yang dilakukan dalam proses pembentukan kebijakan yang berangkat dari opini publik. Sehingga demokrasi deliberatif menginginkan partisipasi warga negara dalam berbagai kontestasi politik.
Dari tiga dimensi di atas, kita dapat menemukan korelasinya terhadap demokrasi deliberatif. Pemilu sebagai dimensi prosedural dalam mencapai dimensi substansi dan hasil sebagai pokok dari demokrasi tersebut. Akan tetapi pemilu yang telah terealisasikan pada tanggal 19 April 2019 kemarin merupakan sebuah momen periodik yang melahirkan berbagai macam isu yang menjadi pembahasan masyarakat. Di sini pembahasan isu-isu tersebut menjadi sebuah ruang publik yang dikemukakan oleh Habermas. Menurutnya Ruang Publik adalah tempat untuk berinteraksinya warga atau masyarakat yang sifatnya tidak terbatas.
Terdapat bermacam-macam ruang publik, tempat di mana tokoh-tokoh atau aktor masyarakat membangun opini, diantaranya: Publisitas (media massa, institusi-institusi dan lain-lain), keprivatan (tempat individu dan moral berkembang), legalitas (struktur-struktur hukum umum dan hak-hak dasar), dan pluralitas (keluarga, dan kelompok-kelompok masyarakat dan organisasi-organisasi sukarelawan). Ruang Publik tidak terbatas dan tidak dapat dibatasi, di mana ada tema-tema yang relevan di sana ada Ruang Publik.
Ruang publik menjadi pusat perhatian politisi di mana momen pilpres menjadi ajang saling memperebutkan kekuasaan. Mereka membangun dan menularkan isu kepada Ruang Publik yang menjadi sarana berkembangnya opini dalam membahas tema-tema yang relevan. Tidak dapat dipungkiri jika opini-opini yang berkembang tersebut menjadi sebuah diskursus.
Jika kita lihat atas apa yang telah terjadi. Masyarakat pada umumnya dapat membedakan dua Ruang Publik, dan tak sedikit mereka pun menyadari sedang berada di ruang yang mana.
Dua kubu yang menjadi term paling relevan pra-pilpres sebut saja, kubu mawar dan kubu melati. Publik secara berangsur-angsur membahas keduanya tanpa ada habisnya, entah itu dengan alasan demi kemajuan (yang dirasionalisasikan) atau kepentingan semata (pragmatis). Habermas mengutarakan tentang kekuasaan yang didiskusikan secara kritis adalah kekuasaan yang dirasionalisasikan, sedangkan model kekuasaan politik modern adalah model kekuasaan yang pragmatis.
Habermas meyakini akan majunya kritik yakni dengan landasan rasio komunikatif, dalam artian tindakan komunikatif atau praksis komunikasi. Ia pun berpendapat bahwasanya masyarakat itu hakikatnya komunikatif. Begitupun perkembangan-perkembangan yang ada pada masyarakat bukan hanya meliputi kekuatan-kekuatan produksi atau teknologi, melainkan proses belajar dalam praktis etis.
Rasio komunikatif, sikap mengobjektif akan membuat subjek pengetahuan memandang dirinya sebagai entitas-entitas yang biasa saja. Dikarenakan sifat ambivalen yang memandang diri sebagai subjek yang bebas dan objektif diperbudak dihancurkan oleh intersubjektivitas. Rasio tersebut tidak menyatu dengan kekuasaan, jadi rasio yang terpusat pada subjek, yang menyatukannya dengan kekuasaan dapat dihancurkan dengan intersubjektivitas.
Dalam konteks yang lain, rasionalisasi telah mengangkat demokrasi sebagai isu yang dapat dibahas publik bebas dan terjamin. Sehingga fenomena pemilu 2019 jika kita lihat secara mendalam telah memicu sikap ambivalen. Demokrasi deliberatif menganjurkan masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam hak-halnya dalam berpolitik, membuat opini dan lain-lain. Maklum jika banyak berita bohong (hoax), atau kesalahan berpikir dan akademisi atau budayawan yang turut serta menghiasi ruang publik tersebut.
Pasca pemilu antusias me publik mencapai titik puncaknya, ketika hasil pemilu menunjukan pemenang dari dua kubu tersebut. Perkembangan opini tidak sampai di situ, dalam bukunya yang berjudul The Theory of Comunicativ Action terdapat empat macam klaim yaitu, klaim kebenaran (truth) jika terjadi kesepakatan tentang dunia alamiah dan objektif. Klaim ketepatan (rightness) Apabila kesepakatan itu tentang pelaksanaan norma-norma dalam dunia sosial. Klaim autentisitas atau kejujuran (sincerety) yaitu kesepakatan antara dunia batiniah dan ekspresi seseorang. Dan yang terakhir klaim komprehensibilitas (comprehensibility) yaitu pencapaian atas keseluruhan klaim-klaim tersebut secara keseluruhan.
Klaim-klaim di atas jika dibandingkan dengan kondisi publik pasca pilpres saat ini jauh kemungkinan untuk mencapai klaim yang bersifat komprehensif. Apalagi eksistensi ruang publik yang dikatakan sebagai tempat untuk membahas isu-isu yang relevan. Walaupun isu yang relevan bukan hanya pemilu (masih ada yang lain, misalnya: teknologi). Akan tetapi pemilu merupakan salah satu posedur dari demokrasidan demokrasi tidak dapat dipisahkan dari ruang publik. Dan kualitas rasio masyarakat tersebut bisa kita lihat di dalam ruang publik itu sendiri, bagaimana masyarakat mengobjektivikasi isu-isu tersebut dan bagaimana masyarakat melakukan filter terhadap isu-isu yang bisa dikatakan relevan.
Beberapa uraian yang diambil dari asumsi Jürgen Habermas tersebut merupakan paradigman komunikasi untuk usaha dalam perubahan sosial. Dalam bahasanya Nietzse kesadaran hanyalah sebatas jaringan komunikasi. Dan ruang publik adalah sebuah tempat untuk menemukan jaringan tersebut. Walaupun ruang publik itu belum dapat mencapai klaim yang komprehensif.***
Penulis: Inggil Abdul Kafi
Mahasiswa semester 4 IAIN Syekh Nurjati Cirebon dan salah satu anggota Malam Rabu Bersama Buku