KUNINGAN (MASS) – Paradoks yang melibatkan dunia Islam dan kurangnya perhatian intelektual Muslim Indonesia terhadap isu-isu eskatologis bisa didekati melalui konsep Global Paradox yang dikemukakan oleh John Naisbitt.
John Naisbitt dalam Global Paradox (1994) mengajukan gagasan bahwa semakin dunia terhubung secara global, semakin kuat pula aspirasi lokal atau regional untuk menegaskan identitas dan kemandiriannya. Ini paradoks yang menyiratkan bahwa keterhubungan global justru memperkuat pemisahan atau perbedaan.
Keterhubungan global melahirkan tekanan ekonomi, politik, dan budaya dari negara-negara dominan, terutama melalui arus kapital dan kontrol teknologi yang dikuasai oleh negara-negara barat, yang justru mendorong berbagai bangsa untuk menemukan atau memperkuat identitas mereka.
Pandangan ini menawarkan perspektif bahwa globalisasi tidak hanya melahirkan keseragaman tetapi juga memperkuat keanekaragaman, dengan entitas kecil yang mampu mempertahankan identitas unik mereka dalam ekosistem global yang saling terhubung.
Fenomena paradoks ini paralel dengan narasi eskatologis kaum intelektual, termasuk intelektual Muslim Indonesia. Umat Islam di berbagai belahan dunia kini semakin merasakan ancaman nyata dari penindasan global, yang tercermin dalam perang Palestina dan negara-negara Muslim lainnya yang menjadi korban konflik geopolitik dan ketidakadilan ekonomi. Hal ini meningkatkan aspirasi untuk membangkitkan resistensi terhadap hegemoni barat. Bahkan kondisi global saat ini dipandang sebagai fase-fase akhir dari skenario eskatologis Islam.
Paradoks muncul ketika di sisi yang lain, sebagian kalangan akademisi dan intelektual Muslim cenderung tidak memberikan perhatian yang memadai pada fenomena eskatologis ini. Alasan utamanya adalah karena orientasi intelektual mereka yang lebih pragmatis dan berfokus pada isu-isu sosial dan ekonomi domestik atau pada modernisasi Islam yang moderat dan inklusif, daripada narasi eskatologis yang dianggap kurang relevan bagi kemajuan bangsa.
Artikel ini akan menyoroti, faktor-faktor penyebab kurangnya minat akademik dalam kajian eakatologi di Indonesia, serta faktor-faktor yang membentuk arah kajian akademik di kalangan ilmuan dan intelektual Indonesia.
Selanjutnya akan dibahas bagaimana paradoks ini muncul dalam konteks narasi eskatologis. Di bagian akhir, disajikan analisis dan refleksi bagaimana fenomena ini paralel dengan Global Paradox John Naisbitt.
Jika narasi Global Paradox Naisbitt yang baru berusia 30 tahun kini sudah diterima secara luas karena telah terbukti secara empiris, dan jika narasi eskatologis dalam Teks Profetik yang sudah berusia lebih dari 14 abad, sebagiannya juga sudah dan sedang terjadi yang dapat diamati secara empiris, maka seharusnya tidak ada kontradiksi untuk menerima pandangan narasi eskatologis sebagaimana penerimaan terhadap narasi Global Paradox.
Faktor-faktor Penyebab Minimnya Kajian Akademik dalam Eskatologi Islam
Salah faham dan skeptisisme terhadap Eskatologi Islam sebagai bidang yang dianggap tidak kompatibel dengan peradaban modern, umumnya disebabkan oleh beberapa faktor:
- Perbedaan Prioritas Kajian
Akademisi Muslim termasuk di Indonesia, umumnya lebih fokus pada kajian yang berkaitan dengan isu-isu sosial, politik, hukum Islam, dan pembangunan masyarakat. Hal ini sejalan dengan latar belakang sejarah Indonesia, terutama sejak kemerdekaan, dimana tantangan utama adalah membangun tatanan masyarakat dan negara yang adil serta merespons dampak kolonialisme. Oleh karena itu, isu-isu seperti demokrasi, HAM, moderasi Islam, hingga ekonomi syariah menjadi tema kajian yang lebih sering dibahas.
Eskatologi Islam belum banyak menjadi fokus kajian ilmiah yang bersifat metodis dan sistematis. Eskatologi sering kali dianggap sebagai tema yang spekulatif atau bahkan mistis, sehingga ilmuwan Muslim sendiri cenderung menghindari topik ini atau tidak memasukkannya dalam kajian akademik arus utama.
Akibatnya, eskatologi sering dianggap tidak relevan atau tidak ilmiah. Padahal, bila dieksplorasi lebih mendalam, ia memiliki potensi untuk menawarkan perspektif yang kaya dalam memahami krisis peradaban dan fenomena global yang kompleks.
- Perbedaan Pendekatan
Eskatologi populer di platform seperti YouTube sering kali mengangkat tema-tema menarik yang berfokus pada tanda-tanda akhir zaman, tetapi cenderung menyederhanakan topik ini dan kurang mendalami konteks historis atau keilmuan yang lebih luas.
Eskatologi dalam versi populer sering kali dibahas dengan pendekatan literal tanpa mengaitkan dengan teori-teori sosial atau filsafat sejarah.
Ini bisa memicu salah tafsir dan skeptisisme, seolah-olah eskatologi Islam hanyalah mitos atau teori konspirasi, bukan disiplin ilmu yang relevan untuk menjelaskan dinamika kontemporer.
- Kurangnya Jembatan dengan Konteks Modernitas
Banyak yang menganggap bahwa Eskatologi Islam tidak relevan bagi kehidupan modern karena mereka melihatnya sebagai sesuatu yang tidak berorientasi pada kemajuan sosial, ekonomi, atau teknologi.
Padahal, ketika Eskatologi Islam dikaji dengan pendekatan kontekstual, ia mampu memberikan perspektif alternatif terhadap peradaban modern dan krisisnya, termasuk pemahaman mengenai krisis moralitas, ketidakadilan global, dan dinamika geopolitik.
- Ketergantungan pada Narasi Tradisional yang Kaku
Penyebab lain adalah pandangan bahwa Eskatologi Islam terlalu terikat pada tafsir tradisional yang kaku, tanpa mempertimbangkan konteks dan perubahan zaman. Akademisi yang skeptis terhadap Eskatologi Islam sering memandangnya tidak adaptif terhadap perubahan zaman.
Namun, beberapa pemikir kontemporer menunjukkan bagaimana Eskatologi Islam dapat digunakan untuk menganalisis dinamika geopolitik modern, kapitalisme, dan hegemoni global.
Untuk mengatasi salah paham ini, diperlukan kajian akademik yang mendalam dan kontekstual, yang menghubungkan Eskatologi Islam dengan isu-isu kontemporer secara ilmiah. Dengan demikian, eskatologi Islam bisa dilihat sebagai alat analisis kritis yang relevan, bukan hanya sebuah spekulasi mengenai fenomena akhir zaman.
- Pandangan terhadap Profil Keilmuan Barat
Banyak akademisi dan pemikir modernis Indonesia cenderung melihat peradaban barat sebagai model yang patut ditiru, terutama dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, dan sistem sosial.
Sikap ini berpengaruh pada cara pandang terhadap eskatologi, karena kebanyakan kajian eskatologis, seperti yang dikemukakan oleh tokoh-tokoh eskatologi kritis seperti Syekh Imran, sering melibatkan kritik terhadap sistem barat.
Akademisi yang simpatik pada pandangan modernis mungkin merasa kajian eskatologi terlalu konfrontatif terhadap barat, sehingga memilih untuk tidak menjadikannya sebagai fokus studi.
Faktor-faktor di atas menciptakan iklim akademik yang kurang mendukung pengembangan kajian eskatologi. Namun, perkembangan geopolitik dan teknologi global, mungkin akan memicu ketertarikan baru dalam kajian ini, terutama jika konteks global semakin mengarahkan perhatian publik kepada tema-tema eskatologis.
Untuk menjelaskan faktor-faktor penyebab yang membentuk arah kecenderungan kaum akademisi dan ilmuan Indonesia, bisa dilihat dari faktor historis, struktural dan ideologis:
- Faktor Historis
Pada masa pasca-kemerdekaan, tantangan yang dihadapi dunia Islam, termasuk Indonesia, lebih banyak terkait dengan upaya merekonstruksi identitas dan membangun kembali masyarakat setelah pengalaman kolonialisme.
Kaum akademisi Indonesia umumnya menekankan perlunya mereformasi pemikiran Islam untuk menjawab isu-isu kontemporer, seperti modernisasi, demokrasi, dan keadilan sosial. Karena fokusnya pada pembangunan peradaban pasca-kolonial, isu-isu eskatologis tidak dianggap sebagai prioritas.
Hal ini berbeda dengan zaman sekarang, dimana masalah global seperti ketidakadilan politik dan ekonomi, terutama di Timur Tengah, lebih terlihat dan berpotensi mengubah arah perhatian pemikiran Islam di Indonesia.
- Faktor Struktural
Strukturalisasi pendidikan di Indonesia sangat dipengaruhi oleh kurikulum modern yang menekankan disiplin ilmu yang terpisah dari agama secara ketat. Kajian teologi atau eskatologi dianggap kurang praktis bagi kemajuan bangsa, sehingga kurang mendapat tempat dalam pendidikan formal.
Akibatnya, isu-isu eskatologis yang seringkali dianggap “spiritual” atau “mistis” lebih sulit masuk ke dalam diskusi akademik utama,l.
- Faktor Ideologis
Secara ideologis, paradigma modernis menekankan pendekatan kontekstual dan rasional dalam pemahaman Agama, yang cenderung menolak interpretasi eskatologis sebagai “literal” dan kurang relevan untuk tantangan kontemporer.
Selain itu, adanya ketakutan terhadap “radikalisme” juga membuat banyak akademisi cenderung menjauhi diskusi eskatologis, yang diasosiasikan atau diframing sebagai pandangan ekstrem, karena sikapnya yang kritis terhadap peradaban barat modern.
Ketiga faktor ini secara keseluruhan membentuk kecenderungan untuk mengabaikan kajian eskatologis, yang dianggap kurang relevan dengan konteks perkembangan Islam di Indonesia, sehingga lebih banyak perhatian diarahkan pada isu-isu yang dinilai lebih strategis dan aplikatif untuk kehidupan masyarakat kontemporer.
Deskripsi Paradoks
Minimnya minat terhadap kajian akademik tentang fenomena akhir zaman di kalangan akademisi dan ilmuan Muslim mengandung sejumlah paradoks berikut:
- Relevansi Fenomena Eskatologis dengan Situasi Global
Di tengah ketidakpastian geopolitik, ketidakadilan ekonomi global, krisis lingkungan, dan meningkatnya ketegangan antara peradaban, isu-isu akhir zaman semakin relevan. Eskatologi Islam, yang membahas tanda-tanda akhir zaman dan konflik global, seharusnya menjadi kajian yang strategis untuk memahami dinamika global yang berdampak langsung pada umat Islam.
Paradoksnya, akademisi Muslim di Indonesia, meskipun berada di negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, kurang tertarik untuk mengembangkan pemahaman yang lebih mendalam tentang fenomena eskatologis ini.
- Kebutuhan terhadap Panduan di Masa Krisis
Masyarakat Muslim di Indonesia sering menghadapi kebingungan dan kecemasan terkait peristiwa dunia yang dianggap sebagai bagian dari tanda-tanda akhir zaman. Hal ini terlihat dari populernya buku-buku dan ceramah tentang akhir zaman di kalangan masyarakat umum.
Namun, justru ketika kebutuhan akan panduan ilmiah dan terstruktur meningkat, akademisi dan ilmuan Muslim belum menanggapi isu ini secara serius dalam lingkup akademis. Paradoks ini menunjukkan adanya jarak antara kebutuhan masyarakat dan fokus kajian akademis.
- Peran Historis Ulama dan Intelektual Muslim
Di masa lalu, banyak ulama besar, termasuk yang berpengaruh dalam peradaban Islam, mengkaji fenomena akhir zaman, baik melalui tafsir, hadits, maupun kitab-kitab klasik. Kajian eskatologi dipandang penting untuk memahami tantangan yang dihadapi umat di masa mendatang.
Paradoksnya, ketika umat Islam semakin terhubung dengan fenomena global, akademisi di Indonesia cenderung mengabaikan kajian eskatologi, padahal peran ini sebelumnya dipegang oleh para intelektual dan ulama sebagai penggerak kesadaran sosial dan spiritual.
- Kontekstualisasi yang Mengabaikan Eskatologi
Banyak cendekiawan Muslim terutama yang beraliran modernis dan kontekstualis, berfokus pada penafsiran Islam yang relevan dengan situasi modern. Namun, mereka justru mengabaikan eskatologi yang secara intrinsik sangat terkait dengan konteks zaman.
Padahal, akhir zaman dalam pandangan Islam memiliki hubungan yang kuat dengan dinamika politik, sosial, dan ekonomi dunia, yang justru menjadi perhatian utama dalam pendekatan kontekstualis. Paradoks ini menunjukkan ketidakseimbangan dalam memadukan kajian kontekstual dan eskatologis.
- Eskatologi sebagai Kritik terhadap Ketidakadilan Global
Eskatologi Islam bersifat kritis terhadap konflik dan ketidakadilan global, termasuk intervensi politik barat di Timur Tengah dan belahan dunia Islam lainnya, serta ketimpangan ekonomi.
Paradoksnya, meskipun banyak akademisi Muslim di Indonesia yang membahas isu keadilan sosial, kritik struktural, dan ketimpangan, kajian eskatologis yang dapat memperkuat kritik tersebut justru jarang dijadikan bagian dari diskursus akademik.
Ini mengindikasikan bahwa akademisi lebih nyaman membahas topik-topik yang lebih “aman” dan sesuai dengan wacana arus utama, daripada terlibat dalam kajian yang lebih kritis.
- Pengaruh Media Populer
Tema akhir zaman sangat populer di media populer seperti buku, ceramah, video, dan tayangan televisi. Namun, justru akademisi, yang seharusnya memberikan pandangan yang terukur dan ilmiah, tidak banyak terlibat dalam kajian ini.
Akibatnya, pemahaman tentang akhir zaman sering kali dipengaruhi oleh interpretasi yang kurang kritis dan spekulatif, yang bisa menimbulkan kesalahpahaman di masyarakat.
Paradoks ini mengilustrasikan bahwa ketika masyarakat semakin tertarik dengan isu eskatologi, namun kalangan akademisi justru menarik diri dari ranah ini.
Secara keseluruhan, minimnya minat akademik terhadap eskatologi di kalangan akademisi dan intelektual Muslim Indonesia adalah paradoks, mengingat relevansi kajian ini dengan tantangan global saat ini dan besarnya minat masyarakat akan panduan yang berbasis ilmiah dan spiritual.
Akademisi diharapkan bisa mengisi kebutuhan ini, memberikan pemahaman eskatologis yang lebih mendalam, dan berperan sebagai penyeimbang terhadap narasi populer yang sering belum terverifikasi.
Implikasi dan Refleksi
Dalam hal fungsinya untuk memprediksi masa depan, Global Paradox Naisbitt sama dengan Nubuat. Dengan menerima Global Paradox sebagai narasi masa depan, seharusnya tidak sulit bagi akademisi dan kaum intelektual untuk menerima Nubuwat sebagai narasi masa depan.
Sebagaimana narasi masa depan dalam Global Paradox yang kini baru berusia 30 tahun, sebagiannya sudah terbukti, dan narasi masa depan dalam Nubuwat yang kini sudah berusia 1400 tahun, sebagiannya juga sudah dan sedang terbukti, maka menerima narasi Global Paradox sambil menolak narasi Nubuwat adalah sebuah paradoks tersendiri.
Fenomena paradoks ini bisa dijelaskan dengan melihat perbedaan cara pandang antara ilmu pengetahuan modern berbasis Positivisme Auguste Comte, dan pendekatan keagamaan terhadap masa depan.
Global Paradox Naisbitt dipandang sebagai prediksi berbasis tren sosial, ekonomi, dan politik, yang dianggap “ilmiah” dan “objektif.” Hal ini mempermudah para cendekiawan, termasuk yang berasal dari kalangan muslim, untuk menerima narasi ini karena mereka bisa mengaitkannya dengan data empiris dan tren global yang empirik.
Sebaliknya, Nubuwat keagamaan dianggap bersifat “mistis” atau “dogmatis” oleh kalangan yang mengutamakan pendekatan rasional dan empiris. Narasi Nubuwat dianggap kurang relevan atau sulit dipertanggungjawabkan dalam diskursus akademis yang cenderung skeptis terhadap hal-hal nonempiris.
Perbedaan sikap ini menimbulkan paradoks, dimana sebuah narasi yang dianggap “terbukti” hanya diterima jika menggunakan pendekatan sekuler atau ilmiah, meskipun Nubuwat yang telah ada ribuan tahun juga telah menunjukkan bukti relevansinya dalam beberapa kejadian.
Karena itu, menolak Nubuwat sambil menerima narasi Global Paradox berarti menutup mata terhadap keterkaitan keduanya sebagai bentuk upaya manusia memahami masa depan.
Baik Global Paradox maupun Nubuwat berfungsi memberikan arah pandang masa depan, meskipun menggunakan metode berbeda. Dalam hal ini, sikap paradoks sebagian kaum akademisi dan intelektual kita, mungkin mencerminkan dilema antara keinginan untuk tetap relevan dalam kajian ilmiah modern, dengan tanggung jawabnya untuk menjaga nilai-nilai spiritual Islam dalam pesan-pesan eskatologis.
Jika konsep Global Paradox beserta turunannya seperti: ekosistem global, keseragaman, keanekaragaman sudah atau sedang terjadi dan bisa diamati, sementara konsep-kosep eskatologis seperti ketimpangan dan penindasan politik, ekonomi, dan hegemoni budaya, juga sedang terjadi dan bisa diamati secara empiris, maka seharusnya tidak ada paradoks antara narasi masa depan John Naisbitt dengan Teks Profetik yang mengandung narasi eskatologis.
والله اعلم
Maman Supriatman (Akademisi/Penulis Buku Eskatologi Islam)
MS 12/11/24