KHUTBAH JUMAT
Khutbah Pertama
Hadirin Sidang Jumat yang Dimuliakan Allah!
Marilah kita senantiasa meningkatkan ketakwaan kepada Allah SWT dengan sebenar-benar takwa, menjalankan segala perintah-Nya, dan menjauhi segala larangan-Nya. Hanya dengan ketakwaan, hidup kita akan senantiasa diberkahi dan mendapat ridha Allah SWT.
Pada kesempatan yang mulia ini, khatib ingin mengangkat tema yang berasal dari sabda Rasulullah SAW dari Abu Hurairah RA, yang diriwayatkan dalam Shahih Muslim:
بَدَأَ الإِسْلاَمُ غَرِيبًا، وَسَيَعُودُ كَمَا بَدَأَ غَرِيبًا، فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ
“Islam bermula dalam keadaan asing, dan ia akan kembali menjadi asing sebagaimana ia bermula. Maka beruntunglah orang-orang yang asing.”
(HR. Muslim, 145).
Hadits ini menggambarkan perjalanan Islam sebagai sebuah agama yang pada awalnya dianggap asing oleh masyarakat Arab jahiliyah.
Islam datang membawa perubahan mendasar, yaitu: menghapus kemusyrikan, menegakkan tauhid, dan menanamkan nilai-nilai moral dan sosial yang luhur.
Perubahan ini awalnya ditolak oleh masyarakat yang sudah terbiasa dengan kebatilan. Mereka yang menerima Islam disebut “orang-orang asing,” karena mereka berbeda dari orang kebanyakan.
Jamaah yang Dirahmati Allah!
Namun, Rasulullah SAW juga menyampaikan bahwa Islam akan kembali menjadi asing sebagaimana ia bermula. Hal ini bukan berarti Islam lenyap, tetapi masyarakat pada akhir zaman akan semakin jauh dari nilai-nilai Islam.
Orang-orang yang tetap teguh memegang prinsip-prinsip Islam akan dianggap asing di tengah-tengah manusia.
Hadits ini memberikan pesan penting: Beruntunglah orang-orang yang asing. Keberuntungan ini bukan karena keterasingannya, tetapi karena mereka tetap istiqamah dalam memegang ajaran Islam, meskipun harus menghadapi tantangan besar, tekanan sosial, dan fitnah zaman.
Mereka disebut beruntung karena:
- Memegang Kebenaran di Tengah Kebatilan
Di tengah kehidupan yang penuh fitnah, nilai-nilai Islam yang murni sering dianggap ketinggalan zaman. Orang-orang asing adalah mereka yang tidak terpengaruh oleh kebatilan dan tetap memegang teguh kebenaran, meskipun harus menghadapi cemoohan dan pengucilan.
- Mereka Tetap Istiqamah dalam Ketakwaan
Keterasingan mereka adalah bukti kesungguhan dalam menjaga aqidah dan syariah. Keberuntungan ini datang dari Allah SWT, karena mereka telah menunjukkan keimanan yang kuat.
- Mendapat Ridha Allah
Dalam akhirat kelak, orang-orang yang dianggap asing karena ketaatannya akan menerima balasan berupa surga.
Hadiri yang dimuliakan Allah!
Makna ghuraba atau orang-orang yang asing, ditekankan dalam berbagai Hadits, sering dihubungkan dengan kelompok kecil yang menjaga agama dan tetap berpegang pada kebenaran di tengah masyarakat yang rusak atau menyimpang.
Ibnu Rajab Al-Hanbali dalam Jami’ Al-Ulum wal-Hikam menjelaskan bahwa ghuraba adalah kelompok minoritas yang tetap konsisten di atas kebenaran dan oleh karena itu, termasuk dalam golongan yang dijanjikan keutamaan surga.
Hadits-hadits lain, seperti dalam Shahih Muslim dan Musnad Ahmad, menyebutkan bahwa penghuni surga akan diberi tempat sesuai dengan amal dan keutamaan mereka. Karena ghuraba termasuk golongan istimewa, maka mereka bisa memperoleh tempat yang lebih tinggi.
Hadirin Rahimakumullah!
Adapun makna ghuraba dalam konteks kekinian adalah:
Pertama, asing dalam prinsip. Di tengah dunia modern yang semakin materialistis, sekular, dan hedonis, “orang-orang asing” dapat dimaknai sebagai mereka yang tetap teguh memegang prinsip-prinsip Islam di tengah mayoritas yang jauh dari nilai-nilai agama. Orang-orang ini dianggap asing karena berpegang pada nilai-nilai yang berbeda dari arus utama (mainstream) masyarakat.
Kedua, asing dalam akhlak dan etika. Dalam era dimana individualisme dan pragmatisme merajalela, orang yang tetap menjaga akhlak mulia, keadilan, dan etika Islami juga dianggap asing. Mereka beruntung karena memiliki panduan moral yang jelas di tengah krisis moral global.
Ketiga, asing sebagai minoritas yang berjuang. Hadits ini relevan bagi komunitas Muslim yang menjadi minoritas di berbagai tempat di dunia. Mereka beruntung karena meskipun berada dalam kondisi yang terasingkan, mereka dijanjikan keberuntungan karena keteguhan mereka terhadap iman dan amal.
Keempat, asing dalam memegang Kebenaran. Di tengah fitnah akhir zaman dan tersebarnya kebatilan, orang yang memegang kebenaran akan menjadi asing. Hal ini mencerminkan konteks kontemporer, di mana kebenaran sering kali dianggap tidak populer atau bahkan dilawan. Mereka yang tetap istiqamah dalam memperjuangkan kebenaran adalah yang beruntung.
Kelima, asing sebagai pionir kebangkitan Islam. Dalam konteks fitnah eskatologis, “orang-orang asing” juga dapat dipahami sebagai segelintir kaum yang menjadi pelopor kebangkitan Islam di tengah kemunduran umat. Mereka adalah kelompok yang mengembalikan Islam kepada kemurnian ajarannya, meskipun jumlah mereka sedikit.
Jamaah Jumat Rahimakumullah!
Hadits ini mengingatkan umat Islam untuk tetap berpegang teguh pada agama di tengah fitnah yang melanda. Di antara berbagai fitnah itu adalah:
- Fitnah Pemikiran:
Tantangan dari ideologi-ideologi yang mengikis akidah, seperti liberalisme, ateisme, dan islamofobia. - Fitnah Harta dan Duniawi:
Keasyikan pada harta, status sosial, dan kemewahan dunia yang membuat manusia lupa pada akhirat. - Fitnah Teknologi:
Penggunaan teknologi yang menyebarkan kebatilan dan mengalihkan perhatian dari Allah.
Hadirin yang Dirahmati Allah!
Dalam konteks kehidupan kita saat ini, menjadi “asing” bukan berarti menjauh dari masyarakat, tetapi menjadi teladan dengan memegang teguh prinsip-prinsip Islam di tengah arus kehidupan yang sering bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
Sebagai umat Islam, kita harus bangga menjadi “orang asing” dalam makna ini. Janganlah kita takut dicemooh atau dianggap berbeda karena menjalankan Islam dengan benar. Allah SWT telah menjanjikan keberuntungan bagi kita, sebagaimana Rasulullah SAW sampaikan dalam Hadits ini.
Hadits ini memberikan motivasi kepada umat Islam untuk tidak gentar menjadi “berbeda” selama perbedaan itu berada di atas jalan yang benar. Keberuntungan mereka bukan hanya dalam aspek spiritual, tetapi juga dalam membawa perubahan positif bagi masyarakat, meskipun dalam jumlah kecil.
Sebagaimana disebutkan dalam tafsir konteks akhir zaman, ini adalah pengingat bahwa keberhasilan sejati adalah istiqamah dalam kebenaran, meski menghadapi keterasingan dan tantangan.
Mari kita teguhkan hati untuk menjadi bagian dari “orang-orang asing” yang beruntung, dengan tetap istiqamah, menjaga keimanan, dan menjadi teladan di tengah masyarakat. Semoga Allah SWT menjadikan kita semua sebagai hamba-hamba-Nya yang beruntung dan mendapatkan balasan surga-Nya.
Jamaah sekalian!
Hanya dengan keimanan yang kuat, kita dapat menghadapi segala ujian dengan sabar dan tawakal. Jangan sampai dunia ini melalaikan kita dari tujuan hidup yang sesungguhnya, yaitu mencari keridhaan Allah SWT.
Semoga kita semua termasuk golongan yang istiqamah dalam keimanan hingga akhir hayat. Aamiin ya Rabbal ‘alamin.
Aqulu qawli hadza wa astaghfirullah li wa lakum, fastaghfiruhu innahu huwal ghafurur rahim.
Khutbah Kedua
Alhamdulillahi rabbil ‘alamin. Wa bihi nasta’in ‘ala umurid dunya wa din. Washalatu wassalamu ‘ala asyrafil anbiya’i wal mursalin, wa ‘ala alihi wa ashabihi ajma’in. Amma ba’du:
Jamaah Jumat rahimakumullah!
Khatib kembali mengingatkan kepada diri khatib sendiri dan jamaah sekalian untuk terus meningkatkan ketakwaan kita kepada Allah SWT. Mari kita jaga keimanan dengan memperbanyak amal saleh, menjauhi dosa-dosa besar, serta senantiasa berdoa agar Allah menjaga hati kita dari fitnah dunia.
Selain itu, marilah kita perbanyak dzikir, shalawat, membaca Al-Qur’an, dan memperbaiki hubungan dengan sesama manusia, karena itulah jalan untuk memperoleh rahmat dan perlindungan dari Allah SWT.
Akhirnya, mari kita tutup khutbah ini dengan berdoa kepada Allah SWT.
Ya Allah, kuatkanlah iman kami, teguhkanlah hati kami di jalan-Mu, lindungilah kami dari fitnah dunia, dan wafatkanlah kami dalam keadaan husnul khatimah. Ya Allah, jadikanlah kami dan keluarga kami termasuk golongan orang-orang yang beriman dan bertakwa kepada-Mu. Aamiin ya Rabbal ‘alamin.
Inna Allaha ya’muru bil ‘adli wal ihsan wa ita’i dzil qurba, wa yanha ‘anil fahsya’i wal munkar wal baghyi, ya’idhukum la’allakum tadzakkarun.
Fadzkuru Allaha yadzkurkum, was’aluhu min fadlih yu’thikum, waladzikru Allahi akbar, wallahu ya’lamu ma tashna’un.
Maman Supriatman (Akademisi/Tokoh Masyarakat)