KUNINGAN (MASS) – Palestina/Yerusalem/Baitul Maqdis memiliki sejarah panjang yang berakar pada teologi dari tiga Agama Langit/Abrahamik/Samawi, yaitu: Yahudi, Kristen dan Islam. Masalah Palestina bukan hanya memiliki makna historis dan politis, tapi juga terkait dengan kepercayaan teologis tiga Agama Samawi itu.
Bisa dikatakan bahwa akar teologi dari tiga agama besar inilah yang kemudian mempengaruhi perkembangan sejarah dan politik Palestina, Timur Tengah dan dunia.
Teologi Yahudi tentang Tanah yang Dijanjikan
Dalam teologi Yahudi, Yerusalem dianggap sebagai pusat spiritual yang sangat penting dan memiliki hubungan yang erat dengan konsep “Tanah yang Dijanjikan”, yaitu wilayah yang diyakini diberikan oleh Tuhan kepada keturunan Abraham melalui Ishak dan Yakub (Israel) dalam kitab suci mereka, Torah.
Dalam kitab Kejadian (Genesis) di Torah, Tuhan berjanji kepada Abraham dan keturunannya bahwa mereka akan mewarisi tanah Kanaan (yang mencakup wilayah modern Israel dan Palestina) sebagai bagian dari perjanjian kekal.
Yerusalem memiliki signifikansi khusus dalam agama Yahudi karena di sana berdiri Bait Suci yang dianggap sebagai rumah Tuhan di bumi. Bait Suci ini adalah pusat ritual keagamaan Yahudi kuno, tempat ibadah dan pengorbanan dilakukan.
Yerusalem sering disebut dalam doa kaum Yahudi dan diasosiasikan dengan kedatangan Mesias yang akan membangun kembali Bait Suci yang ketiga.
Setelah berdiri negara Israel pada tahun 1948 dan reunifikasi Yerusalem Timur pada tahun 1967, banyak orang Yahudi yang percaya bahwa peristiwa ini adalah penggenapan janji Ilahi untuk kembali ke tanah air mereka.
Teologi Kristen tentang Tanah yang Dijanjikan
Agama Nasrani (Kristen) memiliki pandangan yang berbeda mengenai konsep “Tanah yang Dijanjikan” dibandingkan dengan Yahudi. Sementara agama Yahudi menekankan janji fisik tentang tanah Kanaan kepada keturunan Abraham, dalam teologi Kristen, konsep Tanah yang Dijanjikan lebih sering dipahami secara spiritual, terutama dalam kaitannya dengan keselamatan dan Kerajaan Allah.
Teologi Kristen menekankan bahwa banyak janji dalam Perjanjian Lama, termasuk janji Tanah yang Dijanjikan, digenapi dalam diri Yesus Kristus. Dalam pandangan ini, Yesus dilihat sebagai penggenapan dari semua janji Allah kepada Israel. Oleh karena itu, fokus beralih dari janji fisik akan tanah tertentu kepada janji keselamatan melalui iman kepada Kristus.
Meskipun banyak umat Kristen memiliki pandangan simbolis mengenai Tanah yang Dijanjikan, beberapa denominasi tertentu seperti Kristen Evangelikal dan kelompok-kelompok yang mendukung Zionisme Kristen, memiliki pandangan bahwa tanah Israel tetap memiliki makna teologis bagi umat Kristen. Mereka percaya bahwa kembalinya bangsa Yahudi ke Israel modern adalah bagian dari rencana Tuhan yang akan mengarah pada penggenapan nubuat akhir zaman.
Perspektif Eskatologi Islam
Perintis Eskatologi Islam, Imran N. Hosein, memiliki perspektif unik tentang klaim kaum Yahudi atas Yerusalem berdasarkan pandangan Al-Qur’an. Menurut Syekh Imran, kaum Yahudi telah melanggar syarat-syarat yang ditetapkan Ilahi yang diberikan kepada mereka untuk kepemilikan Tanah yang Dijanjikan.
Menurut Al-Qur’an, Tuhan memberikan tanah kepada kaum Yahudi dengan syarat bahwa mereka tetap setia kepada perintah-perintah-Nya dan memelihara iman yang benar. Jika mereka melanggar perintah-perintah Tuhan, maka hak mereka atas tanah tersebut akan dicabut.
Kaum Yahudi telah berulang kali melanggar perjanjian mereka dengan Tuhan, terutama melalui ketidaktaatan dan berbagai tindakan kejahatan. Hal ini termasuk penyembahan berhala, pembunuhan para nabi, dan pengkhianatan terhadap hukum Ilahi.
Pengusiran kaum Yahudi dari Tanah Suci, termasuk pembuangan ke Babilonia dan kemudian diaspora setelah kehancuran Yerusalem oleh Romawi, adalah bukti dari penghakiman Ilahi akibat pelanggaran mereka. Pengembalian mereka ke Yerusalem, khususnya dalam konteks modern dengan berdirinya negara Israel, bukanlah pemulihan yang sah menurut hukum Ilahi, karena mereka tidak memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan.
Syekh Imran mengaitkan kembalinya Yahudi ke Yerusalem dalam konteks akhir zaman, bahwa Dajjal (Anti-Kristus) memainkan peran penting dalam mendukung kembalinya bangsa Yahudi ke Tanah Suci sebagai bagian dari rencana jahat untuk menentang Tuhan. Maka klaim kaum Yahudi atas Yerusalem saat ini tidak sah secara teologis, melainkan merupakan bagian dari tipu daya besar.
Karena itu, Tuhan akan menghakimi mereka yang melanggar perjanjian-Nya, dan Yerusalem akan dibebaskan dari kepemilikan yang tidak sah. Ini terkait dengan kedatangan Imam Mahdi dan Nabi Isa dalam tradisi Islam, yang akan menegakkan keadilan di akhir zaman.
Situasi politik dan religius kontemporer terkait Yerusalem, karenanya harus dilihat sebagai bagian dari tanda akhir zaman, yang berhubungan dengan Dajjal dan tipu dayanya yang besar terhadap umat manusia.
Pandangan eskatologis Syekh Imran ini didasarkan atas banyak Ayat Al-Qur’an, di antaranya:
- Surah Al-Ma’idah Ayat 12-13
Kedua Ayat ini menggambarkan bagaimana Allah membuat perjanjian dengan Bani Israil dan mengutus 12 pemimpin dari mereka. Namun, mereka sering melanggar perjanjian tersebut, termasuk menolak untuk mendengar dan mentaati perintah Tuhan.
Karena pelanggaran perjanjian oleh kaum Yahudi, hak mereka atas tanah yang dijanjikan telah dicabut.
- Surah Al-Isra’ Ayat 4-7
Ayat-ayat ini merujuk pada dua kali kehancuran besar yang dialami Bani Israil karena pelanggaran mereka terhadap perintah Allah. Allah memperingatkan bahwa jika mereka berbuat kerusakan lagi, mereka akan diusir dari tanah yang dijanjikan.
Setelah Bani Israil melakukan kejahatan yang besar, mereka dihukum oleh Allah melalui kehancuran Yerusalem dan Bait Suci. Oleh karena itu, klaim mereka atas Yerusalem saat ini tidak sah karena mereka kembali mengulangi kesalahan dan membuat kerusakan.
- Surah Al-Anbiya’ Ayat 105-106
Ayat-ayat ini menegaskan bahwa bumi ini akan diwariskan kepada hamba-hamba Allah yang saleh.
Bahwa hak kepemilikan atas Tanah Suci Yerusalem pada akhirnya adalah milik hamba-hamba Allah yang saleh, bukan mereka yang melakukan kerusakan atau pelanggaran terhadap hukum Tuhan.
Dengan demikian, klaim Yahudi atas Yerusalem tidak sah, karena mereka tidak memenuhi syarat sebagai orang yang saleh menurut Al-Qur’an.
Ketiga kelompok Ayat Al-Qur’an di atas, membuktikan bahwa kepemilikan tanah Yerusalem oleh kaum Yahudi telah kehilangan legitimasi teologis, berdasarkan pelanggaran-pelanggaran mereka terhadap perjanjian Tuhan.
Dalam bukunya “Yerusalem dalam Al-Qur’an”, Syekh Imran menyatakan bahwa takdir Yerusalem diperlihatkan Allah kepada Nabi Muhammad SAW dalam peristiwa Mi’raj, sebagai bagian dari Tanda-tanda KebesaranNya:
لَقَدْ رَاٰ ى مِنْ اٰيٰتِ رَبِّهِ الْكُبْرٰى
“Sungguh, dia telah melihat sebagian tanda-tanda (kebesaran) Tuhannya yang paling besar.”
(QS. An-Najm: 18).
Adalah menjadi takdir Israel untuk kembali menerima hukuman yang ketiga dan terakhir. Hukuman pertama datang dari pasukan Babilonia (586 SM), dan yang kedua datang dari pasukan Romawi (70 M). Adapun hukuman ketiga dan belum terjadi, akan datang dari pasukan Muslim
(Lihat Hadits tentang pohon gharqad, dan juga Hadits tentang pembebasan jazirah Arab, Persia, Romawi dan perang pasukan Muslim dengan pasukan Dajjal. Keduanya terdapat dalam Shahih Muslim).
Dalam peristiwa Mi’raj itu Nabi SAW melihat dengan mata spiritualnya bahwa bangsa Yahudi kembali ke Tanah Suci. Beliau melihat pembentukan negara Israel palsu, serta ketidakbertuhanan, perilaku tidak bermoral dan penindasan kejam di Tanah Suci. Beliau melihat kembalinya Isa putra Maryam dan kehancuran Israel oleh pasukan Muslim. Dan beliau melihat kebenaran, keadilan dan kesalihan ketika Al-Masih Asli kelak merestorasi Tanah Suci Yerusalem saat dia kembali.
(Yerusalem dalam Al-Qur’an, 2014: 84).
Kesimpulan dan Diskusi
Dari uraian di atas diperoleh kesimpulan bahwa perkembangan situasi Palestina, khususnya sejak periode modern sampai saat ini, berpusat pada Dajjal sebagai aktor utamanya. Karena itu tidak mungkin memahami apa yang terjadi di Tanah Suci secara utuh tanpa memahami misi dan fitnah Dajjal serta cara kerjanya.
Ciri utama Dajjal adalah ia diprogram untuk menirukan Nabi Isa sebagai Al-Masih Asli. Karena itu ia disebut al-masih palsu.
Untuk menjalankan misinya ia membawa dua sungai, satu terlihat seperti air dan satu sungai lagi terlihat seperti api. Nabi SAW mengingatkan umatnya agar memilih sungai yang terlihat seperti api, karena sebenarnya itu adalah air yang menyegarkan (HR. Bukhari, 7130; Muslim, 2934).
Dengan tipu daya ini, Dajjal berhasil membuat kaum Yahudi memiliki obsesi mesianik yang sangat kuat atas Tanah Suci Palestina, dan percaya bahwa ia akan membawa mereka kembali ke tanah yang dijanjikan. Selanjutnya membawa mereka kembali kepada zaman kejayaan kerajaan Nabi Daud dan Sulaiman. Mereka percaya ketika zaman itu datang, masa kejayaan itu akan abadi.
Untuk itu, mereka harus membangun kembali Kuil Sulaiman di tempat yang sekarang berdiri Masjid Al-Aqsha. Padahal dari sudut pandang Islam, kembalinya mereka ke Palestina adalah untuk menerima hukuman Allah yang ketiga dan terakhir.
Untuk itulah Allah akan menurunkan Nabi Isa AS dan Imam Mahdi, dengan misi utamanya untuk membunuh Dajjal guna menyelamatkan dunia dari kekacauan, peperangan dan kerusakan yang ditimbulkan oleh kepalsuan dan kebohongan al-masih palsu.
Syekh Imran (1942- ), mungkin satu-satunya Ulama dan Cendekiawan kontemporer yang sejak lebih dari dua puluh tahun terakhir konsisten menyatakan secara eksplisit bahwa Dajjal-lah yang selama ini merupakan aktor utama di balik semua kekacauan, peperangan dan kerusakan di dunia.
Jejak pembangkangan dan penentangan Dajjal juga bisa dilacak pada berbagai kerusakan (fasad) dalam seluruh aspek kehidupan: militer dan pertahanan, sistem politik dan geopolitik, ekonomi dan keuangan, pendidikan dan pengetahuan, hukum, lingkungan hidup, pertanian, makanan, minuman, kesehatan dan sistem pengobatan, sistem budaya, ketahanan keluarga dan rusaknya institusi pernikahan.
The New World Order telah merusak Tatanan Ilahi, sehingga malah telah menyeret dunia pada kondisi tanpa tatanan.
Sulit untuk menjelaskan genosida di Gaza yang kini meluas dengan serangan brutal zionis Yahudi di Libanon, tanpa eskatologi, bahwa semua ini dalam rangka menuju ke tahap ketiga keberadaan Dajjal di bumi. Zionis Israel sudah bersiap untuk menyambut kehadiran Dajjal yang sudah ribuan tahun mereka nantikan, untuk memerintah dunia dari Yerusalem (Pax Judaica).
Sebelum Dajjal keluar dalam wujud manusia dan akan muncul di Yerusalem untuk menyatakan dirinya sebagai Al-Masih atau Mesias, ia masih bekerja di balik bayangan, ظل, yang terdiri atas tiga tahap/Pax (QS. Al-Mursalat: 30).
Ketiga tahap ini dalam sejarah dapat dikenali dari munculnya tahap Britannica, Americana dan Judaica (Lihat juga Hadits Shahih Imam Muslim tentang 40 hari Dajjal di bumi).
Sebagaimana perpindahan dari tahap pertama ke tahap kedua terjadi melalui perang besar, yaitu Perang Dunia I dan II, maka untuk perpindahan dari tahap kedua menuju tahap ketiga Dajjal juga membutuhkan perang besar. Dalam Eskatologi Islam, perang besar itu disebut Malhamah Kubra (HR. Muslim, Ibnu Majah dan Abu Dawud).
Sedangkan dalam Eskatologi Yahudi dan Kristen disebut Armageddon. Sudah banyak tokoh dunia yang memperingatkan bahwa saat ini kita berada dalam situasi yang sangat mencekam.
Dajjal sudah dilepas dari rantainya sejak Rasulullah SAW masih hidup (Hadits Tamim Ad-Dari), tapi saat ini ia belum keluar, bersamaan dengan pelepasan Ya’juj & Ma’juj (Hadits Zaenab), dan karena itu mereka sudah lama bekerja menjalankan misinya yang jejaknya dapat kita baca dalam proses sejarah.
Tanpa perspektif eskatologis demikian, sulit bagi kita untuk memahami mengapa Allah mengutus dua Al-Masih (Nabi Isa dan Dajjal), Al-Mahdi, Ya’juj dan Ma’juj.
Mereka adalah aktor-aktor utama dalam skenario akhir zaman, yaitu Rencana Allah atas apa yang akan terjadi sebelum sejarah berakhir, sebagaimana Allah telah ciptakan para aktor ketika IA akan memulai sejarah, yaitu: Adam, Hawa, Iblis dan asy-syajarah, الشجرة). Masing-masing aktor memiliki perannya sendiri dalam Skenario itu.
Refleksi
Dengan memahami peran dari setiap aktor sepanjang sejarah, maka terdapat ruang bagi rasionalitas dan penalaran untuk mencoba membaca proses sejarah.
Hanya dengan menggunakan analogi dan logika deduktif sederhana, sebenarnya tidak sulit untuk memahami mengapa Syekh Imran sampai pada kesimpulan bahwa aktor di balik peperangan dan rusaknya Tatanan Ilahi adalah Dajjal.
Jika peperangan kaum Muslimin dengan Dajjal akan dimenangkan oleh kaum Muslimin (HR. Bukhari & Muslim) untuk mengakhiri peperangan, kedzaliman, kerusakan, kekacauan, dan berakhirnya fase mulkan jabbariyyan, dan selanjutnya dunia akan memasuki fase kelima dan terakhir (HR. Ahmad), yaitu periode peradaban berikutnya yang adil makmur gemah ripah repeh rapih loh jinawi, maka dengan mudah bisa disimpulkan bahwa aktor utama di balik peperangan, kerusakan, penindasan dan kedzaliman di muka bumi selama ini adalah Dajjal, Ya’juj & Ma’juj dan seluruh pendukungnya.
Hadis tentang zaman kemakmuran di masa Imam Mahdi banyak ditemukan dalam beberapa kitab Hadits dengan berbagai versi riwayat. Salah satu Hadits yang paling sering dikutip adalah riwayat dari Abu Sa’id Al-Khudri yang terdapat dalam berbagai kitab Hadits, seperti Sunan Ibnu Majah dan Musnad Ahmad.
Dalam Hadits riwayat Abu Sa’id Al-Khudri, Rasulullah SAW bersabda:
“Pada akhir umatku akan muncul al-Mahdi. Allah akan memberikan hujan kepadanya, bumi akan mengeluarkan tumbuh-tumbuhannya, harta benda akan melimpah, ternak-ternak akan banyak, dan umat ini akan hidup dalam kemakmuran yang belum pernah ada sebelumnya.”
Kondisi peradaban dunia yang digambarkan dalam Hadits di atas jelas sekali bertolak belakang dengan peradaban the New world order saat ini.
Pertanyaannya, bisakah transisi peradaban itu terjadi tanpa perang besar?
والله اعلم
Maman Supriatman (Akademisi/Penulis Buku Eskatologi Islam)
MS 07/10/24