KUNINGAN (Mass) – Secara tidak sengaja kantor kuninganmass.com kedatangan para pemerhati sosial politik Kuningan tadi malam (6/7). Sambil ditemani secangkir kopi, mereka terlibat diskusi cukup panjang menyangkut kemungkinan PDIP akan satu paket atau berkoalisi pada Pilkada 2018 nanti.
“Itu sebenarnya Koalisi Gemuk (PAN, PKS, Demokrat, Gerindra dan PPP) itu mau mengeroyok siapa? Prediksi saya kalau PDIP sepaket tapi dengan pasangan Acep-Edo (Acep Purnama-M Ridho Suganda), maka akan mengurangi musuh,” teriak Hidayat Rusdiwa, salah satu dari mereka.
Menurut Yayat Lauk, sapaan akrabnya, lawan yang tadinya 100 bisa berkurang jadi 50 jika paket Acep-Edo terjadi. Sebab dia tidak memungkiri ada kekuatan Edo yang notabene putra H Aang Hamid Suganda, yang tak bisa dianggap remeh.
Lain hal apabila paket Acep-Rana atau Acep-Desem, lanjutnya, justru akan memperbesar kekuatan lawan. Koalisi Gemuk diprediksi akan habis-habisan dalam melakukan perlawanan. Sama halnya jika PDIP berkoalisi dengan Partai Golkar, mengusung Acep-Dudy.
“Kalau paketnya bukan Acep-Edo, bisa hancur. Termasuk koalisi PDIP-Golkar. Berat untuk bisa memenangkan Pilkada. Karena nanti, Edo pasti akan keluar dari PDIP. Gak bisa (Edo, red) disebut gak setia, karena sebetulnya jasa pak Aang terhadap PDIP Kuningan itu besar,” tandas Yayat.
Tunggul Naibaho, pemerhati asal Cibingbin, tidak memandang penting apakah nanti PDIP satu paket atau berkoalisi. Yang dianggapnya paling penting, adanya sebuah gagasan kuat dan jernih yang keluar dari pemerintahan konvensional.
Pengamatannya selama ini pemerintahan masih menggunakan konsep konvensional. Satu contoh, dalam membangun ekonomi hanya menggunakan instrument fiskal. Mestinya, sambung Tunggul, gagasan yang mampu menggerakkan seluruh potensi di Kuningan.
“Nah perlu nyali besar untuk mewujudkannya. Dia harus berani berbenturan gagasan dan sharing. Masih banyak kok pemikir Kuningan yang mantap pemikirannya. Kalau gagasannya kuat, maka akan menarik orang untuk mencoblosnya nanti karena merasa yakin bisa terjadi perubahan,” ucapnya.
Menurut Tunggul, birokrasi juga masih konvensional. Dia melihat belum ada terobosan SKPD yang luar biasa. Pemimpinnya dinilai jarang membangun spirit atau inspirasi kepada bawahannya.
Sebuah gagasan itu, tambahnya, harus lahir dari jati diri masyarakat Kuningan. Ia mengistilahkan gen politik dan DNA sosial. Sebuah gagasan tersebut mesti lahir dari situ.
“Saya contohkan, pak Acep kan jargonnya ‘Sajati’. Sajatinya itu apa. Harus tahu gen politik dan DNA sosial orang Kuningan. Maka akan keluar misi visi yang sesuai kebutuhan dan karakter orang Kuningan sehingga bisa dijalankan,” kata Tunggul.
Sejauh ini, dia melihat Sajati hanya kepanjangan semata dari Santana, Basajan dan Santika. Bagi Tunggul, itu baru pensifatan dan pencitraan bagi Acep. Dirinya berharap Acep beserta timnya sudah selesai melakukan renungan antropolitik dan sosioekonomi dalam melahirkan misi visi dan program kerjanya. (deden)