KUNINGAN (MASS)- Banyak hal yang menarik pada setiap bulan puasa, selain sebagai bulan penuh barokah, pada bulan Ramadhan juga banyak tradisi menarik yakni ngabuburit dan juga obrog atau tradisi membangun warga untuk sahur.
Salah satu yang dibahas kuningamass.com adalah kegiatan obrog. Ternyata nama obrog itu baru muncul sekitar tahun 2000-an.
Sebelum muncul istilah obrog terlebih dahulu Jidur alias genjing saur. Jidur sudah ada sejak jaman “bareto”.
“Obrog itu baru sekitar tahun 2000-an. Di Kuningan mah tradisinya Jidur alias genjring saur,” ujar Pemerhati Sejarah Kuningan Nding Masku, Sabtu (25/4/2020).
Ia menerangkan, kalau tradisi Jidur mulai ada sekitar 1826. Pada saat itu dianggap hiburan pada saat membangunkan warga yang akan melaksanakan sahur.
Dikatakan, pada saat jaman Belanda Jidur itu bebas dilakukan di kampung-kampung. Bahkan menjadi hiburan masyarakat Kuningan.
Namun, pada saat Jepang menjajah Indonesia, Jidur dihilangkan karena pada saat itu banyak warga yang dipaksa untuk Romusa atau kerja paksa oleh Nipon.
“Mulai digelar kembali pertunjukan Jidur pada tahun 1944 sampai sekarang. Obrog itu tradisi Tasik, Garut, Bandung, dan Sukabumi, sehingga sekali lagi bukan tradisi Kuningan,” ujar pria berambut gondorng itu.
Meski saat ini banyak yang menggunakan obrog namun Jidur sendiri masih ada yang menggunakan. Namun, karena latah maka mereka menggunakan spaeker.
Obrog sendiri alat yang digunakan berbeda dengan genjering bahkan terbilang komplit karena menggunakan pengeras suara, gitar dan lainnya.
“Di Kuningan jidur masih ada, ngan disakompet daunkeun istilahna. Kan di wilayah lain make rekaman musik jeung sapeker eta disebut obrog, Nah di Kuningan mah angger ngagenjring tapi ditambahan speker karena latah we ku istilah ngobrog,” tandasnya pria yang aktif menulis sejarah Kuningan melalui Bahasa Sunda itu.
Obrog sendiri di satu dusun atuh komplek bisa mencapai lima grup. Seperti hal di Perum Cigitung.
Mereka sejak jam satu malam bergiliran membangunkan warga. Biasanya lima hari menjelang lebaran berhenti dan pada siang harinya keliling rumah warga untuk minta sumbang atas jasa yang mereka lakukan.
“Sebenarnya iklas. Kalau ada yang memberi kami terima kalau tidak ga apa-apa. Ini kan meramaikan bulan puasa saja,” ujar Jaya warga Perum Korpi Cigintung, (agus)