KUNINGAN MASS – Di tengah ramainya sorotan terhadap akses jalan wisata Cisantana yang dibangun di atas tanah bersertifikat milik pribadi, satu hal disampaikan berulang kali oleh Abidin kuasa dari pemilik tanah, Irene Lie. Bukan soal tuntutan, bukan soal ganti rugi, apalagi soal pembenaran. Tapi permintaan sederhana yang tak juga terwujud yaitu duduk bersama.
“Kalau kami diajak duduk, diajak ngobrol, semuanya bisa selesai,” ujar Abidin dalam podcast Kuningan Mass, Rabu (23/4/2025).
Kalimat itu ia ucapkan bukan sekali, tapi berkali-kali, menandakan sejak awal, mereka membuka pintu dialog. Namun sejauh mata memandang, belum pernah sekalipun ada undangan resmi dari pemerintah daerah untuk membicarakan masalah tersebut.
Padahal polemiknya sudah bergulir lama. Jalan yang kini ramai dilalui wisatawan Palutungan dan sekitarnya melintasi tanah yang sejak 1975 telah memiliki sertifikat sah. Tanpa ada penyelesaian administratif, tanah tersebut telah diaspal, dijadikan jalur strategis, dan dimanfaatkan oleh banyak pihak. Tapi pemiliknya, merasa tidak pernah diajak bicara.
“Kami tidak bicara siapa benar, siapa salah. Kami tidak memperkarakan jalan ini untuk apa. Kami hanya ingin hak kami dihargai,” lanjut Abidin yang didampingi rekannya Tono Kartono, yang juga menerima kuasa dari pemilik lahan.
Bagi mereka, polemik tersebut tidak perlu dibawa ke meja hukum. Tidak pula menjadi konflik terbuka. Cukup duduk bersama, bertabayun, dan menyusun jalan keluar yang bisa diterima kedua belah pihak.
“Kami tidak pernah terpikir untuk menjual. Tapi kalaupun mau dibeli, bukan itu juga tujuan utama. Tujuannya keadilan dan penyelesaian yang elegan,” tambah Abidin.
Ia menyebut, pemerintah seharusnya hadir bukan hanya sebagai pengguna manfaat, tapi juga pengambil kebijakan yang adil.
“Kami tahu APBD sedang tidak sehat. Kami paham kondisi. Tapi untuk duduk bersama, itu tidak butuh anggaran besar. Cukup niat,” ujarnya, tersenyum kecil.
Semangat mereka bukan untuk mempersulit. Justru ingin menyelamatkan banyak pihak dari konflik yang lebih besar. Bahkan dalam podcast, Abidin menegaskan, para pengelola wisata di jalur selatan tidak punya keterkaitan langsung dengan sengketa itu.
“Mereka hanya penerima manfaat. Bukan musuh. Kami tak ada urusan dengan mereka. Ini soal kebijakan pemerintah,” ungkapnya.
Musyawarah merupakan kunci, demikian lanjutnya. Tapi dalam kisah Cisantana, nilai itu seakan tertinggal.
KUNINGAN MASS – Pada setiap konflik agraria, narasi bisa menjadi senjata. Tak terkecuali dalam polemik jalan Cisantana di Kabupaten Kuningan. Jalan yang kini menjadi...