KUNINGAN (MASS) – Saat ini kontribusi keterwakilan Perempuan pada ranah politik masih minim dan belum memenuhi kuota yang seharusnya. Sedangkan keberadaan Perempuan dapat berperan untuk meningkatkan upaya keikutsertaan politik Perempuan dimana salah satunya yakni keikutsertaan Perempuan menjadi penyelenggara pemilu.
Padahal sudah sangat jelas Jaminan Hukum partisipasi politik Perempuan baik dari sisi Internasional maupun Nasional. Jika dilihat dari Jaminan Hukum Internasional seperti yang tertuang pada Undang-Undang No. 68 Tahun 1958 bahwa, “Perempuan berhak untuk memilih dan dipilih dalam pemilu.” Itu berarti jaminan hukum yang tertuang sudah jelas dimana Perempuan memiliki hak politik yang sama dengan kaum laki-laki baik untuk dipilih maupun untuk memilih.
Selain itu pada Jaminan Hukum Internasional yakni Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan/Convention on Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) pada Undang-Undang No. 7 Tahun 1984 yang menyebutkan bahwa, “Menghapuskan segala bentuk diskriminasi terhadap Perempuan.” Hal ini pun menunjukan bahwa Perempuan juga memiliki kesetaraan yang sama dengan laki-laki untuk dapat menunjukan kemampuan di berbagai bidang.
Kemudian dipertegas dengan Jaminan Hukum Nasional yang menjamin keterwakilan Perempuan yakni terdapat pada Undang-Undang Pemilu No. 7 Tahun 2017 yang menyebutkan, “Mewajibkan 30% keterwakilan perempuan sebagai calon legislatif, keterwakilan Perempuan di KPU dan Bawaslu.” Hal tersebut tidak lain dengan tujuan untuk memastikan bahwa Perempuan dapat masuk dan terlibat dalam ranah politik dan juga sebagai penyelenggara pemilu. Dan hal itu juga menunjukan bahwa Perempuan bukan lagi menjadi bagian kaum minoritas yang dapat dikucilkan untuk masuk di segala bidang.
Pun demikian halnya pada Undang-Undang Partai Politik No. 2 Tahun 2011 yang menyebutkan, “Mewajibkan 30% keterwakilan Perempuan sebagai pendiri, pengurus dan anggota partai politik.” Semua jaminan hukum yang disebutkan sudah sangat jelas yang menyokong Perempuan untuk tidak didiskriminasi dan dapat berperan aktif dalam politik dan masuk di setiap aspek lainnya.
Jika dilihat beberapa hari yang lalu 5 komisioner Bawaslu di Kabupaten Kuningan telah dilantik untuk masa jabatan periode 2023-2028, dengan didominasi oleh komposisi yang sama dengan periode sebelumnya yaitu 5 orang laki-laki. Namun, sangat disayangkan tidak ada satu peserta perempuan pun yang dapat menghantarkan adanya keterwakilan perempuan untuk menduduki posisi tersebut.
Keterwakilan Perempuan hanya dapat bertahan 1 orang pada posisi 10 besar saja. Jika dilihat dari tahapan proses seleksi Bawaslu Kabupaten yang berjalan kurang lebih hampir 3 bulan di seluruh Indonesia. Serta adanya masa perpanjangan waktu pendaftaran untuk mengisi kuota Perempuan dikarenakan masih minimnya pendaftar peserta Perempuan untuk mendaftar menjadi calon anggota Bawaslu khususnya di Kabupaten Kuningan.
Namun, dengan ditambahnya kurun perpanjangan waktu tersebut pun tidak pula menambah angka yang siginfikan untuk memenuhi kuota 30% keterwakilan perempuan. Padahal jika mengacu pada jaminan hukum yang sudah cukup jelas dimana perempuan dapat ikut andil menjadi bagian dari penyelenggara pemilu, lalu mengapa dengan adanya masa perpanjangan waktu tersebut realitanya tidak ada yang dapat menghantarkan satu orang pun sosok perempuan yang dapat mengisi ruang publik sebagai penyelenggara di Bawaslu terlebih di Kabupaten Kuningan.
Itu berarti bahwa 30% keterwakilan perempuan hanya terpenuhi pada tahapan awal saja yaitu pada masa pendaftaran dan itupun masih diangka presentase yang masih rendah untuk memenuhi kuota perempuan.
Lalu bagaimanakah peran keterwakilan perempuan yang sudah lebih dulu menduduki di Tingkat Nasional dan Provinsi yang seharusnya dapat mengawal keterwakilan Perempuan lainnya di tingkat Kabupaten/Kota? Alangkah baiknya jika keterwakilan perempuan yang telah memiliki jabatan strategis, wewenang serta kebijakan dapat mengawal keterwakilan perempuan untuk dapat mengisi ruang publik khususnya untuk menjadi bagian dari penyelenggara di Bawaslu Kabupaten/Kota.
Dan ini menjadi pertanyaan besar apakah peran perempuan hanya sebagai penghias semata? Tentunya pengawalan terhadap perempuan dapat diberikan kepada perempuan yang tidak hanya sekedar memiliki keinginan, namun juga niat yang sungguh-sungguh, visi, misi, kemampuan, kecapakan, loyalitas, integritas, serta disiplin.
Tidak hanya di Kabupaten Kuningan saja di beberapa Kabupaten/Kota dari Provinsi lainnya di Indonesia pun tingkat keterwakilan perempuan masih sangat minim. Seperti di Provinsi Sumatera Barat, dari 19 Kabupaten/Kota hanya 5 orang Perempuan yang terpilih menjadi komisioner Bawaslu. Kemudian di Provinsi Jawa Tengah dimana 29 Kabupaten hanya terisi 28 dan 7 perempuan untuk Kota dimana ada juga 2 komposisi perempuan yang masuk di Kabupaten/Kota.
Selain itu di Provinsi Jawa Timur dari 29 Kabupaten dan 9 Kota hanya terisi 22 perempuan. Pun demikian dengan beberapa Provinsi lainnya yang masih minimnya presentase keterwakilan perempuan menduduki posisi tersebut.
Sementara untuk Provinsi Jawa Barat sendiri dengan jumlah 27 Kabupaten/Kota hanya terdapat 16 keterwakilan perempuan yang terpilih dimana 18 Kabupaten hanya terdapat 10 perempuan dan 9 Kota hanya 6 perempuan angka tersebut masih belum memenuhi kuota perempuan 30 %.
Beberapa kabupaten/Kota masih menunjukan masih ada kesenjangan untuk perempuan mengisi ruang publik sebagai penyelenggara Bawaslu Kabupaten/Kota salah satunya yaitu Kabupaten Kuningan.
Jika dilihat dari hasil perekrutan Bawaslu di seluruh Indonesia, kesenjangan masih tetap terjadi dan eksis antara laki-laki dan perempuan untuk mengisi pada lembaga penyelenggara pengawasan pemilu.
Jaminan hukum bak hiasan semata 30 % keterwakilan perempuan hanya untuk memenuhi kuota atau massa kritis yang berpengaruh pada ruang-ruang politik dan juga agar jumlah keterwakilan laki-laki tidak mendominasi lebih dari 70%. Yang seharusnya keterwakilan perempuan juga dapat digunakan untuk menghindari dominasi serta berperan memiliki fungsi untuk merumuskan kebijakan-kebijakan publik.
Sayangnya baik yang memiliki naungan bendera maupun yang tidak memiliki bendera/background peserta perempuan di beberapa Kabupaten/Kota tidak dapat dikawal dan diperjuangakan untuk menjadi bagian dari lembaga pengawasan Pemilu.
Dapat disimpulkan bahwa kaum marginal yang salah satu didalamnya terdapat perempuan masih menjadi ancaman kaum minoritas untuk mengisi ruang publik. Sampai dengan saat ini, masih banyak perempuan yang memperjuangkan eksistensinya salah satunya pada lembaga penyelenggara Pemilu.
Untuk mempertahankan keterwakilan perempuan hendaknya dapat didorong oleh pihak-pihak yang memiliki kedudukan strategis dan pemangku kebijakan juga perlu adanya dorongan dari Lembaga-lembaga yang memperjuangkan kesetaraan gender untuk mengisi ruang publik.
Keterwakilan perempuan harus terus diupayakan karena perempuan memiliki kepentingan yang berbeda dengan laki-laki dimana salah satunya perempuan dapat memberikan perannya untuk meningkatkan sosialisasi pengawasan, dan pencegahan pada pemilu misalnya saja dengan mentargetkan pada kaum marginal, sehingga belum cukup jika hanya diwadahi oleh kaum laki-laki.
Namun representasi dan partisipasi yang terjadi saat ini realitanya kuantitas anggota perempuan yang menduduki Lembaga Badan Pengawas Pemilu (BAWASLU) belum sebanding dengan laki-laki atau memenuhi kuota keterwakilan perempuan, terlebih pemangku kebijakan di Tingkat Pusat dan Provinsi belum dapat memperjuangkan dan mengawal keterwakilan perempuan untuk dapat mengisi menjadi anggota Bawaslu di setiap Kabupaten/Kota khususnya di Kabupaten Kuningan.
Jika di legislatif saja perempuan bisa menduduki posisi tersebut, namun sangat disayangkan jika keterwakilan perempuan tidak dapat menjadi bagian dari penyelenggara pemilu. Oleh karenanya, akankah ada regenerasi berikutnya untuk keterwakilan perempuan dapat mengisi ruang publik di lembaga penyelenggara lainnya yaitu KPU khususnya di Kabupaten Kuningan?
Dian Aprianti, S.Pd., M.Pd
Ketua Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) Pancalang