KUNINGAN (MASS) – Bangun tidur ku terus mandi, tidak lupa menggosok gigi, habis mandi ku buka handphone merapikan media sosialku. Itulah aktivitas pagi yang biasa ku jalani tidak lepas dari handphone, tapi pagi itu ketika hujan membungkus kota, ada yang ganjil di beranda beberapa sosial media. Banyak nyinyiran tentang fenomena mudik & pulang kampung.
Setelah rasa KEPOku membuncah, jari ini langsung mengetik browser chrome berselancar dengan kata kunci “mudik & pulang kampung”. Hasil teratas dalam hitungan detik langsung memunculkan video percakapan antara Presiden Joko Widodo dengan Mba Nana pemilik si mata indah nan ayu itu.
Sontak ku cermati dengan penuh rasa penasaran, ternyata hal ini yang membuat jagat maya penuh dengan nyinyiran rasa baper terbawa kekalahan pilpres lalu (mungkin) hehe. Singkatnya beginilah transkrip percakapan mister president dengan teh Najwa yang kalo kita simak dengan seksama serasa ada manis – manisnya gitu. Asoo tenan
Najwa : Apa bedanya, Bapak, pulang kampung dan mudik?
Jokowi : Kalau mudik itu di hari Lebarannya. beda—
Najwa : Hanya perbedaan masalah waktu….
Jokowi : —untuk merayakan Idul Fitri. Untuk merayakan Idul Fitri. Kalau yang namanya pulang kampung itu ya bekerja di Jakarta, tetapi anak istrinya ada di kampung.
Najwa : Tetapi itu kan hanya perbedaan timing, Bapak Presiden. Tapi aktivitasnya sama. Mereka pulang, dan kemungkinan membawa virus ke rumah, itu juga sama.
Jokowi : Coba dilihat juga di lapangan. Ini lapangan yang kita lihat. Di Jakarta, mereka menyewa ruang 3 x 3, atau 3 x 4. Isinya 8 orang, 9 orang. Mereka di sini tidak bekerja. Lebih berbahaya mana? Di sini, di dalam ruangan, dihuni 9, 8 orang, atau pulang ke kampung, tapi di sana juga sudah disiapkan isolasi dulu, oleh desa, saya kira sekarang semua desa sudah menyiapkan isolasi ini, (untuk) yang pulang dari Jakarta, lebih bahaya mana? Saya kira harus melihat lebih detail lapangannya, harus lebih detail angka-angkanya.
Sudah dibaca ? lengkapnya di kanal Youtube aja ya
Koteks & Konteks
Saya yang bukan ahli linguistik ini dan juga bukan timses salah satu paslon capres kemarin akan mencoba mengingatkan kembali tentang dawuh kebahasaan, bahwa dalam setiap berbahasa akan ada koteks dan konteks yang menyertai.
IMHO pengertianya seperti ini, koteks dapat berupa ujaran, pargaraf ataupun wacana. Sedangkan konteks adalah ruang dan waktu yang spesifik yang meliputi lingkungan fisik dan sosial tertentu dalam memahami suatu teks yang ingin atau akan dipahami. Yang saya tangkap dari percakapan presiden adalah tentang perbedaan mudik yang beliau artikan orang – orang yang pulang kampung saat menjelang hari raya, biasanya kita akan mendengar H- 7, h – 3, hari H atau H+1, H+3 dll. Istilah – istilah ini akan lumrah kita dengar menjelang hari raya. Lha kemarin saat percakapan itu berlangsung konteksnya adalah ramadhan saja belum berlangsung, tentu saja jika yang awam akan mafhum bahwa itu pulang kampung.
Tapi memang sifat nyinyir warga +62 lebih sarkas dari gunjingan tetangga, poko’e netizen maha benar, bahkan jika dulu ada joke yang paling benar adalah perempuan dan boss, maka sekarang ditambah netizen. No offense yak hehe
Sinonim Tidak Selalu Bisa Saling Menggantikan
Wahai netizen barbar, anda tentu faham betul bahwa sinonim atau bentuk bahasa yang maknanya mirip menurut KBBI ada yang tidak selalu bisa saling menggantikan. Misal : mati, meninggal tewas, meski mereka termasuk ke dalam kategori sinonim tapi nyatanya mereka tidak bisa saling menggantikan.
Batu adalah salah satu benda mati.
Sumur itu sudah lama mati.
Kakiku mati rasa.
Tak lama lagi lilin itu pasti akan mati.
Coba anda ganti kata mati diatas dengan kata tewas, pasti anda akan tertawa terpingkal – pingkal membacanya. Bisa juga kata kawin dan nikah, meski sama tentu akan beda maknanya.
Anda sudah menikah ?
Kisanak masih lajang tapi apakah pernah kawin ?
Sudah tahu bedanya ? ya itulah keanekaragaman bahasa.
Nasihat Untuk Mereka
Berhubung Saya dari Kota kuda, saya akan lebih mengerucut kepada kawan – kawan di beranda media sosial Saya yang memang dominan dari kota seribu nama ini. Mereka yang nyinyir, setelah ditelaah ternyata bukan hanya dari kalangan antah berantah, melainkan banyak pula kalangan terdidik, bahkan Saya emat – emat (baca : tatap lamat – lamat) ada pejabat publik, para pendidik, aktivis, kaum kanan, dll
Asli, heran dan miris menyanksikan mereka senang melakukan nyinyir (bukan kritik) pedas kepada pimpinan negara. Padahal lho ya Mereka (masih) digaji negara karena beberapa Saya tahu betul siapa mereka. Saran Saya, sampaikan kritik yang membangun bukan nyinyir seperti tetangga. Toh justru dengan seperti itu anda malah akan terlihat lemah tak berwibawa.
ketimbang membahas sebuah kata – kata yang memang menurut Saya poin pentingnya ramashook mendingan kritisi programnya. Apalagi anda bagian dari negara buatlah program yang bisa memajukan bangsa dan negara.
Kedua, memang ungkapan semut diseberang lautan tampak, gajah dipelupuk mata tak tampak banyak benarnya. Kuningan misalnya masih banyak program yang bisa dikritisi. Misal : proporsi anggaran covid19 yang masih belum masuk akal, kemiskinan yang berada di peringkat 2 dan lain sebagainya. Coba kalo berani kritik juga sonoh, kalo berani lho ya kalo engga yawis, atau nyinyirin juga di medsos berani ga ? hehe ampun paralun
Wahai netizen yang budiman, ini masih sederhana. Saya belum membahas sisi psikologi manusia dengan kemampuanya masing – maising ada yang pandai berbicara, pandai seni, pandai menghitung, atau pandai nyinyir. Barangkali pak presiden kita itu lebih jago bekerja dari pada berbicara ya mohon dimaklumi bukan dinyinyiri, apalagi ini Ramadhan. Iya tho?
Sebagai penutup saya sampaikan ini karena sangat peduli kepada klean – klean semua, ingat kawan bukankah ajaran kita selalu mengingatkan agar kita jangan menggunjingkan satu sama lain ? kalo kritik mah beda bukan menggunjing atau nyinyir. Lagi pula jejak digital itu sangat membekas kawan, hati – hati yee, bukankah begitu sayang ?***
Ageng Sutrisno Wisanggeni Wicaksono
Bukan penulis lepas