KUNINGAN (MASS) – Dilihat dari konteks keislaman di Indonesia akhir-akhir ini, Ramadhan tahun ini dikejutkan paling tidak oleh dua hal yang secara substansi tidak ada kaitan secara langsung dengan bulan suci itu sendiri yaitu peristiwa bom bunuh diri di berbagai tempat beberapa hari sebelum dimulainya puasa dan keluarnya rilis daftar 200 mubaligh oleh Kementerian Agama RI.
Untuk peristiwa yang pertama, nampaknya masyarakat merasa sudah selesai dengan diserahkan kepada pihak yang berwenang untuk “menyelesaikannya”. Meskipun riak-riaknya masih terasa hingga kini terutama dikaitkan dengan wacana RUU tentang Terorisme dan penangkapan puluhan orang yang diduga teroris atau memiliki keterkaitan dengan jaringan teroris serta penahanan beberapa orang yang justru menganggap peristiwa ini hanya “panggung sandiwara” tingkat tinggi belaka.
Yang justru saat ini “heboh” atau mungkin lebih “heboh” adalah hal yang kedua yaitu keluarnya daftar 200 muballig “Mu’tabarah” versi Kementrian Agama RI. Mengapa “heboh”? Hal itu karena memiliki keterkaitan secara langsung dengan hajat keagamaan ummat Islam, apalagi di bulan suci ini yang bisa dikatakan sebagai puncaknya ekspresi dan manifestasi spiritualitas keagamaan ummat Islam.
Bukan Daftar Final
Meskipun pemerintah melalui Menteri Agama RI, Lukman Saefudin, telah mengklarifikasi bahwa daftar 200 orang muballigh ini hanyalah daftar tahap awal, rilis nama secara rinci tersebut nyatanya mengundang reaksi sporadis sekaligus tanda tanya, jika tidak boleh dikatakan shock.
Bagaimana tidak? Dengan melihat fakta bahwa terdapat jumlah ratusan juta ummat Islam yang tinggal di Indonesia berikut puluhan ribu Mesjid, Musholla, Majelis Ta’lim dan komunitas keagamaan lainnya, rilis muballigh yang hanya mencantumkan 200 orang menciptakan kegaduhan luar biasa di internal ummat Islam.
Secara kalkulatif matematis, bagaimana mungkin 200 orang ini mewakili kepentingan ummat yang luas dan beragam. Selain itu, terkait sosok yang masuk juga memunculkan tanda tanya di kalangan ummat. Banyak tokoh yang masuk tidak terkategori muballigh yang dikenal masyarakat selama ini. Misalnya Prof. Mahfud MD yang lebih dikenal mantan ketua Mahkamah Konstitusi sekaligus sebagai ahli hukum tata negara atau Prof. Oman Fathurrahman yang lebih dikenal sebagai ahli filologi atau Dr. Rumadi dan Dr. Muqsith Gozali sebagai pentolan JIL dan Ala’i Najib yang dikenal sebagai aktifis gender.
Sementara, banyak yang sudah dikenal oleh ummat Islam sebagai muballigh alias penyambung lidah masyarakat nyatanya tidak masuk kategori muballigj yang layak dan pantas “diakui”.
Tiga Kriteria
Betul bahwa dalam membuat daftar ini Kemenag menyusun 3 kriteria yaitu kompetensi keilmuan, reputasi diri dan loyalitas kebangsaan. Masalahnya bagaimana membuktikannya? Adakah terlebih dulu dilakukan tes atau sejenisnya? Atau adakah survei secara massif dulu sebelum penentuan?
Kalau ada, kapan dan bagaimana formulasi survei sehingga bisa diuji validitas dan reliabilitasnya? Nyatanya, itu semua tidak pernah dilakukan. Jadi, bagaimana ketiga kriteria itu digunakan sehingga menghasilkan 200 orang itu? Lebih menarik lagi bahwa Kemenag juga membuka jalur komunikasi khusus untuk yang mau diusulkan. Nah, ini bagaimana mekanisme seleksinya.
Bisa dibayangkan jika ada sekelompok orang mengusulkan dan kemudian ditolak karena dianggap tidak memenuhi tiga kriteria di atas direstui oleh pemerintah. Pastinya, mereka akan bereaksi dengan keras dan tidak menutup kemungkinan turun ke jalanan. Puncaknya, ketika dalam proses pencantuman ke-200 nama muballigh resmi pemerintah tidak terlebih dahulu melakukan konfirmasi kepada yang bersangkutan, banyak di antara mereka yang tercantum justru menunjukkan sikap keberatan.
Artinya, kemunculan tiga kriteria ini lebih sebagai upaya untuk meyakinkan mereka yang menolak daripada sebagai standar yang benar-benar digunakan guna melakukan seleksi muballigh “resmi” tersebut.
Adakah Muballigh Kuningan?
Sepengetahuan saya, ada paling tidak dua nama muballigh asal Kuningan, yaitu Dr. H. Engkos Kosasih, dosen UIN Bandung dan Prof. Dr. Oman Fathurrahman, dosen UIN Jakarta sekaligus Staf Ahli Menteri Agama.
Namun, keduanya orang asli Kuningan, tapi sudah tidak menetap di Kuningan. Jadi kalau ditanya ada tidak mubaligh yang tinggal di Kuningan? Sekali lagi sepengetahuan saya tidak ada.
Nah, jika kemudian muncul pertanyaan apakah berarti bahwa para mubaligh yang ada di Kuningan tidak memenuhi syarat, saya tidak tahu dan hanya Kemenag Pusat yang bisa jawab dengan pasti. Tapi jika ingin ada sebagaimana ditegaskan oleh pihak Kementerian Agama, silahkan tinggal kirim SMS atau wa ke nomor yang disediakan oleh Kementerian Agama. Siapa tahu ada yang bisa masuk dan lumayan paling tidak bisa sebagai Curriculum vitae atau sebagai bahan klaim sebagai muballigh “resmi”, meskipun pada akhirnya hanyalah menghasilkan pro dan kontra.
Epilog
Intinya, seharusnya setiap kebijakan yang akan dikeluarkan mesti dipertimbangkan secara matang terlebih dahulu, kalau perlu dikaji dan diteliti secara mendalam sebelum dikeluarkan. Karena, tugas pemerintah adalah untuk memastikan bahwa tidak ada gejolak di masyarakat dan semua komponen bisa diakomodir dengan baik. Wallahu ‘Alam. **
Penulis: KH. Didin Nurul Rosidin, Ph.D. (Direktur Kulliyyatul Mu’allimin Al-Mutawally (KMA))