KUNINGAN (MASS) – Gubernur, Bupati, dan Walikota masing–masing sebagai Kepala Pemerintahan Daerah Provinsi, Kabupaten, dan Kota dipilih secara demokratis (Pasal 18 Ayat (4) UUD Negara RI Tahun 1945), bahwa atas dasar Pasal 18 Ayat (4) UUD Negara RI Tahun 1945 itu lahir UU bidang politik, yaitu UU No 10 tahun 2016 tentang perubahan kedua atas UU No 1 tahun 2015 tentang penetapan peraturan pemerintahan pengganti UU No 1 tahun 2014 tentang pemilihan gubernur, bupati, dan walikota menjadi UU.
Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati Dan Wakil Bupati serta Walikota Dan Wakil Walikota yang selanjutnya disebut pemilihan adalah pelaksanaan kedaulatan rakyat di wilayah provinsi dan kabupaten/kota untuk memilih gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota secara langsung dan demokratis. (Pasal 1 Butir 1 UU No 8 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas UU No 1 Tahun 2015).
Dalam pelaksanaan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati Dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota terdapat permasalahan hukum pemilihan yaitu, pelanggaran kode etik pemilihan adalah pelanggaran terhadap etika penyelenggara pemilihan yang berpedoman pada sumpah dan/atau janji sebelum menjalankan tugas sebagai penyelenggara pemilihan. Pelanggaran kode etik penyelenggara pemilihan diselesaikan oleh DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan).
Pelanggaran administrasi meliputi pelanggaran terhadap tata cara yang berkaitan dengan administrasi pelaksanaan pemilihan dalam setiap tahapan pemilihan, pelanggaran administrasi penyelesaiannya oleh KPU provinsi dan/atau KPU kabupaten/kota berdasarkan rekomendasi Bawaslu provinsi dan/atau Bawaslu kabupaten/kota sesuai dengan tinggkatannya.
Pelanggaran sengketa pemilihan terdiri atas :
- Sengketa antar peserta pemilihan (Paslon Gubernur dan Wakil Gubernur dan Paslon Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota).
- Sengketa antara peserta pemilihan dengan penyelenggara pemilihan.
Bahwa yang berwenang menyelesaikan sengketa pemilihan adalah Bawaslu provinsi dan Bawaslu kabupaten/kota.
Tindak pidana pemilihan merupakan pelanggaran atau kejahatan terhadap ketentuan pemilihan yang penyelesaiannya dilakukan oleh sentra penegakan hukum terpadu (GAKUMDU) yang unsurnya Bawaslu provinsi, Bawaslu kabupaten/kota, kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan Tinggi, Kejaksaan Negeri.
Penyidik kepolisian Negara Republik Indonesia menjalankan tugas melakukan pengeledahan, penyitaan, dan pengumpulan alat bukti, dan dari hasil penyidikan disertai berkas perkara kepada penuntut umum yang kemudian oleh penuntut umum dilimpahkan ke pegadilan.
Sengketa Tata Usaha Negara pemilihan merupakan sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha Negara pemilihan, dalam perkara antara Calon Gubernur, Calon Bupati dan Calon Walikota lawan KPU provinsi dan/atau KPU kabupaten/kota sebagai akibat dikeluarkannya Keputuasan KPU provinsi dan/atau KPU kabupaten/kota, penyelesaian sengketa tata usaha Negara, pemohon (Pihak yang dirugikan mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara dilakukan setelah seluruh upaya administrasi di Bawaslu provinsi dan/atau Bawaslu kabupaten/kota).
Bahwa berdasarkan Undang – Undang No 7 Tahun 2020 tentang perubahan ke 3 atas Undang – Undang No 24 Tahun 2003 tentang Makamah Konstitusi, selain Makamah Konstitusi bertugas memeriksa dan mengadili menguji Undang – Undang terhadap UUD Negara RI Tahun 1945 (JUDICIAL REVIEW), Memutuskan sengketa kewenangan lembaga Negara, Memutuskan pembubaran partai politik, Memutuskan perselisihan tentang hasil pemilihan umum, Memberi putusan atas pendapat DPR bahwa presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum, juga Makamah Konstitusi berdasarkan ketentuan pasal 157 ayat (3) UU No 10 Tahun 2016 tentang pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota berwenang memeriksa dan mengadili perkara perselisihan hasil pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.
Perlu kami tegaskan di dalam praktek pihak yang dirugikan selaku peserta pemilihan (pemohon) keberatan mengajukan keberatan ke Mahkamah Konstitusi terhadap Termohon (KPU provinsi dan KPU Kabupaten/Kota) dan terhadap pihak terkait (Calon Terpilih) dalam tenggang waktu paling lambat 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak diumumkan penetapan perolehan suara hasil pemilihan oleh KPU provinsi atau KPU kabupaten/kota.
Peserta pemilihan (pemohon) di dalam dasar atau alasan keberatan (Punda mentun petendi) sering terjadi mempersoalkan kecurangan–kecurangan diantaranya, peserta pemilihan mempersoalkan “Money Politik” yang dilakukan oleh pelaksana kampanye, tim kampanye, padahal yang benar menurut hukum Mahkamah Konstitusi (MK) berwenang memeriksa, mengadili dan memutus ”Perselisihan Hasil Pemilihan (PHP)”, bahwa atas dasar pengajuan Pihak Pemohon keberatan (Calon yang tidak terpilih) mempersoalkan bukan hasil perselisihan pemilihan maka, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) permohonan peserta pemilihan (pemohon) tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard), dengan dasar alasan Mahkamah Konstitusi berwenang memeriksa dan mengadili serta memutus perselisihan hasil pemilihan pemohon harus dapat membuktikan (Pasal 163 HIR) di persidangan Mahkamah Konstitusi, bahwa dalam pelaksanaan Pilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota telah terjadi adanya perselisihan hasil pemilihan (Selisih Suara), jika pemohon tidak dapat membuktikan adanya perselisihan pemilihan, maka Majelis Hakim yang memeriksa perkara aquo menjatuhkan putusan permohonan pemohon keberatan ditolak.
Penulis :
Pemerhati Hukum dan Advokat
Hamid, S.H.,M.H.