KUNINGAN (MASS) – Sumber daya alam adalah unsur-unsur lingkungan alam, baik secara fisik maupun hayati yang diperlukan manusia dalam memenuhi kebutuhannya guna menigkatkan kesejahteraan hidup. Hal tersebut sesuai dengan penelitian Global Footprint Network yang mengemukakan bahwa happiness index suatu negara berbanding lurus dengan ecological footprint index dari negara tersebut, di mana negara maju cenderung akan memiliki ecological footprint index yang lebih tinggi dari pada negara berkembang. Ecological footprint merupakan salah satu metode yang digunakan untuk mengukur kebutuhan manusia akan sumber daya alam.
Air merupakan sumber daya alam yang dianggap melimpah dan tidak akan pernah habis. Lebih dari 70% permukaan bumi terdiri dari air. Tetapi pada kenyataannya, terutama seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk, manusia seringkali tidak mengindahkan pentingnya pelestarian. Padahal air yang dapat dikonsumsi atau dimanfaatkan oleh manusia hanya 5% dari total air di muka bumi ini (Hoekstra and Chapagain, 2008). Saat ini penggunaan air di dunia naik dua kali lipat lebih dibandingkan dengan seabad silam, namun ketersediaannya justru menurun (Jacques Diouf, 2011). Akibatnya, terjadi kelangkaan air yang harus ditanggung oleh lebih dari 40% penduduk bumi. Karena keadaan tersebut, beberapa konsep muncul sebagai respons akan masalah ini, salah satunya konsep water footprint (WF) yang merupakan bagian dari ecoligical footprint.
Water footprint (WF) adalah suatu konsep yang digunakan untuk melacak jumlah air yang dipergunakan oleh seseorang, suatu komunitas dan bisnis tertentu ataupun yang digunakan untuk menghasilkan suatu produk yang diartikan secara virtual. Diartikan secara virtual karena menunjukkan total air yang digunakan pada seluruh proses produksi produk tersebut yang meliputi jumlah air hujan (green water footprint), air permukaan dan dalam tanah (blue water footprint) dan juga air yang diperlukan untuk mengolah limbah dari produk tersebut (grey water footprint). Informasi dari water footprint suatu produk ataupun suatu komunitas akan membantu kita memahami bagaimana keberlanjutan dan pemerataan dalam penggunaan sumber daya air. Dari penelitian yang dilakukan oleh GFN, diperoleh bahwa kecenderungan negara dengan indeks pembangunan manusia tinggi merupakan negara yang berkontribusi besar terhadap indeks footprint keseluruhan. Pencetus water footprint, A.Y Hoekstra, mengemukakan bahwa tidak hanya IPM, berbagai variabel ikut berperan terhadap indeks WF. Selain indikator kesejahteraan masyarakat secara umum, faktor yang mempengaruhi indeks water footprint adalah pertanian, industri, rumah tangga dan jasa.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) didampingi Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono, Menteri Sekretaris Negara Pratikno, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, Anggota Komisi V DPR RI Mulyadi dan Bupati Kuningan Acep Purnama meresmikan Bendungan Kuningan, Jawa Barat, Selasa (31/8/2021). Bendungan Kuningan di Provinsi Jawa Barat yang telah dibangun selama tujuh tahun, dengan biaya Rp513 miliar hari ini selesai dan siap untuk difungsikan. Dengan kapasitas tampung 25,9 juta m3, bendungan ini akan mensuplai air secara kontinu untuk pertanian irigasi bagi 3.000 ha sawah masyarakat di Kabupaten Kuningan, Kabupaten Cirebon, dan Kabupaten Brebes. Bendungan Kuningan ini juga sangat bermanfaat bagi ketahanan air, menghindari banjir, menyediakan air baku 0,30 m3/detik, serta menghasilkan listrik 0,5 MW. Bendungan kuningan akan bermanfaat secara sistemik kepada sektor pertanian, rumah tangga, industri dan jasa, sehingga dengan berkembangnya sektor-sektor yang dipengaruhi bendungan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan meningkatkan Water Foot Print (WF).
Faktor-faktor WF secara tidak langsung memiliki keterkaitan yang berbanding lurus degan kesejahteraan manusia. Ketika faktor kesejahteraan meningkat, maka water footprint akan cenderung meningkat dan sebaliknya. Kesejahteraan merupakan kondisi dapat memenuhi kebutuhan dasar baik material maupun non-material yang mencakup aspek gizi dan kesehatan, pengetahuan, dan kekayaan materi dimana indikator yang banyak digunakan adalah indikator pendapatan dan pengeluaran, tingkat pendidikan, pekerjaan dan kepemilikan asset dari masyarakat (Faturokhman, et al., 1995). Indikator tersebut secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh terhadap total WF pada suatu daerah, seperti misalnya pendapatan akan mempengaruhi jumlah penggunaan produk industri serta hubungan lain antar-indikator pada indeks WF dengan indikator pada kesejahteraan masyarakat. Kondisi ini digambarkan dalam hubungan keterkaitan antar variabel yang mempengaruhi WF, seperti ditunjukan pada gambar di bawah ini.
Berdasarkan hasil penelitian tim System Dynamics Center (SDC) dengan pendekatan sistem dinamik, manfaat bendungan dapat diprediksi untuk memenuhi kebutuhan pada sektor yang dipengaruhinya. Pada sektor pertanian dengan adanya bendungan akan meningkatkan indeks pertanaman menjadi 3, dengan luas lahan pertanian yang dapat dialiri air dari bendungan adalah 3000 Ha dan prodiktifitas padi 6 ton/Ha maka akan diperoleh produksi padi sebesar 540000 ton/tahun. Pada sektor rumah tangga dengan adanya bendungan dapat memenuhi kebutuhan air rumah tangga untuk 116.889 jiwa. Pada sektor industri, jika akan dibangun industri disekitar bendungan maka dapat mensuplai 105 industri kecil dan 40 industri sedang, dengan kebutuhan air rata-rata untuk industri kecil adalah 50 m3/industri/hari dan industri sedang 150 m3/industri/hari. Sektor-sektor yang dipengaruhi bendungan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan meningkatkan Water Foot Print.
Peningkatan kesejahteraan yang diiringi dengan peningkatan konsumsi terhadap sumber daya air bukan tanpa permasalahan. Berdasarkan data dari Kementerian Riset dan Teknologi, pada tahun 2000 secara nasional ketersediaan air permukaan hanya mencukupi 23% dari kebutuhan penduduk. Sementara itu, Pulau Jawa dan Bali kondisinya sudah defisit air sejak tahun 1995. Saat musim kemarau, di Jawa terjadi defisit air sekitar 130 ribu juta meter kubik per tahun. Maka tidak aneh jika setiap musim kemarau di Jawa dan Bali seringkali terjadi krisis air di beberapa daerah. Krisis air tersebut menyebabkan terganggunya stabilitas ketersediaan air bagi masyarakat. Banyak masyarakat yang kesulitan mendapatkan akses air sehingga harus berjalan berkilo-kilo untuk mendapatkan air. Air yang didapat pun tak jarang memiliki kualitas dibawah standar. Penyediaan air minum di Indonesia masih menjadi sesuatu yang kompleks. Di Indonesia, salah satu kendala utama dalam penyediaan air bersih adalah terbatasnya pasokan air. Sebagian besar perusahaan daerah air minum (PDAM) beroperasi dengan mengandalkan air baku dari air sungai. Sementara sungai yang ada sudah banyak mengalami degradasi yang disebabkan kerusakan daerah aliran sungai (DAS), masalah antropogenik, dan melemahnya perlindungan terhadap sungai. Faktor perubahan iklim juga menyababkan trend (kecenderungan) debit sungai mengecil secara signifikan.
Bendungan Kuningan secara sistemik yang sudah digambarkan dalam konsep Water Footprint (WF) dapat memberikan gambaran untuk merancang kebijakan pemerintah daerah dalam mengelola Bendungan Kuningan dan membuat perencanaan untuk menanggulangi penurunan penggunaan air serta dampaknya bagi stakeholder terkait.***
Penulis: Dr. Casnan, S.Si., M.Si.
Wakil Ketua I Bidang Akademik, Kemahasiswaan dan AIK. STKIP Muhammadiyah Kuningan