KUNINGAN (MASS) – Pada masa awal penyebaran Islam, Kuningan tidak menjadi wilayah pusat kegiatan Islam karena secara geografis Islam tumbuh dan berkembang di wilayah Cirebon dengan berdirinya Kerajaan Cirebon di bawah pimpinan Syekh Syarif Hidayatullah, namun dalam prakteknya Kuningan selalu menjadi penyangga dalam penyebaran Islam di wilayah Cirebon sehingga ketika akan berbicara sejarah Islam di Kuningan akan selalu berkaitan dengan sejarah Islam di Cirebon bahkan sering disebut Kuningan is Part History of Cirebon.
Pada masa penyebaran Islam di Kuningan abad 15 ada beberapa hal yang perlu ditelusuri lebih mendalam karena tak banyak ditulis dalam berbagai literatur sejarah yang ada. Sumber-sumber sejarah biasanya itu dapat berupa prasasti (inkripsi), manuskrip (Lontar, Gebang dan kertas) atau Foklor (Dongeng, Pantun, dan tembang) yang sedikit sekali menceritakan kondisi penyebaran agama Islam di Kuningan seperti siapakah para penyebar Islam di Kuningan?
Selama ini jika kita ketika berbicara tentang tokoh-tokoh penyebar Islam di Kuningan, maka kita akan membicarakan sosok Syekh Syarif Hidayatullah atau yang lebi dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati, Syekh Maulana Akbar, Dipati Luragung. Pangeran Arya Kamuning, Dipati Ewangga dan beberapa tokoh Islam lainnya. Apakah ada tokoh-tokoh lain yang menyebarkan Islam selain yang sudah disebutkan tadi. Sehingga sekarang Islam sudah menjadi agama mayoritas masyarakat Kuningan.
Selain tokoh penyebar Islam di Kuningan, kita harus lebih mengkritisi bagaimana Islam dapat sampai ke Kuningan. Apakah para penyebar islam memakai rute jalur perjalanan seperti jalur transportasi sekarang seperti dari Cirebon, Beber, Cilimus, Luragung dan Kuningan atau bahkan dimulai dari Cirebon, Gebang, Luragung dan barulah ke menyebar ke wilayah Kuningan.
Namun hal itu berbeda ketika kita membicarakan Islam di Kuningan abad 18, mulai dikenal secara baik berkat banyaknya catatan-catatan yang menggambarkan tentang situasi dan kondisi Kuningan pada saat itu. Bahkan dapat dikatakan bahwa abad ke 18 Kuningan menjadi Epicentum Islam di wilayah tiga Cirebon. Hal ini ditandai dengan adanya beberapa catatan mengenai beberapa letupan yang terjadi di Kuningan seperti Laporan Politik Pemerintah Kolonial tahun 1839-1849 (Exhibitum, 31 Januari 1851, no. 27). Kemudian disebutkan pula dalam tulisan E. de Waal, yang berjudul Onze Indische Financien, 1876, secara sangat singkat. Selanjutnya, diuraikan cukup panjang, dalam disertasi D.W.J. Drewes, yang berjudul Drie Javaansche Goeroe’s (1925). Bahkan GWJ Drewes dalam disertasinya mmenyebutkan bahwa ada sosok Kiai Yang bernama Kiai Hasan Maolani yang disebut sebagai Guru Jawa dengan dua tokoh lainnya yakni Mas Malangyuda dan Nurhakim.
Melihat gerakan Kiai Hasan Maolani, yang semakin hari dianggap semakin berbahaya, pemerintah kolonial akhirnya mengambil tindakan Kiai Hasan Maolani harus ditangkap. Dengan surat keputusan tanggal 6 Juni 1842, Kiai Hasan Maolani diasingkan ke Menado dengan status sebagai tahanan negara. Dengan ditangkapnya Kiai Hasan Maolani Kuningan mulai dilihat sebagai salah satu wilayah yang diperhitungkan dan menjadi pusat kegiatan keislaman.
Selain itu tercatat ada salah satu ulama yang dikenal dengan nama Kiai Sobari yang hidup di akhir abad 18 yang mempunyai Pesantren Ciwedus di Desa Timbang Kecamatan Cigandamekar. Ia merupakan murid langsung Kiai Kholil Bangkalan, banyak sekali santri yang belajar kepadaKiai Sobari dari berbagai penjuru bahkan Kiai Sobari merupakan salah satu pesantren yang mempunyai jaringan sampai wilayah Priangan seperti pesantren. Bahkan salah satu pendiri Tarekat Asy Syahadatain merupakan murid Kiai Sobari yaitu Habib Umar Pangurangan yang mempunyai pengikut dimana-mana. Kiai Abdul Halim yang juga dikenal sebagai Pendiri PUI pernah beajar langsung kepada Kiai Sobari. Dengan besarnya pengaruh di mata masyarakat hal ini menunjukan bahwa Kuningan pada abad 18 menjadi salah satu Epicentrum Islam dengan adanya para ulama yang mempunyai keilmuan dan pengaruh yang luas.
Agus Kusman
Direktur Eksekutif Kuningan Institute