KUNINGAN (MASS) Akhir-akhir ini, berbagai perilaku korupsi kembali mencuat di Indonesia. Korupsi adalah salah satu “hantu” yang entah sampai kapan akan terus bergentayangan di republik ini. Semangat reformasi yang dulu digaungkan dengan tujuan membasmi korupsi, nyatanya semakin pudar. Justru, korupsi kini semakin merajalela.
Secara terminologis, korupsi dapat ditinjau dari berbagai perspektif. Kamus Oxford mendefinisikan korupsi sebagai perilaku ilegal, terutama yang dilakukan oleh orang yang memiliki kekuasaan atau wewenang. Sementara itu, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan korupsi sebagai penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Dalam hukum positif Indonesia, korupsi merupakan tindakan melawan hukum dengan tujuan memperkaya diri sendiri maupun orang lain, baik perorangan maupun korporasi, yang mengakibatkan kerugian keuangan atau perekonomian negara.
Secara data, dalam rentang waktu 13 tahun terakhir (2011–2024), Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat bahwa terdapat 29 hakim yang menjadi tersangka dalam kasus suap terkait pengeluaran putusan pengadilan. Nilai suap yang terlibat pun tidak main-main—mencapai lebih dari Rp100 miliar. Bahkan pada April tahun ini, Kejaksaan Agung menetapkan empat orang hakim sebagai tersangka dalam kasus suap penanganan perkara ekspor crude palm oil. Tentunya hal ini menimbulkan keresahan di tengah masyarakat, karena sosok yang seharusnya menjadi teladan justru malah berperilaku sebaliknya.
Hakim dan Lupa akan Kode Etik Profesi
Sebagaimana diketahui bersama, profesi hakim adalah profesi yang sangat mulia. Ia bertugas mengadili perkara dan sering disebut sebagai “tangan Tuhan di dunia”. Undang-undang tentang kekuasaan kehakiman menyatakan bahwa hakim adalah penegak hukum dan keadilan yang mengemban amanah untuk menyelesaikan perkara berdasarkan nilai-nilai yang hidup di tengah masyarakat. Dalam menjalankan tugasnya, hakim terikat pada kode etik profesi agar integritas dan profesionalismenya tetap terjaga.
Shidarta menyebut bahwa kode etik merupakan prinsip-prinsip yang disusun secara sistematis dan melekat pada suatu profesi. Kode etik menjadi norma dan acuan dalam bertindak, serta menjadi jaminan mutu suatu profesi. Tujuannya adalah untuk mencegah perilaku tidak etis, menjadi alat kontrol sosial, mencegah campur tangan pihak lain, dan menjadi instrumen pencegah konflik maupun kesalahpahaman.
Kode etik profesi memiliki beberapa fungsi penting, antara lain:
- Sebagai prinsip dasar yang harus dipegang oleh seluruh anggota, baik yang baru maupun yang lama.
- Menjamin kehormatan profesi tetap terjaga.
- Mendahulukan pelayanan publik di atas kepentingan pribadi.
- Menjadi standar profesional dan mencegah persaingan tidak sehat.
- Melindungi profesi dari perpecahan internal.
Dalam menjalankan tugasnya, para penegak hukum wajib menaati nilai-nilai dasar seperti kemanusiaan, keadilan, kepatutan, dan kejujuran. Kode etik tidak hanya bersifat moral, tetapi juga masuk dalam ranah hukum positif. Oleh karena itu, pelanggaran terhadap kode etik juga dapat dikenai sanksi sesuai ketentuan yang berlaku.
Adapun pedoman kode etik dan perilaku hakim telah diatur dalam Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial RI Nomor: 047/KMA/SKB/IV/2009 dan 02/SKB/P.KY/IV/2009. Dalam aturan tersebut, dijelaskan bahwa secara pribadi, hakim wajib:
- Bertakwa kepada Tuhan YME.
- Menjunjung tinggi citra dan martabat hakim.
- Berperilaku baik, jujur, adil, sabar, bijaksana, dan bertanggung jawab.
- Menjauhi perbuatan tercela.
- Menjaga wibawa dan tidak menyalahgunakan kewenangan.
Sepuluh Aturan Perilaku Hakim Berdasarkan Kode Etik:
- Adil: Memberikan hak kepada yang berhak, serta memperlakukan semua pihak secara setara.
- Jujur: Berani menyatakan yang benar adalah benar, yang salah adalah salah.
- Arif dan bijaksana: Bertindak sesuai norma hukum, agama, dan kesusilaan, serta mempertimbangkan dampak dari keputusannya.
- Mandiri: Bebas dari pengaruh pihak manapun.
- Berintegritas tinggi: Setia terhadap nilai dan norma yang berlaku.
- Bertanggung jawab: Berani mempertanggungjawabkan dampak dari setiap keputusan.
- Menjunjung harga diri: Tidak merendahkan martabat pribadi dan profesi.
- Disiplin tinggi: Konsisten dalam menjalankan tugas.
- Rendah hati: Tidak sombong, sadar akan mulianya amanah yang diemban.
- Profesional: Bekerja dengan sungguh-sungguh, berbekal keahlian dan wawasan yang mendalam.
Masyarakat menilai hakim tidak hanya dari putusannya, tetapi juga dari perilaku dan integritasnya. Oleh karena itu, hakim dituntut untuk menjadi panutan. Sayangnya, fakta yang terjadi akhir-akhir ini menunjukkan bahwa kode etik mulai dilupakan. Semakin banyak hakim yang terjerat kasus korupsi. Kejujuran yang seharusnya dijunjung tinggi kini justru dikompromikan demi kepentingan pribadi.
Sebagus apapun sistem yang dibangun, jika integritas pribadi para penegak hukum rapuh, maka semuanya akan sia-sia. Celah korupsi dalam sistem peradilan muncul karena luasnya wewenang hakim, minimnya pengawasan, dan gaya hidup konsumtif. Kejujuran dan kesederhanaan harus menjadi nilai dasar yang tertanam dalam diri setiap hakim.
Perlawanan Harus Terus Digaungkan, Harapan Harus Tetap Dijaga
Salah satu upaya konkret pemberantasan korupsi adalah melalui Rancangan Undang-Undang tentang Perampasan Aset. RUU ini merupakan bagian dari reformasi hukum yang sangat krusial dalam penegakan hukum, khususnya dalam menangani korupsi, pencucian uang, dan kejahatan ekonomi lainnya. Selama ini, penindakan terhadap kejahatan-kejahatan tersebut sering terhambat karena lemahnya instrumen hukum untuk merampas aset hasil kejahatan.
RUU Perampasan Aset membawa pendekatan baru, yakni perampasan aset tanpa harus menunggu putusan pidana (non-conviction based asset forfeiture). Ini penting karena banyak pelaku yang sulit ditangkap atau bahkan telah meninggal, sementara aset kejahatannya masih beredar. RUU ini juga membuka ruang kerja sama internasional dalam pelacakan dan pengembalian aset lintas negara, sejalan dengan United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) yang sudah diratifikasi melalui UU No. 7 Tahun 2006.
Namun, RUU ini juga memiliki tantangan. Beberapa pihak khawatir penerapan perampasan aset tanpa putusan pengadilan bisa melanggar prinsip hukum, seperti asas praduga tak bersalah. Karena itu, perlu ada aturan yang ketat mengenai mekanisme pembuktian, perlindungan hak pihak ketiga, dan pengawasan ketat terhadap pelaksanaannya agar tidak disalahgunakan.
Perubahan Sistem Harus Dibangun Bersama Kesadaran Kolektif
Selain perbaikan dari sisi regulasi, perubahan harus dimulai dari kesadaran individu. Edukasi antikorupsi harus diperkenalkan sejak usia dini, dimulai dari lingkungan keluarga hingga sekolah. Kampanye melalui media sosial juga dapat menjadi senjata efektif dalam menyebarkan nilai-nilai antikorupsi, mengingat tingginya intensitas masyarakat dalam menggunakan platform digital.
Pengawasan dari Komisi Yudisial perlu ditingkatkan. Tidak boleh ada ruang bagi oknum yang menyalahgunakan wewenang di tubuh lembaga kehakiman. Penegakan disiplin dan sanksi tegas harus diterapkan tanpa pandang bulu.
Tulisan ini tidak hanya ditujukan kepada para hakim, tetapi kepada seluruh pejabat publik, khususnya yang saat ini memegang jabatan di Kabupaten Kuningan, baik eksekutif, legislatif, maupun struktural pemerintahan lainnya. Ingat, masyarakat telah menitipkan amanah dan menaruh harapan besar saat pemilu. Ingat pula janji dan sumpah yang diucapkan saat kampanye dan pelantikan. Semoga kita semua terhindar dari perilaku korup yang bejat ini dan terus menggaungkan genderang perang terhadap korupsi!
Ditulis Oleh:
M.Alghifari Kusumawardany; Vika Nur Senda; Reggy rahadian Taufiqurrahman; Firgy Ferdansyah; Wanda Asri SS; Alya Caesar Nurohma; Heritage Herliyanto; Indi Zahratul Ihsani; Mochamad Jaki Ilham Fauzi; Oksavera Sinta Mulya; dan Yola Anila
