JAKARTA (MASS) – Pertanyaannya sederhana, tapi menggelisahkan: ketika negara rajin mengumumkan subsidi dan insentif baru, sesungguhnya siapa yang paling menikmati?
Rakyat kecil yang tiap bulan mengatur uang pas pasan, atau justru mereka yang mobilnya berderet di garasi dan rumahnya bernilai miliaran rupiah?
APBN 2025 memberi gambaran besar. Hanya untuk energi saja, pemerintah menganggarkan sekitar 26,7 triliun rupiah untuk subsidi BBM, 87 triliun rupiah untuk LPG 3 kilogram, dan 89,7 triliun rupiah untuk listrik, di luar kompensasi energi hampir 191 triliun rupiah.
Totalnya mendekati 400 triliun rupiah, hampir menyamai seluruh belanja pendidikan nasional beberapa tahun lalu.
Jika subsidi sebesar itu benar benar melindungi yang miskin dan rentan, kita bisa bilang itu harga yang layak untuk keadilan sosial. Masalahnya, data menunjukkan cerita yang berbeda.
Masalah Utama: Ketika Pipa Subsidi Bocor ke Atas
Bayangkan rumah bertingkat. Pemerintah berniat mengalirkan air ke lantai dasar, tempat keluarga miskin tinggal.
Tapi pipa di lantai dua dan tiga bocor. Semakin besar debit air yang dipompa, semakin banyak air yang tumpah dan dinikmati penghuni lantai atas. Begitulah kurang lebih desain subsidi kita.
Temuan lembaga riset Next Center misalnya, yang menggunakan data Susenas Maret 2024 menunjukkan bahwa 40 persen rumah tangga termiskin (desil 1 sampai 4) seharusnya menjadi target subsidi energi.
Namun dalam praktik, porsi terbesar justru dinikmati desil 5 sampai 10, yaitu kelas menengah dan kaya.
Untuk Pertalite, 20 persen rumah tangga terkaya mengonsumsi hampir 40 persen dari total Pertalite rumah tangga. Potensi kompensasi Pertalite yang salah sasaran ke kelompok bukan miskin diperkirakan mencapai sekitar 81 triliun rupiah per tahun.
LPG 3 kilogram yang identik dengan tabung hijau rakyat kecil juga ternyata serupa. Sekitar 67 persen konsumsi LPG 3 kilogram justru dinikmati desil 5 sampai 10, dan nilai salah sasaran subsidi komoditas ini diperkirakan sekitar 57,7 triliun rupiah, termasuk seperempatnya dinikmati 20 persen rumah tangga terkaya.
Secara sederhana, desain subsidi berbasis komoditas membuat logikanya terbalik.
Siapa yang mengonsumsi lebih banyak energi, dia yang mendapat “diskon negara” lebih besar. Dan kita tahu, rumah tangga kaya selalu lebih boros energi dibanding rumah tangga miskin.
Di sinilah inti karut marut subsidi energi: niatnya melindungi yang lemah, strukturnya memanjakan yang kuat.
Analogi Diskon di Mal: Hanya yang Masuk Mal yang Dapat Diskon
Subsidi kita mirip program diskon besar besaran di mal. Negara bangga mengumumkan, “Harga kita buat lebih murah demi rakyat.” Tetapi untuk bisa menikmati diskon itu, orang harus punya kemampuan minimum: punya kendaraan, punya rumah, punya akses ke SPBU atau pengembang properti.
Orang yang tidak pernah masuk mal, tidak pernah pegang kartu kredit, tidak pernah akan menikmati promo tersebut.
Itu sebabnya, subsidi energi dan insentif pajak yang dibungkus rapi sebagai kebijakan pro rakyat kecil, sering kali justru menjadi program “diskon besar bagi mereka yang sudah mampu masuk mal kebijakan.
Insentif Mobil Listrik: Subsidi Rendah Emisi, Penerimanya Tinggi Penghasilan
Pemerintah belakangan sangat agresif memberikan insentif untuk mobil listrik dan kendaraan rendah emisi.
Melalui PMK 12 Tahun 2025, diberikan PPN Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) untuk mobil listrik berbasis baterai dan PPnBM DTP untuk kendaraan rendah emisi seperti mobil hybrid.
Intinya sederhana: sebagian PPN dan bahkan PPnBM yang seharusnya dibayar pembeli mobil listrik dan hybrid, kini dibayarkan oleh negara.
Semakin mahal mobilnya, semakin besar rupiah yang dihemat pemilik. Ini pada dasarnya subsidi bagi pembeli aset bernilai ratusan juta hingga miliaran rupiah.
Sekretaris Umum GAIKINDO berulang kali menegaskan bahwa pembeli mobil listrik saat ini didominasi kalangan menengah atas, dan sering kali mobil listrik itu bukan kendaraan pertama, melainkan kendaraan kedua atau ketiga keluarga.
Mayoritas masyarakat Indonesia masih mencari mobil di bawah 300 sampai 400 juta rupiah, sementara harga mobil listrik rata rata jauh di atas itu.
Artinya, ketika APBN menanggung PPN dan PPnBM mobil listrik, sesungguhnya negara memberikan “cashback fiskal” kepada kelompok rumah tangga yang sudah sangat mapan.
Secara lingkungan, ini bisa diperdebatkan sebagai langkah transisi penting. Namun secara keadilan sosial, ini adalah subsidi rendah emisi yang regresif, berpihak ke mereka yang sudah di puncak piramida pendapatan.
Motor Listrik dan Batas Kelas Menengah Bawah
Subsidi motor listrik 7 juta rupiah per unit sekilas terdengar lebih egaliter. Syaratnya pun relatif longgar, cukup WNI berusia di atas 17 tahun, punya e KTP, dan satu NIK hanya boleh satu motor listrik.
Namun angka realisasi bercerita lain.
Pada 2023, dari target 200 ribu unit motor listrik bersubsidi dengan anggaran 1,4 triliun rupiah, hanya 11.532 unit yang terealisasi. Itu berarti baru sekitar 5,7 persen kuota, dengan dana yang terserap sekitar 78 miliar rupiah.
Ini menunjukkan dua hal. Pertama, bagi rumah tangga miskin dan rentan, bahkan setelah dipotong 7 juta rupiah, harga motor listrik dan biaya kepemilikannya masih sulit dijangkau.
Kedua, mereka yang akhirnya mampu memanfaatkan subsidi ini cenderung kelas menengah ke atas dan pelaku usaha yang memang punya ruang fiskal untuk membeli unit baru. Lagi lagi, insentif hijau berlabuh pada kelompok yang sudah relatif aman secara ekonomi.
Whoosh dan Infrastruktur Prestisius yang Akan Disubsidi
Kereta Cepat Jakarta Bandung atau Whoosh adalah simbol modernitas.
Waktu tempuh Jakarta Bandung yang dulunya lebih dari tiga jam, kini bisa ditempuh sekitar 45 menit.
Sepanjang 2024, Whoosh telah mengangkut sekitar 6,06 juta penumpang dan total penumpang sejak beroperasi sampai akhir 2024 mencapai sekitar 7,1 juta orang.
Namun di balik kebanggaan itu, ada catatan penting. Secara finansial, berbagai laporan menyebutkan bahwa jalur cepat ini masih belum menguntungkan dan berpotensi menjadi beban fiskal jangka panjang.
Pemerintah kini secara terbuka sedang menyiapkan skema Public Service Obligation (PSO) untuk menanggung sebagian biaya operasional Whoosh menggunakan APBN.
Artinya, kereta dengan tiket 150 ribu sampai 600 ribu rupiah sekali jalan, yang terutama digunakan wisatawan dan pekerja berpendapatan menengah ke atas, akan mendapatkan subsidi operasional dari pajak yang dibayar seluruh rakyat, termasuk buruh yang tidak pernah naik Whoosh sekalipun.
Tanpa desain tarif dan integrasi feeder yang benar benar pro pekerja berpendapatan rendah, lagi lagi terjadi pola serupa: infrastruktur kelas atas disubsidi secara kolektif.
Insentif Properti dan Tax Amnesty: Hadiah Untuk Pemilik Aset
Pola keberpihakan ke atas juga terlihat jelas pada insentif PPN Ditanggung Pemerintah untuk rumah tapak dan rumah susun.
Pemerintah melalui PMK terbaru memperpanjang PPN DTP 100 persen atas bagian harga jual sampai 2 miliar rupiah, dengan harga rumah maksimal 5 miliar rupiah, hingga akhir 2025.
Dalam bahasa sehari hari, pembeli rumah seharga 1 sampai 2 miliar rupiah tidak perlu membayar PPN 11 persen karena ditanggung APBN.
Untuk rumah 3 sampai 5 miliar rupiah, pemerintah tetap menanggung PPN untuk porsi pertama 2 miliar rupiah. Jelas bahwa pembeli rumah dalam rentang harga ini adalah kelompok menengah ke atas, bukan rumah tangga miskin.
Pada saat yang sama, keluarga yang masih tinggal di kontrakan kecil atau rumah petak tidak mendapat manfaat apa pun dari skema ini.
Di sisi perpajakan, Tax Amnesty 2016 yang sering disebut sebagai salah satu yang tersukses di dunia berhasil mengungkap harta sekitar 4.884 triliun rupiah, setara hampir 40 persen PDB Indonesia saat itu.
Namun kelompok yang bisa memanfaatkan pengampunan pajak semacam ini tentu bukan pekerja bergaji UMR, melainkan wajib pajak besar yang selama bertahun tahun tidak sepenuhnya patuh.
Rencana Tax Amnesty Jilid III dan kebijakan Family Office dalam paket kebijakan 2025 kembali menuai kritik.
Banyak ekonom mengingatkan bahwa pengampunan pajak yang diulang ulang akan menciptakan moral hazard, menguntungkan kelompok kaya dan super kaya, sekaligus menurunkan kepatuhan pajak masyarakat luas.
Jika kita tarik garis, insentif properti dan tax amnesty pada dasarnya adalah bentuk lain dari subsidi terselubung bagi pemilik aset besar, sementara pelaku UMKM dan pekerja bergaji yang pajaknya dipotong tiap bulan hanya bisa menonton dari kejauhan.
Menata Ulang Arah: Dari Diskon Orang Kaya ke Perlindungan yang Adil
Di titik ini, kita perlu jujur mengakui bahwa persoalannya bukan sekadar besar kecilnya subsidi, melainkan arah dan desainnya.
Subsidi energi yang salah sasaran, insentif mobil listrik dan properti yang menikmati rupiah besar per penerima, PSO untuk Whoosh, hingga pengampunan pajak berulang, semuanya menunjukkan pola yang sama: negara lebih luwes memberi keringanan kepada mereka yang sudah memegang aset, sementara untuk rakyat kecil, bantuan selalu dibungkus syarat berlapis dan nilai yang jauh lebih kecil.
Analoginya, negara seperti orang yang sibuk menambah debit air di tangki, tetapi enggan menambal kebocoran di pipa.
Selama kebocoran itu dibiarkan, berapa pun subsidi yang ditambah akan terus mengalir ke atas, bukan ke mereka yang paling membutuhkan.
Arah perbaikannya sudah sering dibahas, namun perlu ditegaskan kembali.
Subsidi energi seharusnya bertransisi dari subsidi komoditas menjadi subsidi berbasis penerima. Artinya, harga BBM, LPG, dan listrik dibiarkan lebih dekat ke harga pasar, sementara rumah tangga miskin dan rentan menerima bantuan tunai yang langsung masuk ke rekening, berbasis data terpadu seperti DTKS dan basis data sosial ekonomi yang sedang disempurnakan pemerintah.
Insentif mobil listrik dan properti sebaiknya dipindahkan dari sisi konsumen kaya ke sisi industri dan infrastruktur publik.
Bukan lagi diskon PPN untuk pembeli mobil, tetapi dukungan untuk jaringan transportasi listrik massal, dari bus listrik sampai kereta komuter yang terjangkau.
Bukan lagi PPN DTP rumah miliaran, tetapi anggaran besar untuk rumah bersubsidi dan hunian layak bagi kelas pekerja.
Untuk Whoosh, jika PSO benar benar diterapkan, desainnya harus menjamin bahwa subsidi diarahkan pada penumpang komuter pekerja dan tarif integrasi multimoda yang terjangkau, bukan sebagai rabat tak langsung bagi wisatawan dan pengguna premium.
Di perpajakan, ketimbang terus mengulang tax amnesty, pemerintah perlu menunjukkan keberanian penegakan hukum yang konsisten.
Tanpa itu, pesan yang sampai ke publik hanyalah satu: menunda kepatuhan akan selalu ada hadiahnya. Itu kebalikan dari keadilan.
Berani Mengakui, Berani Mengoreksi
Karut marut subsidi di Indonesia hari ini bukan sekadar kesalahan teknis, melainkan cermin dari pilihan politik fiskal.
Selama insentif dan subsidi didesain seperti diskon di mal yang hanya bisa dipakai pemegang kartu tertentu, selama itu pula orang kaya akan terus menerima subsidi, sementara rakyat kecil hanya menjadi latar belakang retorika.
Pertanyaan yang mengusik di awal tadi perlu dijawab dengan jujur: ya, banyak skema subsidi dan insentif kita saat ini lebih ramah pada mereka yang sudah berada di atas.
Mengakui fakta itu adalah langkah pertama. Langkah berikutnya adalah keberanian mengubah desain, menutup kebocoran pipa, dan memastikan bahwa setiap rupiah yang disebut subsidi benar benar mengalir ke mereka yang paling membutuhkan.
Tanpa itu, jargon keadilan sosial hanya akan menjadi tempelan, sementara praktiknya tetap sama: karut marut subsidi, orang kaya terima subsidi.***
Achmad Nur Hidayat Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik, UPN Veteran Jakarta









