KUNINGAN (MASS) – Secara esensi, seluruh masyarakat Indonesia mengalami keprihatinan yang sama terkait merosotnya nilai tukar rupiah. Hanya saja kondisinya tidak sedramatis pada saat orde baru tumbang. Hal itu diutarakan Ketua DPRD Kuningan, Rana Suparman usai 25 mahasiswa KAMMI membubarkan diri dari aksinya, Senin (10/9/2018).
“Disini kalau diperbandingkan dari angka-angka nilai tukar rupiah, harga naik, UMR yang diterima pekerja, itu juga perlu jadi perbandingan suasana politik yang terjadi,” kata Rana.
Masalah utang, menurut dia, justru Presiden Jokowi sudah berhasil membayar utang jatuh tempo sejak awal menjabat. Pada 2014 Jokowi telah membayar 237 triliun. Lalu pada 2015 senilai Rp226,26 triliun, pada 2016 sebesar Rp322,55 triliun, 2017 senilai Rp350,22 triliun dan 2018 diangka Rp492 triliun.
“Negara kita berhutang 1.644 triliun dan Jokowi mampu membayar Rp1.628 triliun. Itu angka yang disodorkan para pakar. Saya pernah baca dari pemikiran Miranda Gultom. Nah berarti sisa utang yang selanjutnya, itu sisa utang masa siapa?,” tutur ketua DPC PDIP Kuningan tersebut.
Ia meminta agar tidak melakukan generalisasi kaitan dengan utang negara tersebut. Kendati demikian presiden harus bertanggungjawab demi kelangsungan negara, tidak harus memilah-milah itu jaman siapa.
Persoalan kebebasan ekspor impor, Rana pun mengaku setuju. Namun kondisinya sekarang perlu diketahui terlebih dulu apakah masyarakat mampu melakukan penolakan terhadap barang-barang impor.
“Kita fokuskan pada produk dalam negeri. Seperti India pada saat melawan kekuatan Inggris, menggunakan format pergerakan swadesi. Masyarakat di sana ikut pola pemikiran swadesi Mahatma Gandhi,” tandasnya.
Rana setuju impor namun mesti terawasi secara ketat. Jangan sampai kebijakan itu berefek tidak baik seperti kejadian impor daging sapi.
Kemudian terkait nasionalisasi asset dimana pertambangan-pertambangan harus dikuasai negara, Rana juga menjelaskan bahwa Pertamina telah mendapatkan rekomendasi berapa titik untuk mengelola asset negara yang sebelumnya dikuasai asing.
“Satu sisi nasionalisasi asset, tapi disisi lain jangan sampai juga seperti gubernur Jabar masa lalu yang sudah memutuskan tender Chevron ke Gunung Ciremai. Ini gimana prosesnya. Bukan berarti kita mengkritik masa lalu, tapi jadi cerminan kita,” kata Rana.
Kabupaten Kuningan pun, menurutnya harus sama. Jangan sampai membuka ruang yang nanti dikuasai asing. Berikan ruang kebijakan infrastruktur atau fasilitas petokoan misalnya, yang terjangkau oleh masyarakat.
Kembali ke persoalan nasional, dirinya mengajak untuk belajar objektif. Ketika Jokowi berani membayar utang negara dalam 4 tahun ini, itu merupakan sebuah fakta. (deden)
