KUNINGAN (MASS) – Suasana perpolitikan daerah semakin memanas termasuk di Kabupaten Kuningan. Silaturrahmi politik gencar dilakukan guna mendapatkan pasangan ideal yang peluang menangnya besar. Belum ada partai politik (parpol) menyatakan final dalam koalisi, yang disampaikan selalu masih dinamis dan dinamis. Itulah politik pemilihan.
Jika setiap calon pemimpin daerah orientasinya benar-benar untuk kemaslahatan masyarakat maka tidak ada masalah siapa pun yang terpilih nantinya. Masalahnya adalah, jika orientasinya sebatas untuk pencalonan.
Di sinilah pentingnya regulasi pertanggungjawaban akan janji yang disampaikan pada saat kampanye. Kampanye merupakan kegiatan yang dilakukan para calon sebagai sarana komunikasi, pengenalan diri, mendapatkan dukungan, memaparkan visi dan misi, rencana program apabila terpilih, dan utamanya sebagai sarana pendidikan politik.
Dalam Pasal 77, Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2012 dinyatakan bahwa, kampanye dalam pemilu merupakan bagian dari pendidikan politik masyarakat dan dilaksanakan secara bertanggungjawab. Serta UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang mengatur kewajiban para peserta pemilu untuk berjanji kepada pemilih. Dan, setiap janji dalam kampanye dapat dipertanggungjawabkan setelah terpilih.
Kampanye seringkali dijadikan sarana mengobral janji untuk meraih simpati. Janji seakan menjadi satu-satunya cara yang efektif untuk mempengaruhi masyarakat. Seakan dengan janji rakyat akan memilihnya. Setelah terpilih acap kali janji politik terlupakan. Akhirnya, janji tinggal janji.
Di sinilah pentingnya pihak yang berwenang untuk membuat regulasi janji politik, agar setiap pengingkaran janji politik dapat dijadikan dasar memberhentikan pemimpin terpilih. Apabila regulasi ini terwujud maka setiap calon pemimpin tidak akan main-main dalam mengumbar janji politiknya.
Sebagai calon pemilih pun akan selektif dalam menentukan pilihan. Pemilih tidak akan mudah tergoda dengan janji politik yang ditebar. Pemilih pun akan dapat melakukan kontrak politik dengan para calon, sebab pengingkaran janji akan dapat menjadi landasan memberhentikan pemimpin terpilih.
Janji dalam Islam
Dalam ajaran Islam, janji merupakan bagian dari identitas keimanan dan keislaman seseorang. Setiap orang yang beriman diperintahkan untuk memenuhi janji-janji yang dibuatnya sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah SWT, ”Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu.” (Q.S. Al-Maidah [5]: 1).
Dalam Alquran terjemahan Departemen Agama Republik Indonesia, dijelaskan bahwa aqad (perjanjian) mencakup janji setia hamba kepada Allah SWT dan perjanjian yang dibuat oleh manusia dalam pergaulan sesamanya.
Dikemukakan pula bahwa indikator utama orang Mukmin yang akan mendapatkan kebahagiaan adalah mereka yang suka memenuhi amanah dan janji-janjinya. Allah SWT berfirman,
”Sesungguhnya, beruntunglah orang-orang yang beriman (1) dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya (8).” (Q.S. Almukminun [23]: 1 dan 8).
Sebaliknya, orang-orang yang selalu mengingkari janjinya dapat dikategorikan orang yang munafik. Ciri-ciri orang munafik bisa kita ketahui dari hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah dari Nabi Muhammad SAW, ”Jika berbicara selalu berdusta, jika berjanji selalu ingkar, dan jika dipercaya selalu berkhianat.” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Dalam hadits yang lain, Abdullah bin Umar ra berkata bahwa Nabi SAW bersabda, ”Ada empat dosa sifat yang jika seseorang memperlihatkan semua cirinya, dia sepenuhnya orang munafik. Jika dia punya salah satu ciri, dia dianggap memiliki unsur-unsur seorang munafik. Ciri-ciri itu adalah berkhianat, berdusta, ingkar janji, dan memaki lawan jika ada perbedaan pendapat.” (H.R. Bukhari).
Dalam Alquran, Allah SWT menyebutkan, orang-orang munafik itu pendusta. Dan, Allah SWT mengancam mereka dengan neraka. Bahkan, Allah SWT memerintahkan Nabi Muhammad SAW untuk memeranginya. ”Hai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka ialah Jahannam. Dan, itu adalah tempat kembali yang paling buruk.” (Q.S. At-Taubah [9]: 73).
Dikatakan: alwa’du dainun, janji adalah utang. Orang yang dibebani utang akan merasa hilang kebebasan yang dimilikinya. Dia akan selalu dibelenggu sebuah tuntutan untuk melunasi utang tersebut. Karenanya, Rasulullah SAW mengingatkan melalui sabdanya, ”Hati-hati dengan utang, sesungguhnya berutang itu suatu kesedihan pada malam hari dan kerendahan diri (kehinaan) di siang hari.” (H.R. Ahmad).
Di balik pelaksanaan janji terdapat banyak manfaat bagi yang menepati janji, baik di dunia maupun di akhirat. Manfaat di dunia berupa hubungan sosial yang lebih baik dan meningkatkan kepercayaan orang lain. Manfaat di akhirat, digolongkan orang-orang yang memenuhi janji ke dalam golongan orang yang bertakwa.
“(Bukan demikian), sebenarnya siapa yang menepati janji (yang dibuat) nya dan bertakwa, maka sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa.” (Q.S. Ali Imran [3]: 76).
Menepati janji juga menjadi penyebab dihapuskannya dosa dan memasukkan ke dalam surga. Menurut Ibnu Jarir, Allah menjanjikan kepada orang yang memenuhi janji akan memasukkan mereka ke surga-Nya
“Hai Bani Israil, ingatlah akan nikmat-Ku yang telah Aku anugerahkan kepadamu, dan penuhilah janjimu kepada-Ku, niscaya Aku penuhi janji-Ku kepadamu; dan hanya kepada-Ku-lah kamu harus takut (tunduk).” (Q.S. al-Baqarah [2]: 40).
Berhati-hatilah dalam berjanji, sebab setiap ucapan (janji) yang diucapkan akan dimintai pertanggungjawaban, baik di hadapan manusia di dunia, juga di hadapan Allah SWT kelak di hari kiamat. Ingat, “Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir” (Q.S. Qaf [50] : 18).
Akhirnya, kita tunggu regulasi janji politik sehingga calon pemimpin tidak mudah berjanji dan masyarakat memiliki jaminan kepastian hukum janji politik. Buktikan!
Penulis : Imam Nur Suharno
Pendidik di Pesantren Husnul Khotimah, Kuningan, Jawa Barat