KUNINGAN (MASS) – Menyikapi perkembangan terkini tentang rencana Jamaah Ahmadiyah Indonesia yang akan melaksanakan kegiatan Jalsah Salanah. Perlu kiranya untuk mengingat kembali bahwa Jamaah Ahmadiyah Indonesia haruslah taat kepada keputusan Pemerintah Daerah sebagai Pejabat Negara yang telah melarang dilaksanakannya kegiatan Jalsah Salanah. Namun apabila memaksa melanjutkan kegiatan Jalsah Salanah, maka Pemerintah memiliki kewajiban untuk membubarkannya.
Saya memandang saat ini bukan lagi hanya persoalan aqidah atau keyakinan, akan tetapi ini adalah persoalan harkat, martabat dan kehormatan Pemerintah di dalam menegakkan aturan terhadap warga negara sehingga terpenuhinya amanat Landasan Konstitusi Undang Undang Dasar Tahun 1945, Pasal 27 ayat (1) yang menyatakan bahwa “Segala warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” dan/atau Pasal 28D ayat (1) yang menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”
Agar terwujudnya kepastian hukum serta dapat terpenuhinya rasa keadilan pada masyarakat. Saya meyakini bahwa Pemerintah dalam kedudukannya sebagai Pejabat Negara, di dalam menjalankan tugas dan wewenangnya menegakkan aturan, tidak akan kalah hanya oleh sekelompok orang saja. Karena sebagai seorang Pejabat tentunya memiliki kekuasaan untuk dapat menindak setiap perbuatan warga negara yang telah melawan hukum atau tidak taat terhadap hukum sesuai kewenangan yang dimilikinya.
Terlebih lagi apabila perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh warga negara tersebut adalah melawan penguasa atau pejabat yang sedang menjalankan tugasnya, maka perbuatannya tersebut merupakan tindak Pidana yang harus mendapatkan sanksi hukuman pidana sebagaimana mestinya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Adapun peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perbuatan dan sanksi pidana bagi warga negara yang memaksa atau tidak taat dan patuh terhadap perintah atau aturan pejabat negara yang sedang menjalankan tugasnya, telah sangat jelas tertuang dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana, yaitu sebagaimana dimaksud di dalam rumusan Pasal 211 yang menyatakan bahwa “Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang pejabat untuk melakukan perbuatan jabatan atau untuk tidak melakukan perbuatan jabatan yang sah, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.” ; dan kemudian pada rumusan Pasal berikutnya yaitu Pasal 212 menyatakan bahwa “Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan melawan seorang pejabat yang sedang menjalankan tugas yang sah atau orang yang menurut kewajiban undang-undang atau atas permintaan pejabat memberi pertolongan kepadanya, diancam karena melawan pejabat dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banuka empat ribau lima ratus rupiah.” ; serta pada rumusan Pasal 214 ayat (1) telah menyatakan bahwa “Paksaan dan perlawanan berdasarkan pasal 211 dan 212 jika dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun”.
Dengan adanya ketentuan yang mengatur tentang perbuatan dan sanksi pidana bagi warga negara yang melawan pejabat yang sedang menjalankan tugasnya sebagaimana dimaksud dalam ketentuan pasal 211, dan/atau Pasal 212, dan/atau Pasal 214 Kitab Uundang Undang Hukum Pidana tersebut diatas, maka mestinya peristiwa hukum terjadinya konflik sosial yang dapat menggangu keamanan dan kondusifitas warga masyarakat seharusnya tidaklah terjadi, apabila warga masyarakat mentaati perintah atau tindakan Pejabat Negara yang sedang menjalankan tugas sesuai kewenangannya, dan ataupun begitu pula Pejabat Negara dalam menjalankan tugas dan wewenangnya berpegang teguh pada aturan yang berlaku, serta bersikap tegas dan tidak pandang bulu.
5 Desember 2024.
DADAN SOMANTRI INDRA SANTANA, S.H.
Divisi Hukum Aliansi Persaudaraan Islam Kuningan ( APIK ).
Koordinator Bidang Hukum Forum Umat Islam ( FUI ) Wilayah III Cirebon.