KUNINGAN (MASS) – Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia atau ICMI merupakan organisasi para cendekia. Lahir di era 1990, ICMI menjadi inisiator bagaimana cendekiawan muslim dapat berkontribusi terhadap pemecahan masalah bangsa dan negara. Di Era itu, merupakan momentum yang menjadi milestone kehadiran kaum cendekiawan muslim di kancah nasional secara terbuka dan diakui. Pengakuan terhadap eksistensi ICMI disimbolkan dengan hadirnya Presiden RI ke 2, H. M. Soeharto dalam pembukaan musyawarah nasional tersebut dan ditutup oleh wakil presiden yang saat itu adalah Soedarmono.
Simbol dukungan pemerintah terhadap ICMI juga makin dipertegas dengan didaulatnya Prof. Dr. Ing., B.J. Habibie sebagai ketua umum ICMI pertama, beliau juga saat itu sebagai Menteri Riset dan Teknologi. Dengan demikian, awal kebangkitan cendekiawan muslim Indonesia bermula saat itu.
ICMI dan Romantisme Kekuasaan
ICMI lahir untuk menghimpun para intelek muslim dengan segala keragaman kompetensi dan latar belakang. ICMI tidak memersoalkan aliran Islam apa dan background organisasi keislaman apa, akan tetapi semangat kebersamaan untuk menyamakan pemahaman tentang Islam sebagai agama yang dianutnya. Sehingga, dari kesamaan inilah para cendikia muslim wajib berhimpun dan berkolaborasi.
Sudah mafhum adanya jika ada sebuah perkumpulan, organisasi dan apapun namanya yang bersifat perkumpulan manusia, maka muncul persepsi tentang pembentukan kekuatan baru. Kekuatan masa dalam kacamata politik tentu dipahami sebagai ‘aba-aba’ menuju political interest, hegemony dan authority. Boleh saja kelahiran ICMI ini ditafsirkan demikian, namun sebagai organisasi intelektual, nirlaba dan non politis praktis, maka ICMI hadir hanya memiliki kewajiban untuk mengedukasi publik agar menjadi manusia yang paripurna: saling menghargai, saling rukun, saling toleransi serta senantiasa berpijak pada domain akademis baik dalam sikap maupun perilaku.
Simbol yang viral dan diviralkan
Akhir-akhir ini, masyarakat Indonesia telah terus disuguhi dengan masalah ‘perang simbol’. Tragedi pembakaran bendera bertuliskan kalimah tauhid, viralnya diksi ‘idiot’ dan ‘sontoloyo’ serta masih banyak lagi cerita-cerita lain, telah menjadi menu bacaan publik setiap saat. Kegenitan masyarakat yang dengan mudah menerima berita dan membagi berita telah turut andil dalam kegaduhan di negeri ini.
Kasus pembakaran bendera yang bertuliskan kalimah tauhid, penyebutan diksi idiot dan sontoloyo merupakan ekspresi pikiran dan perasaan si penyampai. Ekspresi-ekspresi tersebut akan dianggap biasa dan tidak bermasalah jika individu atau kelompok yang mengekspresikan itu bukan bagian dari komunitas dalam sorotan dan berita itu tidak diviralkan. Permasalahannya adalah ekspresi tersebut telah masuk ke ranah public, dinikmati dan dieksplorasi oleh kacamata public. Di sinilah sumber masalah terjadi.
Ekspresi-ekspresi pikiran dan perasaan yang mengakibatkan kegaduhan saat ini, jika dilihat dalam konteks linguistik, Ferdinand de Saussure-linguis pencipta ilmu semiotik (ilmu tanda), menyebutkan bahwa ini berkaitan dengan masalah semiotic. Semiotic secara sederhana dipahami sebagai ilmu tentang tanda. Secara umum kedua tokoh semiotic besar dunia; Saussure berasal dari Eropa dan Pierce dari benua Amerika, keduanya melihat dalam kacamata berbeda namun tetap dalam bahasan tentang tanda. Jika Saussure melihat semiotik sebagai ilmu umum tentang tanda sementra Pierce menyebutka sebagai logika tentang tanda.nnky
Kacamata semiotik melihat tanda itu terdiri dari ikon, indeks dan simbol. Ikon adalah tanda yang mirip dengan objek yang diwakilinya, Indeks merupakan tanda yang memiliki hubungan sebab akibat dengan apa yang diwakilinya. Atau disebut juga tanda sebagai bukti dari kejadian yang sudah terjadi, dan Simbol merupakan tanda berdasarkan perjanjian yang disepakati bersama. Simbol berada pada ranah konotatif, sedangkan ikon merupakan ranah denotatif. Dalam ranah ‘tanda’, bagian simbol adalah masalah yang kini sedang kita lihat bersama.
Persepsi bahwa bendera yang dibakar adalah bendera HTI di satu sisi dan pembakaran lafadz tauhid dalam perspektif lain tentu akan terus menjadi tafsir yang bertolakan terus. Multi tafsir tentang pembakaran itu tetap menjadi ranah subjektif jika dilakukan oleh individu atau kelompok pada lokus tertentu. Akan tetapi hal itu akan menjadi permasalahan public dan akan diberikan tafsir oleh public pula. Dengan demikian siapapun punya hak untuk menafsirkan tentang kejadian pembakaran tersebut karena sudah disuguhkan ke hadapan publik.
Kembali kepada masalah pembakaran, pembakaran dipahami sebagai sebuah aktivitas yang di dalamnya ada ekspresi pikiran dan perasaan. Ekspresi pikiran dan perasaan itu tentu sebagai media untuk melepaskan kebencian terhadap simbol organisasi tertentu. Sehingga, gerak aktivitas dalam pembakaran ini tentu bukan kejadian yang tanpa pertimbangan pikiran dan perasaan. Karena terjadinya aktivitas pembakaran adalah sebab aktivitas sinkronik antara pikiran dan perasaan.
Kontroversi simbol yang dibakar; simbol organisasi tertentu atau simbol religius (Islam) yang diakui secara general, akan menyisakan ambiguitas perspektif. Sesuai terminology dasar bahwa symbol lahir karena ada sebuah kesepakatan public. Sehingga, symbol itu akan dapat ditafsirkan sesuai mayoritas public itu sendiri bersepakat. Jika mayoritas public menyepakati tentang symbol yang merepresentasikan pikiran dan perasaan komunitas masyarakat tertentu, maka seharusnya tidak ada lagi tafsir lain yang akan jauh bertentangan dengan tafsir simbol itu sendiri.
Dalam konteks hokum kebahasaan, tafsir tentang symbol itu harus hadir karena kesepakan public. Jika public tidak menunjukkan kesepakatan maka semestinya perilaku penafsiran itu harus dilakukan hanya pada lokus tertentu yang tidak menjadikan pengrusakan terhadap tafsir symbol itu sendiri.
ICMI dan Prinsip Islam Washathon
Hiruk pikuk kondisi masyarakat terus menggejala. Hoaks dan provokasi telah menjadi barang biasa dalam keseharian masyarakat kini. Di tengah atmosfer yang tidak menentu itu, ICMI harus hadir sebagai peneduh di tengah masyarakat yang dahaga akan kepastian hidup, lapar akan kejujuran, dan rindu akan pemimpin yang memberi contoh bukan yang pintar retorika. ICMI akan terus menjadi penengah (washaton) dari kegaduhan di tahun politik ini. Problem solver dalam konteks ICMI adalah dengan mendekatkan semua pemecahan masalah menggunakan cara-cara akademik dan berimplikasi positif.
Menempatkan permasalahan sebagai jembatan dalam mempertemukan gagasan-gagasan baru akan jauh bermanfaat ketimbang berdebat dengan muara pada justifikasi salah benar. Justifikasi salah benar akan menghantarkan pada euphoria kelompok tertentu dan teralienasinya kelompok lain dan pada gilirannya perseteruan akan terus dikapitalisasi. Kapitalisasi perseteruan itu akan berlanjut pada intoleransi, ketidakterimaan terhadap keragaman dan pembunuhan karakter secara turun temurun.
Sebagai kata akhir dari tulisan ini, tidak ada permasalahan apapun yang tidak bisa diselesaikan. Penyelesaian masalah yang baik tentu dengan komunikasi yang santun dan berterima antara kedua belah pihak. Berterima atau tidaknya komunikasi tentu harus ditunjang oleh sikap individu tentang pentingnya menjaga persaudaraan daripada mengedepankan kepentingan individu dan kelompok. ICMI akan tetap hadir sebagai jembatan penghubung atas kebekuan komunikasi itu dengan senantiasa mendekatkan pada paradigma komunikasi yang hikmah dan maiuidhzoh hasanah. Pola komunikasi baik akan menjaga persaudaraan antar sesama. Tidak aka nada kegaduhan jika semua pihak dapat bertemu dan berbicara dengan menggunakan parameter kesantunan budaya bangsa dan agama. Semoga.***
Penulis: Nanan Abdul Manan (Wakil Ketua Bidang Komunikasi Politik, Sosial dan Budaya ICMI ORDA Kabupaten Kuningan)