KUNINGAN (MASS) – Tanggal 1 September ditetapkan sebagai Hari Jadi Kuningan. Pada tahun 2019 merupakan Hari Jadi Kuningan ke 521. Terlepas ada pro kontrak terkait Penetapan Harjad. Namun, sebagai warga Kuningan harus bangga dengan daerahnya.
Meski PAD kecil, namun kesuburan tanah membuat warganya cukup sejahtera. Disisi lain warga yang tidak punya bakat ke bidang pertanian mereka memiliih pekerja disektor non formal.
Istilah Bubur Rokok Indomie (BRI), BCA (Bubur Cai Asongan), menunjukan bukti bahwa warga Kuningan merupakan wirausahawan sejati. Belum juga yang bergerak di bidang penjualan barang secara kredit di luar daerah yang suskes sehingga memuat mereka membawa pulus ke kota kuda.
Tanpa mereka diyakini Kuningan tidak akan sejahtera seperti ini. Sebab, kalau warga mencari makan di kota sendiri cukup sulit dan terbatas.
Dan uniknya ketika warga Kuningan mencari uang di daerah lain, uangnya dibelanjakan di Kuningan dan Cirebon. Dan bisa ditebak siapa yang mendapatkan dampaknya yakni warga perantau di Kuningan, seperti, warga Solo, Malang, dan Padang.
Mereka sejahtera hidup di kota Kuningan dan itulah kehidupann saling melengkapi. Jangan salah juga Cirebon, banyak mall-mall yang penuh oleh warga Kuningan.
Dihari Jadi ke 521 tentu harapan dan doa terus mengalir untuk kota kecil yang berada di bawah kaki gunung Ciremai. Gunung tertinggi di Jabar ini bukan hanya memberikan kesuburan dan keindahan tapi juga menyimpan berjuta kenangan.
Kembali masalah Hari Jadi Kuninan Tonggak titi mangsa penetapan tanggal 1 September adalah berdasarkan pada penobatan Raden Kamuning. Raden Kamuning atau Suranggajaya dinobatkan sebagai anak angkat Susuhunan Gunung Jati menjadi Adipati Kuningan pertama oleh Sunan Gunung Jati.
Pernyataan ini dijelaskan oleh alumni Jurusan Sejarah Unpad Anwar Bahrudin MPd. Diterangkan, sejak tahun 1978 pada masa pemerintahan Kabupaten Kuningan dipimpin oleh Bupati Unang Sunardjo SH ditetapkan 1 September sebagai Hari Jadi Kuningan.
Penobatan dilaksanakan pada tanggal 14 Syura 1498. Tanggal 14 Syura bila dicocokkan dengan tanggal bulan dan tahun masehi, maka akan jatuh pada tanggal 1 September 1498.
“Itulah patokan yang diambil sebagai penetapan Hari Jadi Kuningan yang masih disepakati bersama sampai saat ini,” ujarnya.
Anwar mengatakan, banyak pertanyaan dari berbagai pihak mengapa mesti tanggal 1 September? Mengapa harus pada saat penobatan Sang Adipati Kuningan pertama Raden Kamuning atau Suranggajaya?.
Selain masa Adipati Kuningan Raden Kamuning, bukankah Kuningan pernah memiliki raja yang masa kejayaannya diwarnai dengan luas wilayahnya mencapai setengah bagian dari wilayah Provinsi Jawa Barat sekarang plus Jawa Tengah bagian Barat. Siapakah gerangan?
Dikatakan, terlepas dari zaman Islam atau Hindu-Budha yang akan dipilih sebagai momentum penentuan Hari Jadi Kuningan. Pastinya Kuningan mempunyai dua pilihan masa kejayaan yang direkam sejarah yang bisa dipilih sebagai tonggak momentum hari jadi.
Harapan semua lanjut dia, pilihan itu bisa memberi inspirasi pada renaisance for glory, mengembalikan masa kejayaan sebagaimana yang sudah dicontohkan para pendahulu.
“Mari kita timbang bobot Adipati atau raja yang berkuasa pada jamannya masing-masing dan punya selisih waktu 800 tahunan. Siapakah mereka berdua?” tanyanya.
Pertama siapakah Adipati Raden Kamuning itu? Raden Kamuning adalah anak angkat dari Susuhunan Gunung Jati yang dinobatkan menjadi Adipati Kuningan diakhir abad ke-15. Tepatnya pada 1 September 1498 Masehi.
Sang Adipati mampu mempersatukan Luragung dan Kuningan menjadi satu wilayah. Sistem politik yang diwarnai dengan sistem politik Islam dilaksanakan demi kepentingan pengembangan syiar Agama Islam saat itu.
Sistem politik yang dilaksanakan cukup solid dan kuat karena didukung penuh oleh Cirebon sebagai kiblat baru pemerintahan transisi dari Hindu-Budha ke Islam yang sebelumnya berkiblat ke Galuh Hindu.
Dikatakan, dengan sistem politik yang solid dan kuat sangat berpengaruh pada penyebaran Islam di internal wilayah Kuningan. Bahkan sampai wilayah Galuh Hindu.
Pemerintah Adipati Kuningan pertama juga memiliki pasukan kaveleri berkuda yang sangat tangguh dan kuat. Pasukan tersebut menjadi andalan Cirebon dalam melakukan penetrasi Islamisasi pada daerah-daerah yang dianggap membangkang.
Kedua siapakah Resiguru Demunawan? Dalam Naskah Carita Parahiyangan yang disingkat NCP sebagai salah satu literatur yang dijadikan rujukan untuk mengurai sejarah pemerintahan di Jawa Barat dikatakan ada tiga orang Resiguru Ulung yang membawa harum bagi kerajaan masing-masing daerah di tatar Sunda.
Mereka adalah Pertama Manik Maja (Raja Kendari yang berkedudukan di sekitar 15 Km sebelah tenggara Cicalengka Bandung sekarang).
Kedua Demunawan Raja Saunggalah yang pusat Ibukota pemerintahannya diperkirakan berada di sekitar Kampung Salia. Kini termasuk Desa Ciherang Kecamatan Kadugede.
Ketiga adalah Wastu Kencana Raja Sunda Kawali. Spesialisasi kelebihan dari raja-raja tersebut adalah Manik Maja seorang Brahmana Ulung yang banyak berjasa pada agama dan kerajaan.
Demunawan sangat teguh mengajarkan agama leluhur (moral dan kebajikan). Adapun Wastu Kencana mau menuruti Satmata (tahapan kelima dalam pendalaman agama Hindu). Itu pula dalam NCP Resiguru Demunawan dan Wastu Kencana dipuji sebagai tokoh idola yang patut ditiru “… ku kituna ku urang turut tanpa rasa gigis …. sakitu sugan aya nu dek nurutan …” (karena itu kita jangan ragu-ragu untuk mencontohkannya, semoga ada yang mau mengikuti/ meneladaninya (Atja, 1968 : 51,55).
Raja atau pemimpin yang daerah kekuasaannya mencapai sebagian wilayah Jawa Barat sekarang adalah Resiguru Demunawan. Resiguru Demunawan adalah Raja yang memimpin kerajaan Saunggalah, tepatnya pada tahun 723 Masehi.
Demunawan dinobatkan sebagai raja di Kuningan dengan gelar Rahiyangtang Kuku atau Sang Kuku atau Seuweukarma. Diceritakan pula daerah kekuasaan Demunawan meliputi daerah Kuningan dan Galunggung itu selanjutnya dinamakan sebagai daerah kerajaan Saunggalah (Atja.1968 : 49 : Danasasmita, 1983/ 1984 : 63).
Nama Saunggalah yang diberikan pada nama kerajaan di Kuningan itu berasal dari nama Keraton atau Istana. Yaitu “Keraton Sanggalah”(dalam bahasa Sunda Saung = rumah, galah = panjang, berarti Keraton Rumah Panjang). Demikian asal usul nama istilah Saunggalah.
Diceritakan pula dalam NCP bahwa luas wilayah kekuasaan kerajaan Saunggalah mencakup separuh wilayah Jawa Barat bagian Timur (Galunggung, Tasikmalaya ditambah eks Keresidenan Cirebon). Disebelah Utara adalah perairan pantai Utara Jawa, dan di sebelah Timur sedang tumbuh kekuasaan Kerajaan Kalingga yang seterusnya menjadi Kerajaan Medang Mataramdetilnya.
Dimana cakupan wilayah keseluruhan kerajaan Saunggalah meliputi 13 daerah. Yaitu Layu Watang, Kajaron, Kalanggara, Pager Wesi, Raka Sea, Kahuripan, Sumajajah, Pasugihan, Padurungan, Darongdong, Pagergunung, Muladarma dan Batutihang.
Berarti bila ditafsirkan sekarang luas wilayah kekuasaan kerajaan Saunggalah meliputi Jawa Barat bagian Timur plus Jawa Tengah bagian Barat.
Selanjutnya diceritakan pula dalam NCP daerah-daerah yang mengakui kekuasaaan Demunawan di Saunggalah. Yaitu Keling, Puntang, Kahuripan, Wiru, Jawa, Blitar, Tuntang, Melayu, Kemir, Berawan, Cimaraupatah dan Cina.
Pada masa pemerintahan Resiguru Demunawan, kerajaan Saunggalah dapat dikatakan mencapai masa kejayaannya. Faktor utama penentu keberhasilan pemerintahan itu berkat kecakapan Raja Saunggalah dalam menjalankan kekuasaannya.
Hal ini dapat dipahami karena Resiguru Demunawan adalah seorang raja yang melakukan fungsi sesuai tugas yang diembannya. Ada dua hal yang utama yang Resiguru Demunawan lakukan sangat baik. Yaitu tapa di nagara dan tapa di mandala. Tapa berarti bekerja, berkarya dan beramal. Tapa di nagara berarti menunaikan tugas sesuai dengan fungsi seorang individu dalam sebuah negara atau kerajaan.
Sedangkan tapa di mandala berarti menunaikan tugas dan beramal untuk kepentingan agama. Dalam hal ini Demunawan telah bisa melaksanakan fungsi keduanya sekaligus berarti seorang negarawan atau raja/pelaksana pemerintahan yang religius.
“Menurut saya kemungkinan sumber literatur dari NCP itu tidak sepenuhnya benar terjadi. Melainkan hanya karena ingin mengembangkan kebesaran Raja Resiguru Demunawan. Namun bagaimanapun NCP itu dapat dijadikan petunjuk bahwa betapa luasnya cakupan daerah kekuasaan kerajaan Saunggalah,” ucapnya.
Seterusnya bagi warga Kuningan bisa jadi bahan inspirasi dan motivasi adanya kebanggaan akan kebesaran cakupan kekuasaan wilayah kerajaan Saunggalah pada masanya. (agus sagi mustawan)