Target Partisipasi Pemilih 77,5%
Pilkada langsung ini akan diselenggarakan pada hari Rabu, 9 Desember 2020 di 9 provinsi, 37 kota, dan 224 kabupaten di Indonesia. Total ada 100.359.152 pemilih yang terdaftar dari 270 daerah yang menyelenggarakan Pemilihan Serentak 2020. Sebanyak 50.194.726 pemilih perempuan atau 50,2 persen dan jumlah pemilih laki-laki sebanyak 50.164.426 atau 49,98 persen.
Sementara itu sebanyak 3.061.456.256 orang merupakan pemilih pemula dan baru pertama kali mengikuti pemilu. KPU menetapkan target partisipasi pemilih sebanyak 77,5%. Sebuah target yang cukup menantang sebenarnya di tengah kekhawatiran penyebaran covid-19 yang semakin masif.
Dalam situasi normal, sebenarnya cukup realistis mencapai target tersebut. Namun berbeda cerita dalam situasi yang kita hadapi saat ini. Oleh karena itu, perlu kerja sama dan sinergi banyak pihak untuk mencapai target parmas 77,5%.
Pilkada yang kita gelar dengan segala pro kontra di dalamnya, mengingat kita sedang dalam situasi pandemi; mau tidak mau harus ada penyesuaian strategi khususnya dalam mendorong kesadaran politik warga untuk berpartisipasi aktif dalam seluruh tahapan tanpa mengabaikan protokol kesehatan.
Pilkada 2020 berada dalam situasi disruspsi yang sangat kental, mau tidak mau dalam rangka mencegah penyebaran covid-19 ini kita perlu mengoptimalkan keberadaan medsos dengan berbagai platform yang tersedia. Dan diantara kelompok yang sangat memungkinkan masifnya penggunaan medsos tersebut yakni mereka yang berasal dari Generasi Z yakni generasi yang lahir di rentang tahun 1999-2012.
Generasi Z pertama di Indonesia adalah generasi kelahiran tahun 1995, dimana pada saat itu internet sudah hadir di Indonesia. Generasi Z tersebut sudah beranjak dewasa, mencari dan memiliki pekerjaan, melihat peralihan rezim orde baru ke rezim reformasi, dan memiliki kemampuan untuk mempengaruhi bidang-bidang dalam kehidupan sehari-hari seperti ekonomi, politk, sosial, budaya, agama dan lainnya.
Karakteristik Generasi Z
Wikipedia menyebutkan sejumlah karakteristik Gen Z di Indonesia. Pertama, merupakan generasi digital yang mahir dan gandrung akan teknologi informasi dan berbagai aplikasi komputer. Informasi yang dibutuhkan untuk kepentingan pendidikan maupun pribadi akan mereka akses dengan cepat dan mudah. Anggota generasi Z tidak mengenal dunia tanpa smartphone atau media sosial.
Ketika iPhone dirilis pada 2007, anggota tertua dari generasi ini baru berusia 11 tahun dan anggota bungsu belum dilahirkan. Mereka mengetahui semua seluk-beluk teknologi. Bahkan, kemampuan teknologi mereka seakan bawaan dari lahir.
Kedua, sangat suka dan sering berkomunikasi dengan semua kalangan khususnya lewat jejaring sosial seperti facebook, twitter, line, whatsapp, telegram, instagram, atau SMS. Melalui media ini mereka jadi lebih bebas berekspresi dengan apa yang dirasa dan dipikir secara spontan.
Ketiga, ketika platform seperti Facebook dan Twitter pertama kali keluar, millennial dan generasi yang lebih tua menggunakannya tanpa memikirkan dampak. Seiring waktu, mereka menyadari bahwa mengumbar hidup di mata publik dapat dengan mudah menghantui mereka.
Generasi Z telah belajar dari kesalahan-kesalahan tersebut dan memilih platform yang lebih bersifat privasi dan tidak. permanen.
Keempat, Generasi Z dikenal lebih mandiri daripada generasi sebelumnya. Mereka tidak menunggu orang tua untuk mengajari hal-hal atau memberi tahu mereka bagaimana membuat keputusan. Apabila diterjemahkan ke tempat kerja, generasi ini berkembang untuk memilih bekerja dan belajar sendiri.
Kelima, cenderung toleran dengan perbedaan kultur dan sangat peduli dengan lingkungan sekitar. Tanpa diragukan lagi, generasi Z akan menjadi generasi yang paling beragam yang memasuki lapangan kerja dalam sejarah Amerika Serikat. Mereka terdiri dari berbagai bagian dari kelompok ras atau etnis minoritas. Mereka juga dibesarkan untuk lebih menerima dan menghormati lingkungan dibanding generasi orang-orang sebelumnya.
Keenam, terbiasa dengan berbagai aktivitas dalam satu waktu yang bersamaan. Misalnya membaca, berbicara, menonton, dan mendengarkan musik secara bersamaan. Hal ini karena mereka menginginkan segala sesuatu serba cepat, tidak bertele-tele dan berbelit-belit.
Ketujuh, Generasi Z menempatkan uang dan pekerjaan dalam daftar prioritas. Tentu saja, mereka ingin membuat perbedaan, tetapi hidup dan berkembang adalah lebih penting.
Kedelapan, Cenderung kurang dalam berkomunikasi secara verbal, cenderung egosentris dan individualis, cenderung ingin serba instan, tidak sabaran, dan tidak menghargai proses.
Kesembilan, Generasi Z benar-benar generasi pertama dunia digital. Smartphone dan media sosial tidak dilihat sebagai perangkat dan platform, tapi lebih pada cara hidup.
Kedengarannya gila, tapi beberapa penelitian mendukung klaim ini. Sebuah studi oleh Goldman Sachs menemukan bahwa hampir setengah dari Gen Zers terhubung secara online selama 10 jam sehari atau lebih. Studi lain menemukan bahwa seperlima dari Z Gen mengalami gejala negatif ketika dijauhkan dari perangkat smartphone mereka.
Kesepuluh, Cepat merasa puas diri bukanlah sebuah kata yang mencerminkan generasi Z. Sebanyak 75% dari Gen Z bahkan tertarik untuk memegang beberapa posisi sekaligus dalam sebuah perusahaan, jika itu bisa mempercepat karier mereka.
Gen Z Mendominasi Penggunaan Internet di Masa Pandemi
Ini potret digital native Gen Z di tahun 2018, saat pandemi belum melanda. Menurut hasil survey LIPI (2018) 60,6 persen Generasi Z mengakses berita terkait politik melalui media sosial. 16,8% menggunakan media sosial untuk diskusi politik, 7,68% mengeluh tentang pemerintahan di media sosial, 53,8% anak muda merasa pemerintah mendengarkan keluhan mereka, dan Gen Z juga termasuk yang optimis dengan demokrasi yang penting keluhan mereka didengar. Bagaimana di masa pandemi?
Alvara Research Center menyebutkan pengguna internet paling dominan selama pandemi Covid-19 di Indonesia adalah generasi Z, kemudian berturut-turut disusul generasi X, generasi milenial atau generasi Y, dan terakhir generasi baby boomers.
Sementara, kegiatan yang paling sering dilakukan di internet selama pandemi Covid-19 adalah bertukar pesan (86,5 persen), berselancar di dunia maya (80,5 persen), mengakses jejaring sosial (70,3 persen), menonton video tanpa unduh atau video streaming (55,0 persen), mengirim e-mail (53,8 persen) dan mengunduh (53,5 persen).
Selebihnya, untuk belanja online (44,6 persen), pembayaran online (40,4 persen), internet banking (33,7 persen), telepon internet (32,3 persen), mendengar musik (29,9 persen), transportasi online (29,4 persen), game online, belajar online (28,6 persen), video conference (25,3 persen), e-book/e-reader (16,0 persen) dan lainnya (3,0 persen).
Nielsen mengungkapkan hal yang sama, bahwa Gen Z mendominasi penggunaan internet di Indonesia. Gen Z menguasai 30% dari populasi di 11 kota besar di Indonesia. Dan generasi ini disebut paling ambisius dan melek teknologi. Gen Z dengan rentang usia 20-24 tahun paling sering menggunakan internet terutama melalui smartphone.
Waktu berinternet mereka minimal 4 jam sehari. Secara indeks, konsumsi internet dari Gen Z mencapai 122. Sedangkan generasi milenial rentang usia 25-39 tahun menduduki urutan kedua yaitu 119. Lalu, generasi X yang usianya 40-54 tahun, indeks penggunaan internetnya hanya 84, dan generasi baby boomers usia di atas 55 tahun, indeks interaksinya dengan internet hanya 37.
Generasi Z dan Politik
Literasi politik Gen Z dengan ciri khas sebagai digital native nya tentu tidak terlepas dari peran medsos. Bahkan mereka bisa berperan sebagai influencer bagi yang lain melalui unggahan di medsos yang mereka ikuti.
Bagaimana dengan pilihan politik mereka? Secara sosiologis, mereka tentu saja merupakan bagian dari keluarga batih/inti dan keluarga luas. Sangat memungkinkan pilihan-pilihan politik mereka tidak bisa begitu saja melepaskan diri dari preferensi politik orang tua. Meskipun di bilik suara, kita tidak akan pernah tahu karena memang sifatnya rahasia.
Artinya karakter mereka yang menyukai kemandirian dan kebebasan tetap saja tidak bisa kita abaikan. Diskusi politik baik di dunia nyata dengan peer group maupun dengan teman di medsos, bisa juga menjadi kontributor penting buat Gen Z dalam mempertimbangkan partisipasi politik dan preferensi politik di bilik TPS.
Secara pengalaman, pelibatan politik Gen Z juga belum banyak bersentuhan dengan partai politik apalagi menjadi kader. Merekalah sebenarnya potensi pemilih yang belum punya pilihan (swing voters).
Mengenal Perilaku Pemilih
Perilaku pemilih menurut Ramlan Surbakti merupakan keikutsertaan warga negara dalam pemilihan umum yang merupakan serangkaian kegiatan membuat keputusan memilih atau tidak memilih dalam pemilu.
Firmanzah dalam karyanya yang bertajuk Marketing Politik (2008) mengulas empat kategori pemilih. Namun demikian, sebelum diuraikan apa saja penjelasan dari masing-masing kategori. Mari kita kenali dulu faktor determinan/penentu pemilih menjatuhkan pilihan di Tempat Pemungutan Suara.
Ada tiga variabel penting penentu memilih kandidat. Pertama, kondisi awal mencakup sosial budaya, nilai tradisional pemilih, level pendidikan dan ekonomi pemilih dan lain-lain. Kedua, variabel media massa meliputi data, informasi dan berita media massa, ulasan ahli, permasalahan terkini, perkembangan dan tren situasi. Ketiga, partai politik/kontestan terdiri dari catatan kinerja dan reputasi, marketing politik, program kerja, dan sistem nilai.
Pertimbangan (judgment) pemilih dipengaruhi tentang kedekatan dan ketertarikan mereka terhadap kontestan. Cara memengaruhinya akan sangat tergantung pada kadar masing-masing faktor.
Media massa berperan penting dalam pembentukan opini publik dalam suatu masyarakat, faktor ini akan sangat memengaruhi cara bersikap dan bertindak masyarakat. Sedangkan ketika faktor keluarga yang lebih kuat dan masing-masing individu hidup didalamnya, pendidikan dalam keluarga sangat menentukan pilihan-pilihan politik.
Sementara itu, terdapat banyak kasus dimana sistem politik dan kualitas pendidikan dalam masyarakat sangat tinggi, sehingga mereka tidak begitu saja percaya dengan pemberitaaan yang dihasilkan media massa.
Kedekatan dan ketertarikan pemilih bisa kita bagi kedalam dua kelompok besar. Pertama, berorientasi policy-problem solving yang lebih menekankan aspek kognitif. Kedua, ideologi yang lebih menekankan aspek afektif serta emosi. Kedua faktor tersebut, diasumsikan penggunaannya oleh pemilih untuk menentukan pilihannya.
Orientasi pemilih pada policy-problem solving berkisar antara rendah dan tinggi. Hal yang sama juga terdapat pada orientasi pemilih pada ideologi yang berkisar dari intensitas rendah dan tinggi. Konfigurasi kedua faktor tersebut melahirkan empat kategori pemilih.
Pertama, pemilih rasional. Mereka memiliki orientasi tinggi pada policy-problem solving dan berorientasi rendah untuk faktor ideologi. Pemilih dalam hal ini lebih mengutamakan kemampuan calon dalam program kerjanya baik di masa lampau (backward-looking) maupun tawaran program untuk menyelesaikan permasalahan yang ada (forward-looking).
Pemilih jenis ini memiliki ciri khas yang tidak begitu mementingkan ikatan ideologi kepada suatu partai atau seorang kontestan. Pemilih dalam hal ini, ingin melepaskan hal-hal yang bersifat dogmatis, ‘tradisional, dan ikatan lokasi dalam kehidupan politiknya.
Analisis kognitif dan pertimbangan logis sangat dominan dalam proses pengambilan keputusan. Memenangkan hati pemilih rasional, maka kontestan harus mengedepankan solusi logis akan permasalahan ekonomi, pendidikan, kesejahteraan, sosial-budaya, pemerataan pendapatan,dan lain-lain.
Kedua, pemilih kritis. Pemilih jenis ini, merupakan perpaduan antara tingginya orientasi pada kemampuan partai politik atau seorang kontestan dalam menuntaskan permasalahan maupun tingginya orientasi mereka akan hal-hal yang bersifat ideologi.
Pentingnya ikatan ideologis membuat loyalitas pemilih terhadap sebuah partai atau kontestan cukup tinggi dan tidak semudah rational voter untuk berpaling ke partai lain atau kandidat lain. Pemilih jenis ini adalah pemilih yang kritis. Artinya mereka akan selalu menganalisa kaitan antara sistem nilai partai (ideologi) dengan kebijakan yang dibuat.
Ketiga, pemilih tradisional. Pemilih ini memiliki orientasi ideologi yang sangat tinggi dan tidak terlalu melihat kebijakan partai politik atau kandidat sebagai sesuatu yang penting dalam pengambilan keputusan.
Pemilih tradisional sangat mengutamakan kedekatan sosial-budaya, nilai, asal-usul, paham, dan agama sebagai ukuran untuk memilih sebuah partai atau kandidat. Kebijakan semisal ekonomi, kesejahteraan, pemerataan, pendapatan dan pendidikan, pengurangan angka inflasi dianggap sebagai parameter kedua.
Pemilh tradisional adalah jenis pemilih yang bisa dimobilisasi selama periode kampanye. Loyalitas tinggi merupakan salah satu ciri khas yang paling kelihatan bagi pemilih jenis ini. Untuk Indonesia, pemilih jenis ini masih merupakan mayoritas.
Keempat, pemilih skeptis. Pemilih skeptis adalah pemilh yang tidak memilki orientasi ideologi cukup tinggi dengan sebuah partai politik atau seorang kontestan, juga tidak menjadikan kebijakan sebagai sesuatu yang penting.
Jenis pemilih ini cenderung punya sikap golput. Kalaupun mereka berpartisipasi dalam pemungutan suara, biasanya mereka melakukannya secara acak atau random. Mereka berkeyakinan bahwa siapapun dan partai apapun yang memenangkan pemilu tidak akan membawa ke arah perbaikan yang mereka harapkan. Mereka pun tidak memiliki ikatan emosional dengan sebuah partai politik atau seorang kontestan.
Menakar Perilaku Pemilih Gen Z
Karakter Gen Z sebenarnya berpotensi menjadi pemilih rasional. Penggunaan internet dan medsos yang masif di kalangan Gen Z sangat memungkinkan terbentuknya karakter sebagai pemilih rasional. Bagaimana memanfaatkan potensi seperti itu?
Berpulang kepada isu yang dipaparkan paslon dalam Pilkada, apakah narasi kebutuhan mereka sebagai anak muda dipahami oleh kandidat. Jauh-jauh hari sebelum pencalonan, sebenarnya memberi kesempatan kepada bakal calon untuk memetakan kebutuhan Gen Z.
Riset atau survei bisa saja dilakukan untuk memahami tiga hal dari gaya hidup Gen Z yakni aktivitas, interes/minat dan opini mereka. Model komunikasi dengan mereka juga tentu saja perlu pendekatan kekinian menggunakan medsos yang banyak digunakan Gen Z, kemasan pesan juga harus sesuai dengan karakter mereka.
Dalam hal ini ini pemetaan influencer yang aktif di medsos bisa dioptimalkan agar pesan-pesan kampanye menyentuh ruang terdalam kesadaran politik Gen Z untuk mempertimbangkan paslon sebagai kandidat yang akan dicoblos di TPS.
Penyelenggara Pemilihan Pilkada Serentak 2020 juga dituntut untuk kreatif dan inovatif dalam merancang strategi komunikasi yang menyasar segmen Gen Z ini. Polanya bisa sama dengan yang dipilih paslon, yang berbeda tentu dari segi isi pesan. Beda KPU, Beda Bawaslu, beda lagi kepentingan penyampaian pesan. Namun narasi yang harus dibangun diatas segala kepentingan yakni bagaimana Gen Z termotivasi untuk menggunakan hak pilih di TPS, Rabu 9 Desember 2020.***
Penulis : Heni Susilawati (Akademisi Uniku)