Oleh: Awang Dadang Hermawan (Ketua DPC PBB Kab. Kuningan)
Guru dan Murid Tertawa Karena Beda Pendapat
Adalah Imam Malik, guru Imam Syafi’i dalam sebuah majelis menyampaikan: “Sesungguhnya rezeki itu datang tanpa sebab, cukup dengan tawakkal yang benar kepada Allah niscaya Allah akan meberikan Rezeki. Lakukan yang menjadi bagianmu, selanjutnya biarkan Allah mengurus lainnya”.
Imam Syafi’i, sang murid berpendapat lain: “Seandainya seekor burung tidak keluar dari sangkarnya, bagaimana mungkin ia akan mendapatkan rezeki”.
Guru dan murid bersikukuh pada pendapatnya masing masing.
Suatu hari setelah meninggalkan pondok, Imam Syafi’i melihat serombongan orang tengah memanen anggur. Diapun membantu mereka. Setelah pekerjaan selesai, Imam Syafi’i memperoleh imbalan beberapa ikat anggur sebagai balas jasa.
Imam Syafi’i girang, bukan karena mendapatkan anggur, tetapi pemberian itu telah menguatkan pendapatnya. Jika burung tak terbang dari sangkar, bagaimana ia akan mendapat rezeki. Seandainya dia tak membantu memanen, niscaya tidak akan mendapatkan anggur.
Bergegas dia menjumpai Imam Malik sang guru. Sambil menaruh seluruh anggur yang didapatnya, dia bercerita. Imam Syafi’i sedikit mengeraskan bagian kalimat “seandainya saya tidak keluar pondok dan melakukan sesuatu (membantu memanen), tentu saja anggur itu tidak akan pernah sampai di tangan saya.”
Mendengar itu Imam Malik tersenyum, seraya mengambil anggur dan mencicipinya. Imam Malik berucap pelan.
“Sehari ini aku memang tidak keluar pondok. Hanya mengambil tugas sebagai guru, dan sedikit berpikir alangkah nikmatnya kalau dalam hari yang panas ini aku bisa menikmati anggur. Tiba-tiba engkau datang sambil membawakan beberapa ikat anggur untukku. Bukankah ini juga bagian dari rezeki yang datang tanpa sebab. Cukup dengan tawakkal yang benar kepada Allah niscaya Allah akan berikan Rezeki. Lakukan yang menjadi bagianmu, selanjutnya biarkan Allah yang mengurus lainnya.”
Guru dan murid itu kemudian tertawa. Dua Imam madzab mengambil dua hukum yang berbeda dari hadits yang sama.
Begitulah ilmu dan akhlaq para Imam Madzab, berbeda pendapat tetapi masing masing menghargai pendapat yg lain. Hikmah yg mulai jarang kita jumpai saat ini.
(Dinukil dari A. Muthi dalam “Khazanah Islam”).
Siapa yang Benar?
Alkisah, hidup seorang guru yang sangat dihormati karena tegas & jujur.
Suatu hari, 2 muridnya menghadap guru. Mereka bertengkar hebat & nyaris beradu fisik. Keduanya berdebat tentang hasil hitungan 3 x 7.
Murid pandai mengatakan hasilnya 21.
Murid bodoh bersikukuh hasilnya 27.
Murid bodoh menantang murid pandai supaya gurunya menilai siapa yang benar di antara mereka.
Murid bodoh mengatakan : “Jika saya yang benar 3 x 7= 27, maka kamu harus mau dicambuk 10 kali oleh Guru. Tetapi kalau kamu yang benar (3 x 7 = 21), maka saya bersedia untuk memenggal kepala saya sendiri. Haaaaaa…hhaa..” Demikian si bodoh menantang dengan sangat yakin akan pendapatnya.
“Katakan guru, mana yang benar?” Tanya murid bodoh.
Ternyata guru memvonis cambuk 10x bagi murid yang pandai (yang menjawab 21).
Murid pandai protes, tapi gurunya menjawab, “Hukuman ini bukan untuk hasil hitunganmu, tapi untuk ketidak-arifanmu karena berdebat dengan orang bodoh yang tidak tahu kalo 3×7 adalah 21.”
Guru melanjutkan : “Lebih baik melihatmu dicambuk dan menjadi arif dari pada guru harus melihat 1 nyawa terbuang sia-sia”.
Muhasabah
Dua ilustrasi di atas mewakili dua tingkat kebenaran, dan bagaimana seharusnya kita menyikapinya. Yang pertama kebenaran relatif. Yang kedua kebenaran mutlak.
Kisah pertama mengilustrasikan terjadinya perbedaan pendapat di antara dua Imam Madzhab besar, Imam Malik dan Imam Syafi’i, sebagai hubungan antara guru dan murid. Keduanya berbeda dalam menafsirkan salah satu rukun iman yaitu iman kepada taqdir. Perbedaan penafsiran yang muncul dalam penerapannya pada kehidupan sehari2 ketika taqdir itu dikaitkan dengan ikhtiyar. Dua2nya benar dan benar2 (bisa) terjadi kapan, di manapun dan kepada siapa saja (kebenaran relatif).
Sungguh indah teladan yang ditampilkan kedua Imam besar itu; dalam masalah furu’ mereka tidak perlu ngotot mempertahankan pendapatnya masing2.
Pesan moralnya,
hindari berdebat dalam masalah furu’ dan/atau berdebat dengan orang yang tidak menguasai permasalahan, sebab bila mental kita masih lemah, hal itu hanya akan memancing emosi dan permusuhan.
Ada saatnya kita diam untuk menghindari dan mengakhiri perdebatan yang tidak perlu. Diam bukan berarti kalah; menang juga bukan hal yang luar biasa.
Pemenang sejati adalah mereka yang mampu menaklukkan egonya sendiri. Maka, sebelum berdamai dengan orang lain, sebaiknya berdamailah dulu dengan diri sendiri.
Ilustrasi kedua tentang kebenaran mutlak. Guru haruslah tegas bila menyangkut jenis kebenaran ini. Bagaimana seseorang akan menjadi guru yang baik bila tidak bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah; mana yang haq dan mana yang batil. Bagaimana akan menjadi da’i yang baik bila tidak bisa membedakan mana yang ma’ruf dan mana yang munkar.
Bagaimana bisa yakin tidak tertukar antara yang hak dan yang batil, antara yang ma’ruf dan yang munkar, bila definisinya tidak jelas?
Perhatikan Firman Allah berikut:
ﻭَﻻَ ﺗَﻠْﺒِﺴُﻮﺍْ ﺍﻟْﺤَﻖَّ ﺑِﺎﻟْﺒَﺎﻃِﻞِ ﻭَﺗَﻜْﺘُﻤُﻮﺍْ ﺍﻟْﺤَﻖَّ ﻭَﺃَﻧﺘُﻢْ ﺗَﻌْﻠَﻤُﻮﻥَ
“Janganlah kamu campur-adukkan antara kebenaran dan kebatilan, dan kamu sembunyikan yang benar padahal kamu mengetahuinya.” (Qs Al -Baqarah: 42).
Saat ini kita berhadapan dengan persoalan yang bersifat abu-abu dan berpotensi mengandung kemudlaratan yang besar sehingga bisa menjurumuskan kita pada keragua2an dalam beragama. Dalam kondisi seperti ini kita dianjurkan untuk memperbanyak do’a ini, sebuah do’a yang disandarkan kepada Khalifah Umar bin Khattab:
“Ya Allah, tampakkanlah kepada kami yang haq itu benar-benar haq, dan berilah kami hidayah untuk mengikutinya. Dan tampakkanlah yang batil itu benar-benar batil, dan berilah kami keinginan untuk menjauhinya. Janganlah Engkau jadikan hal itu samar sehingga kami mengikuti hawa nafsu.”
Do’a ini disebutkan juga oleh Imam Ghazali dalam kitabnya Ihyaa Ulumuddin melalui kitab Takhrij Hadits cetakan Daarul ‘Ishomah yang mengumpulkan tiga tulisan ulama yang mentakhrij hadits-hadits Ihyaa Ulumuddin, yaitu: al-Hafidz al-‘Iroqiy (w. 806 H), Imam as-Subki (w. 771 H) dan asy-Syaikh az-Zubaidiy (w. 1205 H).
Imam Ghazali membawakannya dengan lafadz :
اللهم أرني الحق حقاً فأتبعه وأرني المنكر منكراً وارزقني اجتنابه
“Ya Allah, tampakkanlah kepadaku yang benar itu sebuah kebenaran dan berikan petunjuk kepadaku untuk mengikutinya. Tampakkanlah kepadaku yang munkar itu sebuah kemunkaran dan berikan petunjuk kepadaku agar menjauhinya.”
Hadanallahu Waiyyakum Ajma’in. Kuningan ,17 Juni 2018. 19530430 TITIK