KUNINGAN (MASS) – Menjadi artis adalah cita-cita Lasmi saat masih muda. Ia ingin menjadi penyanyi dangdut yang terkenal seperti idolanya. Tetapi sekian lama mengolah suara dan mendendangkan lagu di tengah khalayak, tak juga membuatnya naik daun dan selevel dengan artis ibu kota. Ia hanya berakhir sebagai biduan orkes di panggung-panggung hajatan.
Setiap kali menonton acara pentas dangdut di televisi, Lasmi pun terkenang pada cita-citanya dahulu. Ia masih kerap berkhayal untuk tampil di panggung megah dan dielu-elukan para penonton. Tetapi ia sadar tak akan bisa lagi untuk mewujudkannya. Kualitas suaranya dan tampilan fisiknya telah memburuk di tengah usianya yang nyaris kepala lima.
Tetapi dahulu, Lasmi pun telah berjuang mewujudkan harapannya. Ia telah lima kali mengikuti audisi kontes dangdut tingkat nasional di ibu kota provinsi. Tetapi semuanya gagal dan membuatnya putus asa, hingga melewatkan audisi berikutnya. Apalagi, ibunya kemudian mengidap penyakit kronis, hingga ia mesti tinggal untuk merawat sang ibu, hingga meninggal.
Atas kenyataan itu, Lasmi kemudian mengalihkan cita-citanya kepada Lisna, anak semata wayangnya. Ia berharap sang putri akan menjadi seorang penyanyi dangdut yang tenar. Paling tidak, meskipun ia gagal menjadi artis top dan gagal membanggakan orang tuanya, ia berharap sang anak berhasil dan membuatnya bangga. Jikalau begitu, ia akan sangat bahagia.
Akhirnya, hampir dua tahun yang lalu, audisi kontes dangdut tingkat nasional kembali digelar di ibu kota provinsi. Dengan antusias, Lasmi mendorong Lisna untuk ikut. Dan berkat kegigihannya berlatih dan mementaskan diri di panggung-panggung lokal, Lisna pun lolos. Ia bahkan terus memasuki babak lanjutan, hingga ia mewakili daerahnya pada kontes tersebut.
Pada masa perjuangan anaknya di ibu kota negara, Lasmi pun terus menyokong. Dengan semangat, ia mengampanyekan sang anak. Ia meminta bantuan para warga untuk mengirimkan suara dukungan. Dan atas upayanya itu, sang anak berhasil masuk babak final. Meski sang anak kemudian duduk di posisi kedua, tetapi itu sudah sangat membanggakan baginya.
Akhirnya, sang anak telah berhasil menjadi artis ternama. Setiap hari, Lasmi pun menyaksikan pemberitaan perihal sang anak di acara infotainment televisi. Entah soal karier, kehidupan keseharian, ataupun hubungan asmara sang anak. Ia sungguh senang menyaksikan semua itu, seolah-olah impian masa kecilnya telah tercapai atas pencapaian sang anak.
Terlebih, keuangan Lasmi sebagai seorang janda yang menyambung hidup sebagai penjual sayur di pasar, memang sangat terbantu atas pendapatan sang anak dari panggung dangdut. Dengan bagian rezeki itu, ia memiliki tabungan untuk bekal hidupnya hari demi hari. Ia bahkan bisa merenovasi rumahnya, hingga dinding yang berlubang dan atap yang bocor bisa teratasi.
Atas kemajuan karier sang anak, Lasmi tak henti-hentinya bersyukur. Ia merasa beruntung memiliki sang anak dengan penghasilan yang sangat menjamin. Karena itu, ia berharap sang anak tidak lupa diri dan terus memerhatikannya, sebagaimana para artis memperlakukan orang tuanya dengan kasih sayang, seperti yang tampak di layar televisi.
Dan tentu, sang anak tidak akan kesulitan untuk berlaku demikian. Apalagi, penghasilan sang anak berasal dari sumber yang beragam, sebab ketenarannya tidak hanya di layar televisi, tetapi juga merambah ke layar ponsel. Sang anak telah menjadi seorang selebgram dan youtuber, yang rutin mengunggah kehidupan pribadinya, termasuk kebersamaannya dengan sang kekasih, hingga mendapatkan banyak penonton dan pesanan iklan.
Namun perlahan, sang anak menuai beragam tanggapan. Para warganet senantiasa beradu komentar soal tudingan bahwa sang anak mengalami star syndrome, sehingga gemar berlaku pamer. Keriuhan itu lantas jadi ulasan infotainment di televisi, hingga Lasmi turut menyaksikannya, khususnya keributan yang dipicu laku mesra sang anak dengan sang kekasih yang dinilai keterlaluan, entah dengan bergandengan tangan, berpelukan, hingga berciuman pipi.
Atas kenyataan itu, Lasmi pun jadi kalut. Ia tak menduga bahwa sang anak akan berubah sikap setelah tenar. Ia jelas mengkhawatirkan nama baiknya dan keluarga besarnya. Meski bangga atas kesuksesan sang anak, ia sama sekali tak setuju jika sang anak mengabaikan nilai-nilai moral yang hidup di tengah masyarakat. Apalagi, orang-orang di kampungnya masih menjunjung norma terkait batas pergaulan dua insan berlawan jenis yang bukan mahram.
Sebagai seorang Ibu, beberapa kali sudah Lasmi menghubungi dan menasihati sang anak lewat telepon. Ia memesankan agar sang anak menjaga perilakunya di depan kamera agar tidak dicap buruk oleh masyarakat. Tetapi sang anak malah menanggapinya dengan cuek. Sang anak mengatakan bahwa adegan-adegannya itu merupakan urusan yang perlu untuk mendongkrak popularitasnya, demi meningkatkan pendapatannya.
Atas sikap keras sang anak dalam memperturut gaya hidup hedonistik ala-ala artis sensasional, Lasmi pun pasrah. Ia hanya berharap sang anak sadar sendiri untuk memperbaiki sikapnya demi martabat dirinya dan keluarga besarnya. Terlebih, ia merasa makin terusik dengan sindiran-sindiran warga kampung atas kelakuan sang anak yang telah menetap di ibu kota negara itu, yang mereka nilai telah lupa diri dan lupa tanah kelahiran.
Hingga akhirnya, beban perasaan membuat keadaan tubuh Lasmi memburuk. Benih penyakitnya, antara lain hipertensi dan kolesterol tinggi, perlahan parah dan membuatnya lebih sering terbaring. Tetapi ia merahasiakan kondisinya itu dari pengetahuan sang anak. Ia tak ingin membuat sang anak khawatir atau merasa terganggu. Karena itu, ia hanya terus meminta bantuan kepada tetangganya jika ia butuh sesuatu yang tak bisa ia penuhi sendiri.
Wajar jika Lasmi bersikap demikian. Belakangan waktu, sang anak memang kerap tidak menjawab panggilan teleponnya. Ia pun tak tahu jelas kenapa demikian. Tetapi ia menduga kalau barangkali sang anak memiliki kesibukan yang padat, atau sang anak memang kurang senang lagi berbicara dengannya setelah sekian kali ia menasihati sang anak perihal batas-batas hubungan dengan lawan jenis.
Sampai akhirnya, pagi tadi, tubuh Lasmi kalah melawan penyakit. Ia lunglai dan pingsan di teras depan rumahnya. Ia lantas dibawa ke rumah sakit oleh para tetangganya.
Dan secepat kilat, kabar perihal keadaan Lasmi kemudian menyebar di media sosial dan menjalar ke media massa. Dengan cepat pula, tanggapan terhadap kabar tersebut bermunculan dan menumpuk pada satu kesimpulan: seorang artis dangdut yang tengah naik daun, mengabaikan keadaan ibunya yang sedang sakit di kampung.
Tetapi doa-doa kemudian bersambut. Saat waktu di ujung pagi, Lasmi akhirnya siuman. Keadaannya pun berangsur-angsur membaik.
Di sisi luar ruang perawatan Lasmi, beberapa awak media telah berkumpul dan hendak menemuinya. Mereka ingin meliput keadaannya, juga mendapatkan tanggapannya terkait tudingan-tudingan miring terhadap sang anak.
Beberapa lama berselang, melalui ponsel tetangganya, Lasmi tiba-tiba mendapatkan telepon dari Lisna, sang anak, yang berada di pulau seberang.
Dengan perasaan senang, Lasmi pun menjawab, “Halo, Nak?” sapanya, dengan nada penuh kasih.
“Ibu sakit?” sidik Lisna.
“Iya, Nak. Tetapi kau jangan khawatir. Ini hanya sakit biasa,” tanggap Lasmi, menyamarkan keadaannya.
Lisna mengeluh. “Aduh. Kalau Ibu sakit, kabari aku cepat-cepat, agar aku bisa segera pulang.”
“Tetapi aku tak apa-apa, kok, Nak. Sebentar juga, aku sembuh,” respons Lasmi, tenang. “Sebaiknya, kau tak usah pulang. Kau pasti punya banyak urusan di situ.”
Seolah tak berkenan, Lisna pun mendengkus kesal. “Tetapi kalau Ibu sakit dan aku tak mendampingi, orang-orang bisa berpikiran kalau aku tak memerhatikan Ibu, dan itu bisa menjatuhkan karierku.”
Lasmi sontak kelimpungan. Diam-diam, ia memahami keberatan sang putri. “Maafkan aku kalau begitu, Nak.”
Lisna kemudian mengembuskan napas yang panjang, seolah berupaya mengikhlaskan keriuhan yang telanjur terjadi di media. “Hari ini juga, aku akan pulang menjenguk Ibu. Tetapi sebelum aku sampai, aku minta, Ibu jangan memberikan komentar apa-apa kepada para wartawan. Kalau Ibu ingin aku tetap bersinar sebagai bintang, sebagaimana keinginan Ibu dahulu, Ibu harus menjaga mulut. Nanti, setelah aku di situ, biar aku yang meladeni mereka.”
Seketika, Lasmi kecele. Perasaannya menjadi kecut mengetahui bahwa sang anak akan pulang bukan karena benar-benar memedulikannya. Tetapi akhirnya, demi sang anak, ia menyanggupi saja, “Baiklah. Akan kulakukan seperti maumu, Nak.”
Lisna lantas memutuskan sambungan telepon.
Lasmi pun didera kekecewaan yang mendalam.***
Ramli Lahaping. Kelahiran Gandang Batu, Kabupaten Luwu. Berdomisili di Kota Makassar. Menulis di blog pribadi (sarubanglahaping.blogspot.com). Bisa dihubungi melalui Instagram (@ramlilahaping).