KUNINGAN (MASS) – Setelah mencermati berbagai perdebatan mengenai pembubaran PDAU, kini muncul pertanyaan lain yang tak kalah penting: benarkah perusahaan daerah tersebut benar-benar menjadi beban bagi Kabupaten Kuningan? Ataukah ada faktor lain yang belum banyak diketahui publik?
Wacana bahwa PDAU hanya membebani daerah berangkat dari asumsi bahwa perusahaan itu tidak memberikan kontribusi maksimal terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD). Namun, dalam diskusi yang dilakukan dalam podcast Kuningan Mass bersama Wakil Ketua Kadin Kuningan, Dani Nuryadin, ditemukan beberapa fakta yang patut menjadi perhatian sebelum menjustifikasi PDAU sebagai beban daerah.
PDAU dan Kontribusi Terhadap PAD PDAU sejatinya memiliki berbagai aset yang dapat menjadi sumber pemasukan bagi daerah, seperti objek wisata dan unit usaha lainnya. Namun, salah satu kendala utama yang menyebabkan minimnya kontribusi terhadap PAD adalah keterbatasan modal serta birokrasi yang menghambat fleksibilitas perusahaan dalam mengembangkan bisnisnya.
“Kalau hanya melihat dari sisi pemasukan ke PAD, memang saat ini PDAU terlihat belum optimal. Namun, kita juga perlu melihat faktor pengelolaan yang selama ini terbentur dengan regulasi yang ada. Apakah ini murni kesalahan PDAU atau ada faktor eksternal yang membuatnya sulit berkembang?” ujar Dani dalam Podcast yang diupload Kamis (20/3/2025).
Minimnya Dukungan dan Kendala Struktural, Dani menekankan, ada beberapa faktor yang menyebabkan PDAU belum dapat berjalan optimal. Salah satunya adalah minimnya dukungan dari sisi permodalan yang seharusnya diberikan secara bertahap sesuai dengan Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2009. Dari total penyertaan modal yang direncanakan sebesar Rp. 17 miliar, PDAU baru menerima Rp9,5 miliar hingga tahun 2018. Artinya, masih ada gap modal yang cukup besar yang seharusnya bisa digunakan untuk pengembangan usaha.
Berita sebelumnya : https://kuninganmass.com/pd-aneka-usaha-pdau-kuningan-terancam-bubar-ini-kata-kadin/
Selain itu, regulasi terkait pengelolaan usaha daerah yang masih kaku juga menjadi penghambat. Setiap kebijakan yang diambil PDAU harus melalui prosedur panjang, termasuk persetujuan dari pemerintah daerah dan DPRD. Hal itu menyebabkan perusahaan tidak bisa bergerak cepat dalam menangkap peluang bisnis.
Jika PDAU dianggap tidak maksimal, demikian lanjut Dani, solusi yang ditawarkan bukan sekadar mengganti direksi atau menuntut pendapatan instan. Reformasi sistem menjadi kunci agar perusahaan itu dapat lebih fleksibel dalam menjalankan bisnisnya. Salah satu langkah yang diusulkan adalah perubahan status hukum dari Perumda menjadi PT Perseroda.
Maka, pertanyaannya kini bukan hanya apakah PDAU harus dibubarkan, tetapi bagaimana caranya agar perusahaan ini bisa lebih kompetitif dan memberikan manfaat nyata bagi daerah. Simak video selengkapnya di bawah ini. (argi)
