“Bangun, sudah siang!,”
Suara Ibuku lantang di telinga.
Waktu masih pukul 5 pagi, tapi kata Ibu sudah terlalu siang. Aku lantas pergi ke tempat mandi. Tempat mandi umum. Jaraknya sekitar 30 meter dari rumah. Pagi buta tempat ini sudah menjadi yang paling ramai di kampungku.
Meski kantuk masih terasa tapi aku paksa untuk mandi. Sambil menunggu giliran aku mencuri waktu untuk mengantuk sebentar. Sayangnya tak nyenyak, dikerbuti semut. Tak nyaman pula, karena harus memantau antrian mandi.
Ketika mentari sudah mulai naik ke peraduan, dengan berani ku langkahkan kaki menuju sekolah. Ditemani ragam siulan burung dan tutur sapa penduduk kampung, wajah lucu ini semakin pede saja untuk cepat bergegas menyapa gerbang sekolah.
Sayangnya, sekolahku tanpa gerbang. Ketika datang langsung dihadapkan pada tangga menukik menuju halaman sekolah. Tidak ada gerbang. Sekolahku di pinggir tebing dan dikelilingi sawah.
Kalau tentang prestasi aku tidak ketinggalan. Sebab, nilaiku selalu bagus. Perhitunganku selalu cepat dan aku pun selalu masuk di ranking 5 besar. Tiap kenaikan kelas aku sering mendapat hadiah. Kata orang pun aku memang pintar. Tak apalah pede sedikit, biar kalian yang menyimpulkan.
Terkadang sebelum pulang sekolah guruku selalu memberikan pertanyaan matematika. Siapa cepat menjawab maka bisa pulang duluan. Dan di lomba ini aku sering jadi yang pertama keluar kelas.
Aku duduk di bangku kelas 3. Guruku pun teman ayahku. Makanya beliau selalu menceritakan kondisi aku pada Ayah. Katanya waktu semester pertama nilaiku bagus dan masuk peringkat kedua. Bahkan katanya bisa ranking 1. Sayangnya susah ketika harus bersaing dengan anak titipan. Intinya, Guruku selalu bilang ke Ayah kalau aku memang pandai, tapi sayang tidak teliti dan selalu ingin cepat beres. Sehingga, terkadang ada yang belum sempurna dikerjakan.
Aku memang sedang semangat-semangatnya belajar saat itu. Tiap kutemukan hal baru selalu dihapal. Sampai poster tentang huruf dan binatang yang dibelikan Ayah sudah ku hapal semua. Sampai bosan melihatnya.
Tibalah pada masa ujian kenaikan kelas. Aku masih dapat ranking di 5 besar. Dan ketika memasuki hari libur dipakai buat bermain seharian. Mulai dari membuat kolam ikan kecil, hingga bermain boy-boyan sampai senja menyapa.
Saking senangnya menikmati libur, tak terasa bahwa tanggal masuk sekolah tinggal beberapa hari lagi. Aku sudah mulai bilang ke Ayah untuk membeli buku baru, jangan sampai Ayah lupa akan hal ini. Karena, setiap semester baru teman-temanku selalu berbuku baru dengan merek yang sudah ternama, berwarna cerah, tebal dan bergambar animasi yang sedang viral. Aku ingin seperti mereka tetapi tidak mungkin. Setiap kali aku bilang ke Ibu ingin buku seperti teman-temanku aku malah kena marah. Katanya mahal, mendingan yang biasa saja, yang tebal biar cukup untuk beberapa tahun.
Sebal. Sangat sebal. Malu. Sangat malu. Kenapa sih orang tuaku tidak mengerti keinginan anaknya. Padahal anaknya itu pengen buku yang berwarna seperti anak-anak kelas lainnya. Sebal.
Tapi tak apalah. Yang penting bisa beli buku baru. Meskipun tidak beli banyak – hanya beli yang benar-benar sudah habis saja – Tak disangka dengan cara ini ternyata memudahkanku dalam belajar. Karena pelajaran masih tersimpan di dalam satu buku, jadi aku bisa menghapal dari pelajaran sebelumnya bahkan kelas sebelumnya. Jadi pelajaran itu akan selalu menempel dalam kepala.
Akan tetapi terkadang malas. Buku ini akhirnya cepat rusak. Aku pengen seperti orang-orang yang bukunya selalu rapih dan sampulnya bagus. Kalau buku-ku bagaimana bisa disampul, karena kalau disimpan di tas aja selalu berobah posisi. Akhirnya selalu terlipat lah, jadi kusut lah, pokoknya cepat rusak.
Tak terasa masuk sekolah tinggal 2 hari lagi. Sekarang hari Sabtu dan Senin aku sudah mulai masuk sekolah. Aku semakin massif bilang ke Ayah agar tidak lupa beli buku baru. Ayahku hanya mengiyakan saja. Menenangkanku. Tapi tidak mengajaku membeli buku. Ayah itu tidak mengerti deh!
Oh iya Ayahku pekerjaannya sebagai tukang ojek. Namanya sudah dikenal luas oleh banyak orang. Karenanya, jika disebutkan nama ayahku kepanjangannya pasti Ojeg.
Aduh ini sudah sehari lagi masuk sekolah dan aku belum dibelikan buku oleh Ayah. Lupa atau gimana sih Ayah ini?
Akhirnya aku hanya bisa merengek meminta buku. Ayah menenangkanku. Dia bilang nanti akan dibelikan. Aku disuruh sabar dan jangan menangis.
Karena sudah malam dan suda cape menangis, akhirnya aku tertidur sebentar. Dalam masa-masa ngantuk itu aku mendengar Ayah dan Ibu sedang berdebat masalah uang. Ayah ternyata sedang tidak memiliki uang sepeserpun dan Ibu juga sama.
Untungnya, ada tetangga yang sedang menggelar resepsi pernikahan dan dalam acara itu digelar lomba domino (gaple). Siapa juaranya dapat hadiah uang. Ayahku biasanya tidak suka ikut lomba itu. Tapi malam itu Ayah bertekad mengikuti lomba itu agar dapat rupiah.
Aku mendengar kalimat Ayah sebelum keluar dari rumah, katanya “Ayah mau ikut lomba gapleh, siapa tahu menang buat beli buku,”. Dalam hati aku senang mendengarnya. Aku pun tidur dengan hati senang. Besok masuk sekolah dengan buku baru.
Saking senangnya tidur pun tak terasa. Tahu-tahu sudah pagi saja. Aku bergegas menanyakan kepada Ibu dimana buku baruku. Ibu diam saja. Katanya, tanya saja pada Ayah. Aku tanyakan kepada Ayah. Dia berkata sambil menenangkanku, “Nanti ya, bukunya belum beli,”.
Engkau tahu apa yang aku rasa saat itu? Hanya bisa menangis.
Buku bekas ku pakai lagi. Dan aku berangkat sekolah dengan mata yang sembab.
Penulis : Genta.