KUNINGAN (MASS) – Soediman Kartohadiprodjo menyebutkan, politik hukum adalah pemikiran yang menjadi dasar campur tangan negara dengan alat-alat perlengkapannya (eksekutif, legislatif dan yudikatif) dalam hal pelaksanaan hukum, perkembangan hukum dan penciptaan hukum. (Soediman Kartohadiprodjo, 1984 : 210-211). Politik Hukum dimaksud dalam kajian ini adalah Politik Hukum Perlindungan Konsumen.
Hampir di setiap sektor ekonomi terdapat konsumen. Konsumen menurut Pasal 1 angka 2 UU No.8 Tahun 1999 ttg Perlindungan Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Setiap orang, mulai jabang bayi sampai manula, termasuk pelaku usaha adalah konsumen. Setiap pelaku usaha pasti juga konsumen, tapi setiap konsumen belum tentu sebagai pelaku usaha. Konsumen tidak mengenal usia, gender, profesi, jabatan, status sosial dll. Dengan kata lain semua rakyat adalah konsumen.
Tanggal 8 September 2025 adalah saat Purbaya Yudhi Sadewa dilantik oleh Presiden Prabowo Subianto menjadi Menteri Keuangan Republik Indonesia. Sebelum tepat dua bulan masa tugasnya sebagai Menkeu ini, Purbaya sudah membuat berbagai kejutan, gebrakan, menorehkan beberapa langkah, kebijakan maupun pernyataan selain bidang keuangan juga ekonomi, yang disampaikannya dengan gaya yang tidak lazim, komunikasi blak-blakan ala “koboi” tapi tegas, lugas, kontroversi tapi rasional karena sebagai landasannya ia bicara dengan data/statistik, sehingga dapat dicerna oleh rakyat jelata, konsumen, pengusaha maupun para ekonom dan akademisi.
Menkeu Purbaya sejak pelantikan menggantikan Sri Mulyani hingga saat ini terus jadi sorotan publik karena telah banyak langkah² yang diambilnya yang cukup kontroversi. Kebijakan di awal kepemimpiannya dinilai berani karena lewat Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 276 Tahun 2025 yang ditandatangan pada 12 September 2025 lalu, Menkeu Purbaya menarik dana sebesar Rp200 triliun dari Bank Indonesia untuk dibagikan ke bank himpunan bank milik negara (Himbara). Kebijakan ini diklaim dapat menggerakkan perekonomian lewat penyaluran kredit.
Sebelumnya, Menteri Purbaya membuat pernyataan yang menghebohkan dan sekaligus membongkar kasus besar kereta whoosh. Ia menegaskan tidak akan menggunakan uang negara alias APBN untuk menanggung utang jumbo proyek Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) atau Whoosh. Karena, APBN adalah uang rakyat dan tidak semua rakyat sebagai konsumen mampu menggunakan Whoosh. Jika APBN digunakan untuk membayar utang kereta Whoosh, maka dana untuk subsidi konsumen/rakyat seperti pendidikan, kesehatan, infrastruktur daerah, pelayanan publik dll, akan dialihkan membayar hutang kereta api cepat.
Penolakan penggunaan APBN untuk membayar utang kereta cepat ini sangat terkait dengan konsumen sebagai pembayar pajak. Konsumen punya hak untuk menolak karena mereka adalah pihak yang mendanai APBN termasuk untuk sektor pangan, kesehatan, pendidikan, transportasi, dll. Selain itu proyek tersebut awalnya tidak dijanjikan menggunakan uang rakyat sehingga ada kekhawatiran beban fiskal akan dialihkan kembali ke masyarakat sebagai konsumen pembayar pajak.
Langkah-langkah Purbaya lain misalnya di sektor kesehatan, pemerintah menyiapkan Rp20 triliun untuk menghapus tunggakan peserta BPJS Kesehatan 2026. Di sektor makanan, merealokasi anggaran MBG yang tidak terserap akan dialihkan ke program lain, termasuk program bantuan pangan beras 10 kg.
Selain itu di sektor pendidikan, tahun 2026 guru honor negeri/swasta yang mengajar lebih dari 10 tahun wajib diPNSkan semua. Atas permintaan Presiden Prabowo, Menkeu Purbaya mengalokasikan uang hasil sitaan kasus korupsi crude palm oil (CPO) sebesar Rp 13,2 triliun untuk Lembaga Pengelola Dana Pendidikan atau LPDP.
Kemudian di bidang transportasi, Purbaya menandatangani aturan baru berupa PMK Nomor 71 Tahun 2025, yang mengatur Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Ditanggung Pemerintah (DTP) untuk tiket pesawat kelas ekonomi selama libur Natal dan Tahun Baru.
Di sektor keuangan, kondisi ‘idle money’ Rp234 triliun layanan publik terhambat ekonomi melambat, dan daya beli konsumen lemah. Kemudian langkah Menkeu Purbaya menarik sekitar Rp200 triliun kas negara dari Bank Indonesia ke bank-bank umum, merupakan jalan keluar di tengah lesunya perputaran uang. Dengan demikian konsumen lebih berpeluang mencari nafkah/daya beli meningkat. Kebijakan Menteri Purbaya dengan memindahkan dana² yang mengendap di bank untuk disalurkan ke kredit sektor produktif, terutama UMKM yang menyerap 97% tenaga kerja, yang sementara ini hanya mendapat 18–20% kredit perbankan nasional.
Pada saat yang sama, APBD daerah yang mengendap di perbankan daerah mencapai sekitar Rp 250 triliun pada beberapa periode anggaran. Uang itu tidak hilang, ia sekadar diam. Diam di rekening bank. Diam menunggu prosedur. Diam demi kehati-hatian. Diam dalam nama stabilitas. Dan Purbaya mengatakan: “APBD bukan instrumen investasi. APBD adalah mesin penggerak ekonomi daerah.” Artinya, uang daerah bukan untuk disimpan, tetapi untuk dibelanjakan. Ketika APBD dibelanjakan, warung makan bekerja, tukang material bekerja, pabrik semen bekerja, bengkel alat berat bekerja, dan UMKM lokal masuk kembali dalam sirkulasi. Belanja daerah adalah denyut kehidupan ekonomi lokal.
Dengan sikap dan langkah Menkeu Purbaya ini, rakyat/konsumen merasakan negara hadir seperti “oase di padang pasir”, memberikan pelindungan kepada konsumen yang selama ini negara diam, bahkan sebaliknya selama sepuluh tahun terakhir, seringkali negara membuat kebijakan yang merugikan/mendzolimi konsumen/rakyat sementara komentar penyelenggara negara banyak yang menyakitkan, dan saat ini Purbaya muncul di hadapan publik dengan harapan dan optimisme tinggi. Agaknya tidak berlebihan kalau kebijakan Menkeu Purbaya di bidang ekonomi ini, termasuk langkah memperjuangkan nasib konsumen sehingga dapat disebut sebagai fenomena ‘Purbayanomics’
APAKAH LANGKAH² MENKEU PURBAYA (‘PURBAYANOMICS’) INI BERIRISAN DENGAN ‘SERAKAHNOMICS’ NYA PRESIDEN PRABOWO?
Istilah ‘serakahnomics’ pertama kali diperkenalkan oleh Presiden Prabowo saat menutup Kongres Partai Solidaritas Indonesia (PSI) di Solo pada 20 Juli 2025. Prabowo juga kembali menyampaikan hal yang sama dalam perayaan Harlah ke-27 PKB di JCC Senayan, Jakarta. Kemudian diucapkan juga pada Sidang Tahunan MPR, DPR, dan DPD RI Agustus lalu.
Istilah ‘serakahnomics’ digunakan Prabowo untuk menggambarkan bagaimana bisnis yang dijalankan dengan seenaknya oleh pengusaha dan menikmati keuntungan tinggi di atas penderitaan rakyat, seperti soal kelangkaan minyak goreng di Indonesia, meski negara ini merupakan produsen kelapa sawit terbesar di dunia. Kemudian kasus beras dan bbm oplosan, dll.
Prabowo mengkritik praktik ekonomi yang dilandasi keserakahan elit, yang disebutnya melewati batas kewajaran dan moralitas. Prabowo mengatakan bahwa kekayaan yang dimiliki Indonesia sangat luar biasa. Sayangnya, Prabowo menyebut masih banyak orang jahat alias maling yang mengambil seluruh kekayaan. “Maling-maling pun luar biasa, kalian luar biasa nggak jera-jera sudah dikasih warning berkali-kali masih aja.”
Presiden Prabowo sendiri telah turun tangan membatalkan kebijakan menterinya sendiri yang merugikan konsumen, seperti instruksi membongkar pagar laut di Tangerang yang membatasi ruang lingkup nelayan sehingga persediaan ikan bagi konsumen berkurang. Membatalkan kebijakan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang memunculkan wacana kenaikan PPN dari 11 persen menjadi 12 persen per 1 Januari 2025 yang dirubah hanya untuk barang dan jasa mewah. Membatalkan kebijakan distribusi gas melon yang membuat rakyat mengantre sampai ada yang meninggal. Terakhir, kebijakan pemblokiran rekening ‘nganggur’ oleh PPATK, juga dibatalkan oleh Presiden.
Dari data dan kebijakan di atas, dapat disimpulkan bahwa setiap kebijakan pemerintah berkontribusi menekan dan membebani konsumen. Peristiwa “Agustus Kelabu” di akhir Agustus 2025, muncul dengan adanya demonstrasi besar akibat dari akumulasi frustrasi publik yang datang bukanlah tiba-tiba, yang terjadi dari kebijakan ekonomi, proses pembuatan keputusan, dan praktik bernegara yang jauh dari amanah.
Di sisi lain, tujuan negara untuk mensejahterakan rakyat itu dihambat oleh kelompok yang sejak sepuluh tahun lalu memperoleh kenikmatan dan mempertahankan status quo nya melalui paham “serakahnomics”, yang saat ini tengah gerah, resah dan gelisah dengan fenomena “Purbayanomics” ini. Disukai rakyat, tapi dibenci pejabat.
Intinya, sebelum dua bulan menjabat Menkeu, Purbaya sudah banyak mengeluarkan kebijakan populis dan fundamental, hal ini berkontribusi besar terhadap angka kepuasan publik dan di tengah-tengah kepuasan ini, tentunya tantangan, gangguan dan rintangan bahkan ancaman kepada Purbaya harus tetap diwaspadai termasuk usulan untuk diturunkan/reshufle.
Seperti diingatkan Habib Ali Alwi Anggota Komite IV DPD RI, dalam rapat Komite IV DPD RI dengan Menteri Keuangan, Senin (3/11/2025) bahwa Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa supaya berhati-hati. “Karena berada di tengah hutan belantara, Bapak berani tampil di tengah-tengah serigala yang begitu banyak, Pak. Hati-hati kalau kagak kuat, Pak. Itu serigalanya samping kiri kanan Bapak itu.” Di sisi lain, dari sepuluh calon yang dimunculkan, popularitas Purbaya tertinggi (28,65%), sehingga menjadi tokoh papan atas dalam survey IndexPolitica di bursa cawapres 2029 karena kebijakannya selama ini menjadi Menkeu.
Menelusuri jalan pikiran Menkeu Purbaya dalam perspektif Politik Hukum Perlindungan Konsumen, agaknya tidak berlebihan jika dikatakan langkah Purbaya ini sebagai fenomena ‘Purbayanomics’ yang merupakan antitesis dari makna ‘Serakahnomics’ yang disampaikan Presden Prabowo, untuk merubah arah politik hukum perlindungan konsumen yang berbasis pada ‘Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia’.
Namun, tampaknya langkah² Purbaya ini juga linier dengan dinamika ‘pergolakan’ perpolitikan nasional bahkan mungkin kontradiktif. Seperti diberitakan bahwa “Prabowo Akan Bayar Utang Whoosh Pakai Uang Negara yang Dikembalikan Koruptor” (Kompas.com, 4 November 2025, 20:33 WIB), sementara Purbaya menolak. Laah kok jadi begini…rakyat/konsumen kecewa… Dengan kata lain, ‘nawaitu’ dan langkah Purbaya untuk memberikan kontribusi ke negeri ini, jelas terganggu/diganggu baik dari dalam maupun dari luar. Masihkah ada fanomena “matahari kembar”, dan “cawe-cawenomics” serta sikap ambivalent atau blunder ? Apakah “Indonesia Gelap” masih berlangsung? ***
Penulis : Dr. Firman Turmantara Endipradja, SH., S.Sos., M.Hum dosen Politik Hukum Perlindungan Konsumen Pascasarjana Univ. Pasundan/Dewan Pakar Ekonomi Majelis Musyawarah Sunda (MMS)/Mantan Anggota BPKN RI (periode 2013-2016 & periode 2020-2023).





















