KUNINGAN (MASS) – Belakangan ini, muncul pandangan yang menyamakan kampus swasta dengan entitas dagang biasa, seolah-olah mahasiswa hanya berposisi sebagai konsumen. Bahkan, ada analogi yang menyebut bahwa lembaga pendidikan swasta seperti warung mie ayam ada yang harganya Rp12.000, ada yang Rp25.000, dan jika kita tidak mampu atau tidak setuju dengan harganya, tinggal cari tempat lain. Konsekuensinya, konsumen dianggap tidak berhak bertanya atau menuntut penjelasan. Namun, apakah benar dunia pendidikan bisa diperlakukan sesederhana itu?
Pandangan tersebut jelas menyesatkan jika kita menelaah kerangka hukum dan prinsip penyelenggaraan pendidikan di Indonesia. Pendidikan bukan sekadar komoditas pasar yang tunduk pada logika untung-rugi. Dalam Pasal 31 ayat (1) UUD 1945 ditegaskan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan, dan negara wajib menyelenggarakan sistem pendidikan nasional yang bermutu dan merata. Pendidikan adalah hak dasar rakyat, dan termasuk dalam kategori public service obligation (PSO), bukan private commodity. Maka, menyamakan penyelenggara pendidikan dengan penjual mie ayam sama saja dengan mereduksi pendidikan menjadi sekadar jual beli jasa, padahal realitas dan kerangka hukumnya jauh lebih kompleks.
Secara legal formal, memang benar bahwa sebagian besar universitas swasta berbentuk badan hukum privat, seperti yayasan atau perkumpulan. Hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, yang pada Pasal 64 ayat (2) menyebutkan bahwa perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan. Meski begitu, status sebagai badan hukum privat tidak berarti kebal dari kewajiban transparansi. Penyelenggaraan pendidikan tinggi adalah fungsi publik yang membawa tanggung jawab publik pula, terlepas dari siapa penyelenggaranya.
Pasal 51 ayat (2) UU Pendidikan Tinggi secara tegas menyebut bahwa pengelolaan pendidikan tinggi wajib menjamin prinsip akuntabilitas, transparansi, dan jaminan mutu. Artinya, universitas swasta sekalipun tetap memiliki kewajiban untuk membuka informasi kepada publik, khususnya mahasiswa, yang menjadi bagian dari civitas akademika dan turut serta membiayai operasional kampus. Mahasiswa tidak hanya konsumen, tetapi pemangku kepentingan langsung yang berhak mengetahui bagaimana dana mereka dikelola.
Sebagian pihak mungkin berdalih bahwa Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) hanya berlaku untuk badan publik, bukan untuk badan hukum privat seperti universitas swasta. Pandangan ini tidak sepenuhnya benar. Dalam Pasal 1 angka 3 UU KIP, badan publik diartikan secara luas mencakup lembaga negara, serta lembaga non-pemerintah sepanjang mereka menerima dana dari APBN/APBD atau menyelenggarakan fungsi pelayanan publik. Universitas swasta jelas menyelenggarakan fungsi pelayanan publik di bidang pendidikan. Bahkan banyak di antaranya menerima dana negara dalam bentuk beasiswa KIP Kuliah, hibah penelitian, hingga BOS.
Komisi Informasi (KI) Jawa Barat melalui Putusan Nomor 039/VIII/KI-JBR/PS/2016 telah menyatakan bahwa perguruan tinggi swasta yang menerima dana dari masyarakat dan/atau negara tetap dikategorikan sebagai badan publik fungsional. Artinya, meskipun berbentuk badan hukum privat, PTS tetap dapat dimintai keterbukaan informasi, terutama yang menyangkut penggunaan dana publik, seperti uang kuliah, dana pembangunan, dan kegiatan kemahasiswaan. Dalam putusannya, KI Jabar menegaskan bahwa pelayanan pendidikan tinggi oleh PTS memiliki unsur pelayanan publik dan keterlibatan dana masyarakat yang cukup kuat untuk menjadikan lembaga tersebut tunduk pada UU KIP, minimal sebagai badan publik terbatas.
Menolak permintaan transparansi dari mahasiswa hanya karena kampus bukan institusi negara adalah argumentasi yang keliru. Tidak ada satu pun regulasi di Indonesia yang menyatakan bahwa bentuk badan hukum privat membebaskan lembaga pendidikan dari prinsip akuntabilitas.
Sebaliknya, status sebagai penyelenggara fungsi publik justru mengikat semua lembaga pendidikan baik negeri maupun swasta untuk menjunjung tinggi prinsip transparansi sebagai bentuk tanggung jawab moral dan hukum.
Universitas swasta tetap dapat dimintai pertanggungjawaban atas kebijakan dan pengelolaan keuangannya. Bentuk badan hukum privat tidak menghilangkan fungsi publik yang mereka emban. Mahasiswa berhak untuk bertanya, meminta kejelasan, dan bahkan mengkritik kebijakan kampus yang dinilai tidak adil atau tidak transparan. Pendidikan bukanlah semangkuk mie ayam yang bisa dijual sesuka hati dan ditolak pertanyaannya.
Pendidikan adalah hak warga negara, dan siapa pun yang menyelenggarakannya harus tunduk pada prinsip-prinsip demokrasi, akuntabilitas, dan keterbukaan. Dunia akademik harusnya membuka ruang berpikir, bukan menutup diskusi dengan intimidasi atau otoritas jabatan.
Penulis: Andhika Ramadhan, Mahasiswa Hukum
