KUNINGAN (MASS) – Lantaran pilkada akan dihelat 2024 maka konstelasi politik masih sangat dinamis. Tiap partai masih leluasa dalam memanaskan “mesin”nya. Termasuk para bakal calon (balon) yang berniat untuk manggung di event “bergengsi” nanti dapat mengendorkan “keagresifannya”.
‘Kerja kerja kerja’ wajib jadi fokus utama, baik bagi mereka yang menempati posisi strategis di eksekutif maupun di legislatif. Sebab, kerja maksimal dapat membuahkan citra fenomenal yang kelak bisa “membegal” hati rakyat.
Krisis kepercayaan masyarakat terhadap para pemimpinnya mesti diobati oleh reorientasi. Mereka yang berniat akan manggung, sudah seharusnya mengorientasikan diri pada legitimasi, bukan hanya sekadar mengejar kemenangan pada pilkada nanti.
Sebab, legitimasi berarti mampu merebut dukungan mayoritas 50% plus 1. Lain hal dengan orientasi hanya sekadar kemenangan, 40% pun bisa menjadi bupati dan wakil bupati.
Nah, prediksi calon yang akan meramaikan bursa pilkada 2024 mendatang, muncul spekulasi bakal ada 3 sampai 4 paket pasangan calon. Ini dilihat dari estimasi kursi yang dimiliki tiap parpol seiring dengan banyaknya figur yang layak manggung.
Sebagaimana diketahui, syarat mengusung pasangan calon bupati dan wakil bupati itu minimal 10 kursi. Dari sekian banyak parpol yang eksis di Kuningan, tidak ada satupun yang memilikinya sehingga harus berkoalisi.
PDIP misalnya, hasil dari pemilu legislatif 2019 hanya mempunyai 9 kursi. Partai berlogo kepala banteng moncong putih ini wajib berkoalisi dengan parpol lain, minimal mampu menggenapkan jumlah kursi sebanyak 10. Di parlemen daerah, hanya 2 parpol yang memiliki 1 kursi yaitu Partai Nasdem dan PBB.
Gerindra, sekarang ini punya 7 kursi. Partai ini pun harus berkoalisi jika ingin mengusung pasangan calon. Jika di “atas” Gerindra “mesra” dengan PDIP, tidak menutup kemungkinan di bawah pun kedua partai tersebut akan bergandengan. Kalau itu terjadi maka jumlah kursinya menjadi 16.
PKB yang sekarang punya 6 kursi, senasib dengan PDIP dan Gerindra. Partai besutan Gus Ami ini pun mau tak mau harus berkoalisi. Apakah dengan Demokrat yang kini memiliki 5 kursi, Golkar yang juga 5 kursi, atau PAN yang sama-sama berkursi 5 dari sebelumnya 8 kursi.
Kalaupun mau berkoalisi dengan PPP, jumlah kursinya genap 10 sehingga bisa mengusung pasangan calon bupati dan wakil bupati. Namun, “kemesraan” yang cukup menonjol dimata publik, tokoh PKB kerap bersanding dengan tokoh PDIP yang kini menjabat wakil bupati.
Lantas bagaimana dengan PKS yang punya 7 kursi? Partai yang baru saja merubah warna logonya jadi orange ini belum tercium hendak berkoalisi dengan partai mana. Opsi koalisinya masih dinamis, mulai dari Demokrat, Golkar bahkan PPP. Bisa jadi, akan berkoalisi pula dengan PAN terlepas siapapun ketua baru yang akan memimpin partai berlambang matahari terbit tersebut.
Apabila terjadi koalisi seperti diuraikan di atas, maka terdapat beberapa parpol yang masih dapat mengusung pasangan calon. Demokrat, Golkar, PAN, PPP, PBB dan Nasdem, bisa berhimpun supaya genap 10 kursi meskipun salah satu atau beberapa partai berkoalisi dengan yang lain.
Seandainya ada 4 pasangan calon maka pertarungan bakal berjalan seru. Namun sebagian pihak menganggap akan lebih seru apabila head to head atau hanya 2 pasangan calon saja.
Gerindra: Pileg 2024 yang Jadi Acuan Pilkada
Ketua Partai Gerindra Kuningan, H Dede Ismail memiliki analisis sendiri kaitan dengan perhelatan pilkada nanti. Apabila pilkada digelar November 2024 maka secara otomatis pemilu legislatif akan dilaksanakan 7 bulan sebelumnya yakni April 2024.
Untuk itu, hasil pileg 2024 itulah yang menurutnya bakal dijadikan acuan pencalonan bupati dan wakil bupati di pilkada 2024. Kalau ternyata Gerindra kelak berhasil mengumpulkan 12 kursi, maka tidak perlu lagi berkoalisi dengan partai lain untuk bisa mengusung satu paket. Begitu juga jika PDIP atau parpol lain mampu meraih minimal 10 kursi.
“Partai peserta pemilu 2019 punya peluang yang sama-sama besar karena pileg 2024 digelar lebih dulu dari pilkada. Kalau seperti ini, kemungkinan besar bisa 4 pasangan calon,” tandasnya saat mengikuti kunker ke Tegal, Senin (22/2/2021).
Terlebih nanti tidak akan ada calon petahana. Sebab menurut Deis, H Acep Purnama yang sekarang menjabat bupati, harus melepaskan jabatannya 4 Desember 2023, menunggu pelaksanaan pilkada November 2024. Sekitar 11 bulan, Acep jadi warga biasa.
“Posisi incumbent gak ada. Jadi para balon lain punya peluang yang sama, karena semua berangkat dari nol,” kata Deis.
Ia meyakini ASN menentukan kebijakan meskipun dibelakang layar. Apabila tidak ada petahana yang berpeluang besar menggunakan mesin birokrasi, maka ASN lebih bebas bekerja tanpa adanya intervensi.
KPU : Jadwal Pilkada Belum Berubah, Masih November 2024
Sementara itu, kepastian pelaksanaan pilkada di Kuningan disampaikan Ketua KPU Kuningan, Asep Z Fauzi, baru-baru ini. Dia mengatakan, jadwal pemilihan kepala daerah serentak nasional sampai sekarang belum ada perubahan. Hal tersebut mengacu kepada ketentuan UU nomor 10 tahun 2016 tentang perubahan kedua atas UU nomor 1 tahun 2015 tentang penetapan Perppu nomor 1 tahun 2014 menjadi Undang-undang. Di dalam pasal 201 ayat (8) disebutkan bahwa pemungutan suara serentak nasional dalam pilkada dilaksanakan pada November 2024. Adapun Pemilu serentak digelar pada bulan April 2024 yang mencakup 5 surat suara, seperti tahun 2019.
Ketentuan di atas dinyatakan masih tetap berlaku, sebab belum ada norma baru yang merubahnya. Kalaupun muncul kabar adanya perubahan jadwal pilkada hal tersebut baru sebatas wacana karena hanya muncul di dalam draft RUU Pemilu pasal 731.
“Faktanya, belakangan pembahasan RUU Pemilu pun seperti tidak jelas kelanjutannya seiring berubahnya sikap mayoritas partai politik mengenai kemungkinan dilakukannya normalisasi keserentakan jadwal pilkada,” jelas Asfa, sapaan akrabnya.
Ketentuan pasal 201 UU nomor 10 tahun 2016 menyebutkan bahwa daerah yang menggelar pilkada pada tahun 2015 kembali menggelar pilkada pada September 2020. Hanya saja karena ada pandemi Covid-10 jadwalnya kemudian berubah menjadi desember 2020. Perubahan tersebut ditetapkan melalui UU nomor 6 tahun 2020 tentang penetapan Perppu nomor 2 tahun 2020 menjadi Undang-undang. Berdasarkan ketentuan pasal 201 ayat (7) masa jabatan kepala daerah dan wakil hasil pemilihan tahun 2020 berakhir pada tahun 2024.
Selain itu, di dalam pasal itu juga diatur mengenai ketentuan akhir jabatan kepala daerah hasil pilkada tahun 2017 dan 2018. Disebutkan bahwa kepala daerah dan wakil kepala daerah hasil pilkada 2017 jabatannya berakhir pada tahun 2022. Sedangkan kepala daerah dan wakil kepala daerah hasil pilkada 2018 jabatannya berakhir pada tahun 2023. Karena pilkada serentak nasional digelar pada November 2024 maka kekosongan jabatan tersebut diisi oleh seorang Penjabat (Pj).
Baca juga: https://kuninganmass.com/target-2024-pks-usung-calon-bupati-dan-kursi-2-kali-lipat/
Pj Gubernur berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya, sedangkan untuk Pj Bupati dan Pj Walikota berasal dari jabatan pimpinan tinggi pratama. Pj Gubernur ditetapkan oleh presiden dan Pj Bupati/Walikota ditetapkan oleh Mendagri atas usulan Gubernur. Baik Pj Gubernur maupun Pj Bupati/Walikota semuanya melaksanakan tugas sampai pelantikan Gubernur/Bupati/Walikota hasil pilkada serentak nasional November 2024.
Terdapat 101 daerah yang menggelar pilkada pada 2017, dengan rincian 7 provinsi, 18 kota dan 76 kabupaten. Sementara daerah yang menggelar pilkada pada 2018 sebanyak 171, dengan rincian 17 provinsi, 39 kota dan 115 kabupaten. Karena masa jabatannya harus berkahir pada 2022 dan 2023 maka total ada 272 daerah se-Indonesia yang akan diisi oleh Penjabat. Rinciannya adalah 24 Penjabat Gubernur, 57 Penjabat Walikota, dan 191 Penjabat Bupati termasuk di dalamnya Kabupaten Kuningan.
“Jika ketentuan pasal 201 ayat (8) UU nomor 10 tahun 2016 tidak ada perubahan, maka pada pilkada 2024 dipastikan di 272 daerah tersebut tidak ada calon kepala daerah yang berstatus petahana. Sebab meskipun masih memenuhi syarat menjadi calon namun mereka harus mengakhiri masa jabatannya jauh sebelum pilkada digelar. Potensi calon petahana hanya akan muncul dari daerah yang menggelar pilkada pada desember 2020,” pungkas Asfa.
F-Tekkad: Perlu Kerja Ekstra Saingi Acep Purnama
Jika Pilbup Kabupaten Kuningan diundur hingga November 2024 sebagai konsekwensi tidak dilanjutkannya pembahasan RUU Pemilu karena ditolak oleh Pemerintah (Eksekutif) tentu sangat berdampak terhadap konstelasi dan peluang yang nyaris sama kuat terhadap siapapun yang akan berkompetisi pada Pilbup Kab. Kuningan 2024. Ini diungkapkan Ketua F-Tekkad, Soejarwo.
Menurutnya, peluang H. Acep Purnama yang notabene berpredikat sebagai petahana pun, tentunya butuh energi khusus untuk dapat memenangkan pesta demokrasi tersebut jika hendak mencalonkan lagi. Saat kompetisi digelar, posisi H Acep Purnama sudah berstatus sebagai masyarakat biasa, karena sejak 4 Desember 2023 ia sudah mengakhiri masa kekuasaannya sebagai orang nomor 1 di lembaga Eksekutif Kab. Kuningan.
Walau demikian, Acep Purnama jika berhasil memanfaatkan secara optimal waktu yang tersisa dari sekarang dengan berhasil mewujudkan apa yang menjadi harapan masyarakat Kab. kuningan akan menjadi nilai lebih yang menjadi pembeda dari calon lainnya.
Kalaupun pada Pilbup 2024 nanti akan muncul lebih dari satu calon seperti yang banyak diprediksi, termasuk M. Ridho Suganda (Wabup) tetap harus bekerja ekstra keras untuk bisa “menyaingi” Acep Purnama (dengan asumsi duet Acep-Edo tidak satu paket lagi).
Begitu pula dengan nama lainnya yang saat ini memegang tampuk pimpinan sebagai ketua Parpol seperti H. Dede Ismail (Gerindra) H. Ujang K (PKB), H Toto Hartono (Demokrat), H Asep S M (Golkar) dan lainnya, membutuhkan strategi khusus untuk dapat mengalahkan Acep. (deden/agus)