KUNINGAN (MASS) – Mata tak berkedip. Terfokus begitu kuat pada daftar hadir siswa baru. Tepat pada urutan ke tujuh belas sebelum kusebut namanya, aku tengadah. Padangan langsung diarahkan secara saksama pada wajah-wajah siswa kelas tujuh baru itu.
Pada pengabsenan nama siswa deretan awal aku tidak terlalu memerhatikan nama dengan wajah anak-anak baru tersebut. Namun untuk satu nama ini aku harus tertegun cukup lama sambil terus menelisik tiap wajah anak-anak baru itu.
Nampaklah kini seraut wajah yang menyimpan garis-garis kemiripan yang tak asing bagiku.
Pada detik yang bersamaan pula tiba-tiba alam bawah sadar telah mengajakku kembali pada kurun waktu tiga belas tahun yang lalu. Pada sebuah kejadian yang tak mungkin aku lupakan sepanjang hayatku. Pada tetesan air mata seorang perempuan tua. Pada permintaannya yang tak dapat kukabulkan sebelumnya.
“Maaf Bu, tak mungkin aku memenuhi permintaanmu itu.”
“Tapi Nak, bukankan ini demi kebaikan semuanya,” katanya sangat penuh harap.
Dari sudut matanya kutangkap butiran jernih yang siap menetes.
“Aku paham, Bu. Namun untuk yang satu ini terus terang aku tak mampu memenuhinya.”
Tarikan napas yang begitu berat tersaji di hadapanku. Tarikan napas dengan beban yang tak bisa kuperhitungkan hanya mampu kubayangkan.
“Baiklah, kalau begitu, Nak. Namun Ibu tetap berharap kamu dapat memenuhi permintaan Ibu walau hanya untuk satu hari, sebagai bentuk penyelamatan.”
Aku hanya diam, saat dia berpamitan meninggalkan rumah dinas yang baru kutempati sebulan yang lalu. Pulang dengan penuh kelesuan. Langkah kakinya yang berbalut kain sinjang bercorak batik keris, begitu gontai.
Pikiranku pun terbawa kacau dengan kata penyelamatan tersebut. Kata yang telah menghantam nuraniku apakah harus menerima atau tetap menolak dengan segala cara.
Terus terang saja aku tak sanggup sebenarnya jika harus menerima permintaannya. Namun di sisi lain nurani mengajak seolah-olah aku harus menunjukkan sebuah tanggung jawab yang besar.
Pada posisiku yang seperti ini apa yang harus kuputuskan? Semua berselimut kabut, aku tak menemukan jalan keluar yang terbaik.
Pada perempuan tua itu memang aku sangat berhutang budi. Kebaikannya tak mungkin aku lupakan. Perempuan yang menerima aku saat harus bertugas di kampungnya. Surat Keputusan tentang pengangkatanku sebagai guru di daerah pinggiran yang mempertemukan aku dengan perempuan yang kuanggap sebagai orang tua juga.
Cukup lama aku bertugas di daerah pinggiran tersebut. Anak-anak didikku yang masih lugu dan sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kesantunan pada orang yang lebih tua, termasuk padaku yang menjadi guru mereka. Di lingkungan tempat aku tinggal, di rumah perempuan itu sebelum aku pindah ke rumah dinas, aku begitu dihormati.
Sebenarnya aku merasa senang menjadi guru di lingkungan dengan kondisi masyarakat yang masih begitu kental dengan kearifan lokal. Lingkungan yang masih terjaga dari tangan-tangan jahil. Lingkungan dengan udara segar saat dihirup. Mata yang senantiasa dimanjakan dengan rimbunnya pohon berdaun hijau. Lahan-lahan pertanian yang disentuh dengan cara tradisional. Semua terbalut dalam harmoni yang senantiasa menenangkan bagi siapa saja yang sempat singgah di sana.
Ya, di sana tigabelas tahun yang lalu telah kutitipkan sebuah nama pada perempuan yang sangat baik hatinya. Betul sebuah nama, yang hari ini kubaca dalam daftar absen. Perempuan yang mungkin tersakiti atau boleh jadi terobati oleh keputusanku, ternyata melaksanakan dengan sempurna amanat itu.
“Hanya sehari ya, Bu.”
“Ya, Nak Guru. Tak apa sehari juga yang penting semuanya selamat.”
Dan memang hanya sehari saja. Tak lebih. Entah apa maknanya aku pun tak tahu. Hanya satu harapanku saat pengambilan keputusan itu, terselamatkan.
Kutentukan dengan berat hati. Tanpa meminta pertimbangan atau saran dari yang lain, termasuk orang tuaku. Keputusan yang hanya sekedar menyelamatkan aib semata. Keputusan balas budi untuk perempuan yang telah sangat baik selama ini padaku.
Tetes air mata yang entah apa maknanya, dengan sentuhan tangan perempuan yang begitu menyayangiku masih terasa dipunggungku.
“Hari ini aku mohon diri, Bu. Aku pindah tugas.” Kataku pada kedua perempuan dihadapanku dengan berlinang air mata.
Sebagian hati kecilku sebenarnya tidak tega, namun bagian yang lainnya mengisyaratkan aku harus tega. Tugasku memenuhi permintaan perempuan itu telah dilaksanakan entah dengan dalih keikhlasan atau keterpaksaan.
“Berikan nama itu sebagai kenangan, ya Bu.”
“Baiklah, Nak. Terima kasih atas segala kebaikanmu. Ibu dan Neng tak akan melupakanmu,”
Sejak itu aku hanya sekali berkunjung ke daerah di mana aku pertama kali ditugaskan sebagai guru. Tujuan hanya ingin menengok dua perempuan yang pernah menjadi bagian dari hidupku selama aku bertugas di sana.
Namun ternyata kata tetangga sejak sepekan setelah aku pindah tugas, Neng dan Ibunya pun telah pindah pula. Kutanyakan alamatnya tak seorang pun mengetahui.
Selama itu pula aku kehilangan jejaknya.
Usaha pencarian aku lakukan, apalagi setelah aku ungkapkan pada ibu dan bapakku. Keduanya marah besar. Aku tak berani melawan. Diam adalah hal terbaik menurutku. Lagi pula aku sangat takut berdosa jika melawan kepada orang tua.
“Seharusnya kamu bicarakan dulu, jangan ambil keputusan seenaknya,” kata ibu saat selesai aku mengungkapkan semuanya.
“Kamu menganggap pernikahan adalah mainan, salah besar, Nak!” ayah menimpali, aku hanya mampu menunduk.
“Pernikahan adalah hal sakral, Danu. Ibu jadi malu, mengapa kamu bisa memutuskan seperti itu?”
“Ia bukan…”
“Darah dagingmu?”
“Iya Pak.”
“Sekalipun demikian kamu tetap salah. Tak boleh menceraikan seseorang yang resmi kamu nikahi saat sedang mengandung.” Bapak menjelaskan, sambil menepuk-nepuk pundakku.
“Pokoknya Ibu dan Bapak tak mau tahu, kamu harus bisa menemukan mereka!”
Perintah itulah yang membuat aku berusaha keras untuk mencari kedua perempuan yang telah menjadi bagian dari episode kehidupanku.
Namun ibarat mencari jarum ditumpukan jerami, aku tak mampu menemukannya. Aku prustasi. Hingga aku berikrar tak akan menikah sebelum menemukan mereka berdua.
Kesadaran itu muncul setelah bapak dan ibu menasehatiku. Setelah mereka tahu bahwa Neng mengalami kejadian yang tak diharapkan akibat laki-laki yang diburu hawa napsu. Neng menjadi korban dari kebiadaban tersebut hingga harus menanggung beban aib. Pantas saja kalau permintaan ibunya saat itu tak apa hanya sehari juga hanya untuk menyelamatkan.
Sementara aku juga punya ego bahwa yang ada dalam kandungan Neng bukan bagian dari hidupku. Aku lupa bahwa Neng mungkin menderita lebih dari itu. Maka hal yang wajar jika setelah aku tinggalkan, mereka pun memilih untuk tidak tinggal di kampung halamannya sebagai cara menghindar dari hujatan orang-orang sekitar.
“Mentari Jingga,”
“Hadir, Pak.”
Parasnya, suaranya, bentuk bola matanya, tak asing. Neng, pasti ibu dari anak ini. Absen kulanjutkan sampai daftar siswa terakhir.
Pelajaran hari ini kumulai dengan seorang anak yang ingin kuketahui latar belakangnya. Setitik cahaya pencarian telah nampak, tinggal menunggu waktu yang tepat untuk membongkar segala rahasia selama tiga belas tahun silam.
Tiba di akhir pelajaran kututup dengan salam, tak lupa pada siswa bernama Mentari Jingga kukatakan, “Bapak tunggu di ruang guru.”
Mentari Jingga duduk dengan kepala tertunduk. Nampak gelisah anak itu. Mungkin karena dia siswa baru jadi hal itu aku anggap wajar saja. Kini aku semakin yakin anak ini memiliki paras yang tak jauh dari paras ibunya. Aku masih hafal betul. Neng, perempuan malang yang kutinggalkan.
“Panggilanmu?”
“Mentari Pak,”
“Nama Ibumu?”
“Kata Nenek nama Ibuku Neng Sundari.”
Aku semakin yakin titik terang itu kini semakin memancar. Pencarian makin menemukan jalan. Tapi kenapa Mentari menyebutkan kata nenek. Apakah ia tidak tinggal bersama ibunya.
“Kenapa kata Nenek?” tanyaku.
Mata Mentari berkaca-kaca. Satu butiran bening dari mata kanannya terjatuh tepat di atas tas yang ia simpan di pangkuannya. Ada penasaran tingkat tinggi yang tiba-tiba memenuhi rongga pikirku.
“Kenapa Nak?”
“Ibuku telah meninggal saat melahirkan aku,”
Tangisnya tak dapat dibendung. Isaknya begitu mengharukan. Aku berdiri. Perlahan kudekati, tanganku dengan penuh kesadaran membelai kepalanya yang berkerudung putih, aku tak mampu membendung air mata yang membuncah. Betapa aku telah menyia-nyiakan perempuan-perempuan tak berdosa.
Semua perasaan sedih, haru, menyesal, berdosa saling berhimpitan. Mentari Jingga aku peluk dalam tangis yang tak henti. Perempuan-perempuan hebat itu, telah menyematkan nama pada anak ini sesuai amanatku. Air mataku semakin deras mengalir.***
Penulis : Giwangkara Sumirat (Guru SMPN 2 Japara)