KUNINGAN (MASS) – Lalu, siapakah Siti Hajar? Benarkah banyak kisah yang menyatakan bahwa ia adalah seorang budak hitam yang diberikan raja Mesir kepada Siti Sarah?. Di dalam beberapa riwayat Siti Hajar memiliki kharisma kecantikan yang memancar di wajahnya. Ia seorang wanita yang cerdas, beraklak mulia, dan bermental kuat. Dan pada riwayat lain diceritakan bahwa wanita yang dikatakan hamba sahaya itu ternyata tidak lain adalah putri raja Mesir.
Salomon bin Ishak dalam Targumnya (tafsir Al-Kitab Ibrani) telah menulis. Dalam tafsiran Targum itu, Salomon bin Ishak berpendapat bahwa Hagar (Siti Hajar) ialah puteri seorang Penguasa Mesir. Kemudian berdasarkan analisis Ustadz H. M. Nur Abdurrahman, Penguasa Mesir yang menjadi mertua Nabi Ibrahim, ialah Raja Salitis yang berasal dari Dinasti Hyksos.
Dalam sejarah, Dinasti Hyksos memiliki keyakinan Tauhid yang berasal dari Kaum ‘Ad pengikut Nabi Hud. Mereka berimigrasi dan mendirikan kerajaan-kerajaan di Babylonia dan juga di Kan’an, sebagian lain ke Mesir mendirikan Dinasti Hyksos setelah berhasil menundukkan penguasa setempat. Kisah itu menuturkan, betapa Allah memelihara ketinggian nasab Rasulullah Muhammad SAW (Rasulullah bernasab dari Nabi Ismail).
Ketakwaan, kemulian, ketangguhan dan kebesaran cinta seorang ibu bernama Siti Hajar tergambar dari kisah saat dia dan Ismail ditinggalkan oleh Nabi Ibrahim di tengah padang pasir yang tandus tak berpenduduk.
Kehadiran Ismail kecil memberikan kebahagian kepada Nabi Ibrahim AS. Kebahagiannya yang membuncah itu tidak dapat digambarkan dengan apapun yang ada di dunia ini. Namun sekali lagi, seseorang yang benar-benar Allah cintai, seperti Nabi Ibrahim yang bergelar Kholilullah (kekasih Allah) tidak akan Allah biarkan berlama-lama dalam kesenangan yang bisa jadi akan membuatnya lupa kepada Allah. Sehingga kembali Allah uji Nabi Ibrahim agar berpisah dengan istrinya, Siti Hajar beserta Ismail yang masih begitu imut.
Dikisahkan, bahwa salah satu penyebab Nabi Ibrahim mengajak istrinya Siti Hajar beserta Ismail ke Makkah yang pada saat itu berupa gurun padang pasir yang tandus tak berpenduduk adalah karena kecemburuan istri pertamanya Nabi Ibrahim, Siti Sarah. Karena semenjak lahir Ismail kecemburuan Siti Sarah kepada Siti Hajar bertambah-tambah. Bahkan puncaknya pernah Siti Sarah saking cemburunya bersumpah atas nama Allah untuk memotong bagian tubuh Siti Hajar. Setelah cemburu Siti Sarah reda, Siti Sarah menyadari bahwa itu sesuatu yang berlebihan. Namun karena terlanjur terucap oleh Siti Sarah, akhirnya Siti Sarah meminta kepada Nabi Ibrahim untuk melubangi telinga Siti Hajar.
Konon dari kisah tersebut Siti Hajar adalah wanita pertama yang ditindik dan memakai anting. Setelah Siti Hajar dianting ternyata menambah kecantikannya di mata Siti Sarah, kembali ia timbul rasa cemburu. Akhirnya untuk menyelesaikan permasalah tersebut Nabi Ibrahim terpaksa memisahkan keduanya dengan jarak lebih dari 1.000 kilometer, Palestina – Makkah.
Hanya saja yang paling penting kita ketahui, bahwasannya yang melatar belakangi Nabi Ibrahim mengajak Siti Hajar dan Ismail berhijrah ke Makkah adalah semata-mata bagian dari perintah Allah. Karena kelak Allah menginginkan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail membangun Makkah. Membangun baitullah, rumah Allah (Q.S Al-Baqoroh: 124-129). Sehingga dengan latar belakang perintah Allah pula Siti Hajar berlapang dada menerima keputusan Nabi Ibrahim yang meninggalkan dirinya dan anaknya di tengah gurun pasir.
“Apakah ini adalah perintah Allah?”, tanya Siti Hajar untuk yang ketiga kalinya kepada Nabi Ibrahim yang ketika itu terus beranjak pergi meninggalkanya. Sebelumnya Siti Hajar dengan hati sedih dan pilu bertanya kepada Nabi Ibrahim, “Kenapa engkau meninggalkan kami disini?”. Namun Nabi Ibrahim tak bergeming, bahkan menoleh pun tidak. Tentu sebetulnya Nabi Ibrahim pun tidak sanggup memberikan jawaban dan memperlihatkan air matanya yang sedang berderai di hadapan anak dan istrinya.
“Betul, ini perintah Allah.” Barulah pertanyaan ketiga Siti Hajar itu bisa dijawab oleh Nabi Ibrahim dengan singkat supaya tidak terlihat bahwa dia sedang bersedih dan tidak tega meninggalkan anak dan istrinya di tengah-tengah ketidak pastian. “Jika begitu, sungguh Allah tidak akan menyia-nyiakan kami.” Begitulah kata yang terucap dari mulut seorang istri yang salihah dengan penuh keyakinan dan keridhoan.
Nabi Ibrahim sudah tidak tampak dalam pandangan Siti Hajar, Nabi Ibrahim telah pergi meninggalkan Siti Hajar dan anaknya, kemudian Ismail kecil menangis kehausan. Siti Hajar kebingungan, ternyata tidak ada air untuk diminum barang untuk seteguk. Lalu pandangannya tertuju kepada sebuah bukit terlihat seperti ada Oase, segera Siti Hajar berlari-lari kecil menuju bukit yang kelak bernama Marwah tersebut. Oase tersebut ternyata hanya fatamorgana. Kembali pandangannya menoleh ke belakang ke bukit di mana semula Siti Hajar berada yaitu Shafa, terlihat lagi seperti ada Oase. Segera ia lari-lari kecil menghampiri. Ternyata Oase kembali hanya fatamorgana. Tanpa mengenal lelah dan menyerah, kembali Siti Hajar melakukannya hingga tujuh kali.
Jangankan sampai tujuh kali, baru satu sampai dua kali saja mungkin manusia seperti kita akan lantas berputus asa dari berusaha. Namun tidak dengan Siti Hajar. Sehingga wajar keberkahan dari hasil usaha ibunda Siti Hajar tersebut masih bisa kita nikmati sampai saat ini. Ialah air Zam-zam yang keluar dari tanah tempat tumit Ismail berpijak yang dapat kita nikmati khasiatnya sampai saat ini. Kemudian kasih seorang ibu dan usaha heroik yang dilakukannya pun kini dijadikan salah satu rukun haji yaitu Sa’i.
Merawat Cinta Antara Bapak dan Anak
Cinta Nabi Ibrahim kepada anak-anak bahkan cucu-cucunya tidak diragukan lagi. Bahkan cahaya cintanya tersebut Allah abadikan dalam sebuah ayat suci;
وَاِذِ ابْتَلٰٓى اِبْرٰهٖمَ رَبُّهٗ بِكَلِمٰتٍ فَاَتَمَّهُنَّ ۗ قَالَ اِنِّيْ جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ اِمَامًا ۗ قَالَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِيْ ۗ قَالَ لَا يَنَالُ عَهْدِى الظّٰلِمِيْنَ
_Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat, lalu dia melaksanakannya dengan sempurna. Dia (Allah) berfirman, *“Sesungguhnya Aku menjadikan engkau sebagai pemimpin bagi seluruh manusia.” Dia (Ibrahim) berkata, “Dan (juga) dari anak cucuku?”* Allah berfirman, “(Benar, tetapi) janji-Ku tidak berlaku bagi orang-orang zalim.”_ (Q.S Al-Baqoroh: 124)
Dari ayat diatas terang menjelaskan ketika Nabi Ibrahim diberikan penghargaan oleh Allah karena telah menyelesaikan semua perintah dan ujian dari Allah, kemudian Nabi Ibrahim meminta agar penghargaan tersebut juga dapat dirasakan oleh anak dan cucunya. Tentu ada cinta yang begitu besar di dalam permohonan Nabi Ibrahim tersebut. Ibarat seorang Bapak dari kalangan tentara kemudia akan diberi lencana penghargaan atas prestasinya, kemudian si Bapak tentara tersebut meminta kepada atasannya agar anak dan cucunya juga diberikan lencana perhargaan tersebut. Sungguh indah.
Bahkan jika kita kaji lagi di ayat selanjutnya, ada doa cinta Nabi Ibrahim untuk anak-cucunya bahkan penduduk negeri yang mungkin sampai detik hari ini pun kita dapat merasakan kenikmatan dari doa cinta Nabi Ibrahim tersebut. Yaitu dapat merasakan berbagai jenis buah-buahan saat musim haji meski di Makkah sendiri tidak ada kebun buah-buahan tersebut, melainkan di ekspor dari berbagai negara. Inilah bagian dari terkabulnya doa cinta Nabi Ibrahim (Q.S Al-Baqoroh: 126).
Lalu kemudian bagaimana cinta anak-anaknya kepada Nabi Ibrahim?. Jawabannya jelas cinta yang berkelas. Kita dapat melihatnya dari satu kisah yang begitu sangat mengesankan, yaitu kisah saat Nabi Ibrahim bermimpi diperintah untuk menyembelih anak kesayangannya, Ismail. Mari kita simak percakapan yang penuh dengan cinta yang Allah abadikan di dalam Al-Qur’an Surat As-Saffat ayat 102;
_Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya, (Ibrahim) berkata, “Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!”…_
Dari ayat tersebut tampak bahwa Nabi Ibrahim adalah seorang bapak yang tidak otoriter memaksakan kehendaknya, juga seorang bapak yang paham cara berkomunikasi dengan anaknya yang sudah beranjak dewasa yaitu dengan cara dimintai pendapat alias berdiskusi bukan intruksi.
_…Dia (Ismail) menjawab, “Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.”_
Jawaban seorang anak yang penuh dengan adab dan tatakrama luhur. Bisa dibayangkan, sejak kecil ditinggalkan oleh bapaknya, hidup hanya berdua dengan ibunya di tempat yang entah berantah penuh dengan ketidak pastian. Lalu setelah sekian lama bapaknya menghilang itu, tiba-tiba dia datang dan berkata, “aku diperintahkan untuk menyembelih kamu, bagaimana pendapatmu?”. Jika kita sebagai Ismail sudah pasti akan tercengang dan memberontak, “Setelah aku dan ibu dibuang, sekarang tiba-tiba ayah datang dan minta aku untuk disembelih. Ayah macam apa kau ini?”, kira-kira mungkin seperti itu jawaban kita.
Namun tidak dengan Ismail yang tumbuh dengan penuh hikmah dan pendidikan serta peran dari ibunya Siti Hajar-lah yang menjadikan ia mampu memahami ayahnya. Ia paham bahwa ayahnya begitu cinta kepada dirinya, ia paham bahwa perintah itu bukan untuk membunuh cinta ayahnya kepadanya, melainkan memusnahkan rasa kepemilikan ayahnya kepada Ismail atas Rabb mereka, dan ia paham bahwa ayahnya pun penuh dengan tekanan batin dalam melaksanakan perintah Allah tersebut, sehingga sungguh yang terlontar dari mulut Ismail adalah perkataan yang meneguhkan hati Nabi Ibrahim AS. sungguh kisah cinta yang berkelas, sehingga diabadikan menjadi sebuah syariat yang kita kenal dengan berkurban (‘idul adha) yang pahalanya pun begitu luar biasa.
dari Hisyam bin ‘Urwah dari Ayahnya dari Aisyah, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
_”Tidak ada amalan yang dikerjakan anak Adam ketika hari (raya) kurban yang lebih dicintai oleh Allah Azza Wa Jalla dari mengalirkan darah, sesungguhnya pada hari kiamat ia akan datang dengan tanduk-tanduknya, kuku-kukunya dan bulu-bulunya. Dan sesungguhnya darah tersebut akan sampai kepada Allah Azza Wa Jalla sebelum jatuh ke tanah, maka perbaguslah jiwa kalian dengannya.”_ (Hadits Sunan Ibnu Majah No. 3117 – Kitab Kurban)
Kisah cinta Dzulhijjah mengajarkan kita tentang hakikat cinta, yaitu cinta hanya karena Sang Pemberi cinta. Mencintai makhluk atas dasar cinta kepada Sang Khaliq. Karena hanya Dia Sang Pemberi dan Pemilik cinta. Maka semuanya akan menjadi hampa dan kecewa jika tidak didasari dengan cinta kepada-Nya.
_“Daging (hewan kurban) dan darahnya itu sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan kamu. Demi-kianlah Dia menundukkannya untuk-mu agar kamu mengagungkan Allah atas petunjuk yang Dia berikan kepadamu. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.”_ (Q.S Al-Hajj: 37)
Penulis: Ade Zezen MZ, S.Pd
(Guru Ponpes Al-Multazam)