KUNINGAN (MASS) – Ramadhan ini saya benar-benar banyak beraktivitas #dirumahaja. Mulai dari urusan pekerjaan, sekolah anak, hiburan, bahkan belanja, semuanya bisa dilakukan dari rumah.
Saking terbiasanya beraktivitas di rumah, beberapa hal yang biasanya dilakukan di luar kadang terlupa atau sengaja ditinggalkan.
Salah satunya potong rambut. Tapi punya rambut gondrong tidak enak juga. Apalagi saya berada di lingkungan pesantren yang biasanya tampil rapi dengan potongan rambut cepak untuk memberi teladan kepada para santri.
Akhirnya sore itu saya putuskan untuk potong rambut, tapi bukan ditempat langganan.
Saya memutuskan untuk cukur di tukang cukur terdekat. Kebetulan beberapa waktu yang lalu saat hendak menuju ke desa sebelah.
Saya melihat ada plang tukang cukur yang terllihat di jalan. Maka hari itu saya coba cari tukang cukur itu.
Letaknya ternyata tidak dipinggir jalan, melainkan saya harus masuk gang untuk menemukan rumah tukang cukur itu.
Ya, tukang cukur itu memanfaatkan emperan rumah yang ditata sedemikan rupa untuk tempat dia mencari nafkah.
Sepi. Saya tidak perlu ngantri, saya langsung dapat gilirian untuk potong rambut.
“Sudah lama jadi tukang cukur Pak?” saya coba melempar pertanyaan supaya tidak kaku.
“Baru sebulan”
Deg. Kata-kata itu langsung bikin saya khawatir..hehe. bagaimana tidak, biasanya saya memakai jasa tukang cukur berpengalaman yang sudah bertahun-tahun berprofesi sebagai tukang cukur.
Ini baru sebulan. Gimana nanti hasilnya…
Lebih dag dig dug lagi, saat tukang cukur ini membuka cerita bahwa dia baru keluar dari penjara satu bulan yang lalu.
Saya penasaran kira-kira kejahatan apa yang pernah beliau lakukan hingga akhirnya dipenjara. Setelah memikirkan kalimat yang pas, akhirnya terjawab juga bahwa beliau dulunya adalah bandar narkoba. Makin merinding saya..
Tapi saya tetap berusaha tenang, dan alhamdulillah tidak butuh lama untuk benar-benar bisa keluar dari tekanan atau rasa takut. Maka sepanjang waktu saya dipotong rambutnya, selama itu pula saya banyak mengobrol dengan tukang cukur itu.
Sebut saja namanya mang Dede. Mang Dede bahkan curhat dan sedikit bercerita tentang kondisi selama di Lembaga Pemasyarakatan.
Mang Dede berkeluh kesah tentang stigma negatif sebagaian masyarakat karena status dirinya sebagai mantan napi. Bukan hanya masyarakat, bahkan keluarganya pun banyak yang meninggalkannya.
Istrinya telah pergi sebulan sebelum beliau dibebaskan. Beliau punya 4 orang anak, tapi semuanya seperti ada yang menghalang-halangi saat beliau ingin bertemu.
Untungnya Mang Dede punya kakak yang masih peduli dan mau membantu kehidupan, termasuk mempersilahkan rumahnya dijadikan tempat potong rambut.
“Saya mah kalau sama orang yang baru kenal, saya sengaja buka kejelekan saya dulu. Biar tidak kaget ke depannya.
Saya itu ingin menjadi pribadi yang lebih baik. Dan menjadi tukang cukur ini adalah bukti kalau saya sudah mulai menjadi orang baik”, Kata-kata dari Mang Dede inilah yang membuat saya bersimpati.
Dan saya sangat yakin beliau telah berubah.
Mang Dede dua kali masuk ke hotel prodeo. Dua-duanya kasus narkoba.
Kasus yang terakhir memaksa beliau untuk meringkuk di sana selama 6 tahun. Keterampilan mencukur ini beliau dapatkan selama di sana.
Itulah yang membuat saya pada akhirnya yakin dengan kemampuan mencukurnya meskipun baru membuka praktek cukur dari satu bulan yang lalu.
Selain mencukur, beliau juga diajarin membuat kerajinan rotan, bola, dan keterampilan lainnya.
“Orang-orang mah suka pada protes kalau saya pakai gunting, sementara di meja ada mesin cukur. Padahal kan yang penting hasilnya” curhatan Mang Dede di sela waktu menggunting rambut saya.
Kalau saya tidak masalah dengan media yang beliau gunakan. Toh mesin kan hanya untuk membantu dan agar lebih cepat. Kalau pun dengan gunting hasilnya lebih bagus, kenapa tidak.
“Alhamdulillah puasa saya belum bolong Mas. Dan selama di dalem (tahanan) saya selalu puasa full.
” Saya makin simpati dengan beliau, seraya berdoa dalam hati semoga beliau senantiasa istiqomah dalam kebaikan
“Bapak bukan guru agama kan?” tanya Mang Dede di tengah-tengah aksi mencukurnya setelah tahu saya tinggal di pesantren.
“Bukan. Memangnya kenapa Mang?”
“Karena bukan guru agama, nanti gaya rambutnya saya bikin nyentrik sedikit.hehe”
“Wadhuh, tapi nanti saya nggak tahu istri saya suka atau enggak”
“Ya nanti kalau istri bapak gak suka, bilang aja ke saya. Nanti saya perbaiki lagi” Saya tahu mang Dede mengatakannya sambil tersenyum meski saya tidak melihatnya“Ya sudah. Lanjutkan Mang…”
Dan siang itu, rambut saya tidak gondrong lagi. Wajah pun seolah-olah berubah dengan penampilan rambut baru yang menawan. Namun hati saya masih sedih memikirkan nasib Mang Dede.
Sampai kapan stigma negatif itu akan berkesudahan? Sampai kapan ia akan kesulitan menemui anak-anaknya?
Sampai kapan jasa potong rambut miliknya sepi dari pelanggan? Bahkan sempat terlintas di benak pikiran apakah mungkin beliau akan kembali ke dunia hitam apabila kesulitan ekonomi menghimpit terus-terusan? Semoga tidak.
Tentu ini membutuhkan uluran dari tangan-tangan kita semua, sehingga beban terasa ringan. Sebab banyak Mang Dede-Mang Dede lain yang juga membutuhkan uluran tangan.***
Penulis : Edi Gunarto
Guru Al-Multazam