KUNINGAN (MASS) – Semua orang telah menikmati fenomena-fenomena yang sudah terjadi atau yang sedang terjadi di Negara Indonesia ini. Kesewenang-wenangan kaum oligarki terhadap pemberlakuan dan pengesahan peraturan tanpa legitimasi dari masyarakat kian terjadi. Hal tersebut menjadi tekanan bagi kaum sipil terhadap kebebasan mereka itu dibatasi dengan adanya keterikatan aturan yang diguna-guna dan membuat negara itu semakin kuat, seperti : RUUKUHP, Revisi UU KPK, UU tentang Pertanahan, UU ITE, dan lain-lain.
Pemberlakuan aturan itu bukan hanya sebuah aturan yang mengikat terhadap individu dan kelompok, tetapi melihat situasi dan kondisi ruang lingkup masyarakat. Pemerintahan itu sebagai representatif dari masyarakat.
Dari Presiden pertama, Bung karno sebagai sapaan akrabnya, Indonesia sudah menganut sistem demokrasi, baik itu demokrasi terpimpin dimana pemerintahan menjadi pemimpin akan kebijakan atau keputusan, demokrasi pancasila yang bersumber dari tata nilai sosial dan budaya bangsa Indonesia, hingga sampai era reformasi Indonesia masih menganut sistem demokrasi dengan praktik yang berbeda.
Pemaknaan demokrasi itu sebuah bentuk pemerintahan yang dipegang oleh rakyat dan dijalankan untuk kepentingan rakyat, serta rakyat mempunyai hak-hak yang tertuang dalam demokrasi, yaitu hak kebebasan berpendapat, berorganisasi, beragama, dan lain-lain. Namun pada kenyataannya pemaknaan itu tidak berlaku dimata kedaulatan negara.
Dengan kata lain masyarakat Indonesia tidak mendapat keamanaan dan kenyamanan yang seharusnya didapatinya. Negara yang baik belum tentu baik, lawan katanya itu tidak baik. Menurut G. Agamben, menilik hukum itu tidak menjamin keadaan normal atau tidak melindungi people (kelompok yang bertujuan untuk kesejahtraan), akan tetapi bisa berpotensi menyalahgunakan kelegitimasian aturan itu dengan kepentingan atau tidak melegitimasi supremasi people.
Kesejahtraan dan keyamanan masyarakat telah dikebiri oleh kedaulatan negara. Adanya situasi yang politik membuat kekuasaan dapat bertindak dengan segera dan mengabaikan asas keadilan. Contoh : perlakuan terhadap demonstran oleh polisi dalam aksi nasional (Indonesia Darurat Sipil). Adanya sikap represif negara dalam menyelesaikan kondisi sosial. Tidak adanya legitimasi kondisi keadaan genting dan darurat dalam negara, namun itu kedaulatan negara.
Demokrasi modern memungkinkan adanya situasi sosial politik yang belum pernah ada sebelumnya, memungkinkan melakukan praktik kekerasan yang belum pernah ada, memungkinkan adanya space of exeption (keadaan darurat) di ruang dan tempat yang beragam, memungkinkan kondisi state of exeption menjadi beragam dan memungkinkan memberlakukan manusia dimanapun berpotensi menjadi Homo Sacer (telanjang atau pencabutan hak-hak yang melekat pada seseorang).
Seperti kasus kekerasan terhadap penggusuran tanah, pengabaian negara soal kasus Hak Asasi Manusia (HAM), penelantaran negara soal kasus naiknya iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS), tidak hadirnya negara soal persekusi kelompok sosisal tertentu, dan lain-lain.***
Iif Abdul Rouf
Penulis adalah mahasiswa semester lima jurusan Bahasa dan Sastra Arab di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, penulis adalah salah satu pegiat diskusi KASRENG (Kajian Sore Mentereng), penulis juga menjadi bagian dari Ikatan Pemuda Pelajar dan Mahasiswa Kuningan Jadetabek, yang mana didalamnya mengelola bidang Pengembangan Sumber Daya Anggota.