KUNINGAN (MASS)- Kata-kata ini seringkali penulis dengar dari Abah (beliau adalah orang tua yang “dipikolot” di lingkungan sekitar rumahnya). Kata-kata yang simple tapi sarat makna. Seringkali beliau mengajukan pertanyaan ke tamu yang datang dengan tiga kata tersebut.
“Cing Abah rek nanya, ari didinya nyalonkeun kuwu teh kapaksa, dipaksa atawa maksakeun maneh?”. Dan ini membuat yang ditanya jadi bingung. Ada apa dengan tiga kata tersebut? Penulis coba sedikit menganalisa kandungan dari tiga kata tersebut.
Memang tak jarang ketika seseorang hendak mengambil sebuah keputusan (terutama terkait amanah kepemimpinan) berawal dari kondisi terpaksa, dipaksa, atau memaksakan diri. Penulis melihat ketiganya bukan dasar yang ideal untuk melatarbelakangi seseorang menjadi pemimpin. Mari kita analisa satu persatu.
Terpaksa, kondisi ini biasanya lahir pada saat tidak ada alternative pilihan lain sehingga secara terpaksa dengan kesadaran sendiri seseorang mengambil keputusan untuk katakanlah menyelamatkan organisasi, atau karena adanya ketentuan calon harus lebih dari satu (misal saat pendaftaran pilkades) atau alasan lainnya. Keterpaksaan ini lebih sering muncul dari pribadi yang bersangkutan.
Dipaksa, kondisi ini tidak jauh berbeda dari kondisi pertama. Hanya saja, kalau “dipaksa” ini seolah-olah dilihat dari sudut pandang di luar subjek. Artinya orang-orang di sekitar subjek yang berkehendak dan bersikukuh untuk mendorong seseorang mengambil keputusan sebagai pemimpin. Dalam hal ini, terlihat bahwa ada kepercayaan dari orang-orang sekitar untuk mendorong seseorang mengambil amanah ini.
Memaksakan diri, untuk kondisi ini sangat berbeda dengan dua kondisi di atas. Kondisi ini lahir dari obsesi tinggi seseorang untuk mencapai apa yang dia inginkan tanpa melihat kemampuan diri dan ada atau tidaknya dukungan dari sekelilingnya.
Dalam hal ini penulis menilai dari ketiga kondisi tersebut semuanya bukan kondisi ideal untuk melahirkan seorang pemimpin. Ketika kepemimpinan lahir dari kondisi tersebut bisa dipastikan (walaupun tidak 100%) kepemimpinananya tidak akan berjalan secara maksimal.
Terpaksa atau dipaksa membuat seorang pemimpin tidak akan bisa maksimal menjalankan roda kepemimpinannya, akan tetapi masih lebih baik karena masih adanya dukungan dari lingkunan di sekitarnya.
Yang paling parah adalah saat seorang pemimpin lahir dari kondisi “memaksakan diri”. Hampir bisa dipastikan berjalannya roda organisasi akan kacau balau dikarenakan bisa jadi tidak sesuai dengan kapabilitasnya ditambah lagi tidak adanya dukungan dari sekelilingnya. Wallahu’alam****
Penulis : Slamet Rianto
Warga Kuningan Timur