Oleh : El-huda
“Darahnya merah, sayang!”
Itulah ucapan terakhir dari Adam, kekasihku yang baru saja mati tiga minggu belakangan. Kata katanya masih terngiang ditelingaku. Berdengung-dengung memenuhi urat syaraf yang menyambungkan isi kepala. Semua kenangan tentangku dengannya masih terbayang jelas. Potongan kisah yang kami jalin berdua harus kandas. Adam, kekasihku yang lantang. Mati terbujur di rumah sakit daerah. Hasil visum mengatakan, luka akibat hantaman benda tumpul. Kekurangan darah, akibat luka di kepalanya yang memaksa mengucur merah. Itu adalah ulah tongkat tongkat pemukul milik aparat, brengsek !
Aku dan Adam adalah dua sejoli dari kampus yang berbeda. Kami bertemu dalam sebuah aksi kemanusiaan soal pengukuhan tanah adat di salah satu perkampungan terpencil di Jawa Barat. Saat itu, aku semester tiga, dan Adam semester lima. Kami tergabung dalam lingkar lindung adat yang digagas salahsatu NGO melalui petisinya yang berbedar luas di media sosial. Membentuk lingkaran gruf WA, saling komunikasi dan konsolidasi. Datanglah berbondong bondong mendirikan tenda bersama ratusan masyarakat adat lainnya. Masyarakat adat, tidak rela tanah leluhurnya dirampok negara. Masyarakat adat tidak rela, tanahnya ditanami beton dan semen.
Saat itulah pertama kalinya kami bertemu. Tidak ada yang spesial dari pertemuan pertamaku dengan Adam. Lelaki gondrong itu hanya lelaki biasa yang kumal. Dan aku adalah anak bawang yang baru ikut ikutan aksi atas intruksi senior. Hanya untuk belajar kepekaan pada masyarakat kecil.
Malam pertama kami menginap di tanah lapang. Tanah lapang milik masyarakat adat. Menyalakan api unggun. Saling berbagi informasi dengan masyarakat. Mereka mencurahkan seluruh keresahan yang sampai saat ini masih belum jelas kemana arahnya. Para pegiat, aktivis, dan mahasiswa lainnya hanya turut mendengarkan apa apa yang disampaikan para penduduk. Malam itu, suasana cukup hangat ketika melingkar disekitar api. Langit begitu cerah dengan sejuta bintang. Cerita penduduk begitu mengalir.Tapi sebenarnya, Aku bahkan belum mengerti, apa artinya masyarakat adat. Apa bedanya mereka dengan penduduk biasa. Bukannya sama sama dalam lindungan pemerintahan indonesia ? aku sungguh masih bodoh.
Hari kedua kami melakukan pendampingan di masyarakat adat yang tanahnya hendak digusur, barulah mulai terlihat jelas. Terlihat jelas topeng negara yang seharusnya melindungi seluruh penduduk di dalamnya, berubah menjadi penjajahan dan intimidasi yang kuat. Sore itu, datang segerombolan preman yang mencari cari kepala suku. Petantang petenteng membawa golok. Mereka berkisar 10 orang dengan pakaian serba hitam dan memakai iket di kepalanya. Iket yang sama juga dipakai oleh masyarakat adat. Bedanya, masyarakat adat yang kami dampingi berjuang mempertahankan mati matian. Sedang mereka, merebut mati matian. Kata penduduk, mereka adalah warga desa sekitar yang galak jika sudah dibayar. Sore itu, untungnya kami, para aktivis dan relawan jumlahnya lebih banyak dari mereka. Sekedar golok dan parang juga tersedia. Mereka tentu berhitung resiko. Pulang.
Kukira akan berhenti disana. Malam hari, tepat jam 10 malam. Baru saja para aktivis dan relawan memasuki tendanya masing masing. Tiba tiba seorang wanita berteriak histeris dari tendanya. Kami berbondong bondong mengerbuni tenda tersebut. Dan tergeletaklah sebuah benda dalam tasnya yang sudah terbuka, berbentuk bulat dengan sebuah pemantik diujungnya. Tidak salah lagi, itu adalah sebuah granat yang belum aktif.
Tiba tiba sebuah pasukan militer sudah mengelilingi kami. Ada sekitar 50 orang terlatih. Berbadan kekar, dan berseragam loreng. Menyusul sekelompok orang berbaju dan celana cokelat, dilapis dengan jaket hitam. Hanya ada 10 orang dengan salah satu pemimpinnya. Dan aku yakin, itu adalah aparat lainnya, dari institusi polisi.
“Jangan Melawan ! Kalian akan diperiksa terkait membawa alat peledak tanpa ijin,” kata seorang bercelana cokelat dengansepatu pentopel hitam. Dia bersiaga. Pistol sudah ditangan. Para aktivis yang hanya 25 orang ini terbujur kaku. Kami tahu, akan ada salah satu dari kami yang jadi kambing hitam. Akan digelandang ke markas mereka.
Tapi masyarakat tidak tinggal diam. Mendengar keributan yang sednag terjadi mereka berbondong bondong keluar rumah. Melingkari lingkaran yang sudah menegpung para relawan. Membawa obor minyak yang sudah menyala. Membawa serta anak dan istri. Semua seperti siap melaksanakan perang padri. Suasana mencekam.
Kulihat pasukan mulai gentar. Para relawan sudah naik kembali semangatnya. Beberapa diantara kami sudah mulai meracau. Berteriak teriak. Salahsatunya adalah Adam. Dia bilang bahwa tidak ada satupun dari para relawan yang mungkin membawa senjata.
“Kami dijebak !” ujarnya.
“Tidak ada akses sedikitpun bagi kami untuk memiliki alat peledak mahal” ujar yang lainnya.
Suasana mulai memanas. Adu mulut mulai terjadi antara para relawan dan aparat. Masyarakat masih terdiam menonton dagelan yang mengerikan. Aku memang sempat ketakutan. Tapi tak lagi kuhiraukan gemetar yang sudah sejak tadi menghantam. Aku ikut berteriak teriak juga akhirnya.
Aparat melepaskan tembakan ke langit langit kosong yang bersih dari awan. Suasana tambah mencekam saja. Tapi seorang relawan tua akhirnya mengalah. Maju bernegosiasi dengan aparat. Akhirnya diputuskan bahwa pemilik tas harus ikut dibawa ke kantor polisi. Relawan lain tak terima. Mengamuk dan terus menyembunyikan santi, pemilik tas yang tadi berteriak. Aparat merangsak dan menerobos lingkaran yang sudah di bentuk. Salahsatu dari kami tidak sabar. Memaki maki aparat dengan kebun binatang.
“Assu.. “
Aparat mulai tak terima. Meski terus ditahan tahan oleh senior kami yang masih bernegosiasi. Akhirnya pecah juga keributan. Kami melempari mereka. Mereka dengan mudahnya menghalau. Mementung kami satu persatu. Lelaki dan wanita. Disitulah adam tiba tiba merundung, melindungi aku yang sudah jongkok. Membiarkan pentungan menimpa dirinya. Disitulah untuk pertama kalinya aku merasakan aman. Merasa terlindungi. Mungkin memang bukan maksud Adam membuatku merasa dilindungi. Dia mungkin hanya peduli pada temannya, seorang wanita pula. Mungkin hanya seperti itu.
Kejadian malam itu mereda dengan cepat. Setelah baru beberapa saja dari kami dipentungi beberapa oknum yang sama tidak sabarannya, komandan mereka cepat menarik komando. Dan Santi tetap harus ikut ke markas. Relawan tua itu meminta dua orang untuk pergi mendampingi Santi, tentu beserta dirinya. Dia titipkan pula pada relawan senior lainnya untuk terus berjaga. Dan selalu memeriksa barang barang pribadi.
Disanalah benih benih cintaku dan Adam terjalin. Selepas kejadian itu aku merawat adam layaknya seorang kekasih yang sudah lama saling kenal. Aku mengobati memar memarnya di punggung dan leher. Tak peduli lagi dia bertelanjang dada. Harus aku yang mengobatinya. Aku berhutang padanya.
Kami menginap di masyarakat adat selama satu minggu. Beberapa relawan terus berdatangan. Jalur hukum juga sedang coba ditempuh. Disela sela perjuangan, kami tak kehilangan khidupan. Sesama relawan tetap berkomunikasi dan menghabiskan malam dengan senda gura. Sekedar untuk bergantian berjaga. Dan saat itu, aku dan Adam juga semakin akrab.
Selepas aksi disana, kami kembali pada rutinitas masing masing. Mengecewakan memang, sebagian tanah tetap menjadi milik negara. Diambil alih perhutani untuk konservasi. Sebagian dilimpahkan untuk masyarakat. Tapi tak apa, setidaknya rencana penanaman betol tertunda. Meski tidak tahu untuk berapa lama.
Selang waktu, kami banyak terlibat dalam aksi aksi kemanusiaan lainnya. Aku dan Adam jadi sering bertemu. Pun dilain waktu kegiatan. Kadang Adam sengaja ke kampusku. Kadang aku yang dibawanya. Kemana saja, asal dengannya.
Hari demi hari terlewati. Siapa tak akan luluh dengan pandang matanya yang teduh. Senyumnya adalah kunci senyumku juga. Puisinya selalu mengagungkanku. Tak ada wanita yang tak suka dipuji bukan. Dan begitulah akhirnya aku jatuh dalam pelukannya setiap malam minggu. Malam yang kukhususkan untuk Adam. Dimana saja, asalkan berdua dengannya. Kadang sampai larut malam. Tak masalah.
Sesekali Adam memang usil. Mengobrol dengannya, selalu saja dia mencuri pipiku dengan bibirnya. Wajahku merah padam. Malu. Kadang tangannya mengusap rambutku seperti anak kecil. Tapi itu semua selalu berkesan mendalam. Berbekas dalam hatiku yang terdalam.
Satu hal yang sangat kuingat dari Adam. Meski tentu semuanya tentang Adam memang tak pernah kulupa.Pertama kalinya dalam hidupku, bibirku beradu dengan seorang lelaki. Kau cumbu bibirku malam itu, Adam. Lamat-lamat dan perlahan. Membuat semua perasaanku melayang tak karuan. Ciuman pertamaku dalam hidup. Malam itu, ditengah berputarnya sebuah movie. Bangku bioskop paling belakang. Kau yang mencuriya, Adam. Bertanggung-jawablah hingga tua. Teruslah bersamaku. Jangan tinggalkan aku sendiri seperti ini, Egois.
Malam itu adalah movie terakhir yang kami tonton bersama. Kami sudah sepakat, mulai minggu pagi, kami akan berbaur dengan kawan kawan lain. Saling berkoordinasi, dan melakukan aksi besar besaran. Kami ingin menggagalkan sebuah transaksi daerah. Kabarnya, gunung aktif yang ada di kota K, akan dijual pada swasta luar negri, serta transaksi penggalian batu bara, yang disinyalir, ijinnya dipaksakan, serta ganti rugi pada lebih dari 1500 keluarga, belum kelar. Ini kan pembunuhan perlahan.
Hari minggu, aku, Adam, dan kawan kawan yang lain sudah berkumpul di depan gedung pendopo bupati. Kami melakukan orasi dan longmarch. Semuanya masih berjalan aman. Tiga hari berturut turut, kami saling berganti unjuk rasa di depan pendopo. tentu saja aksi seperti ini kalo hanya beberapa jam tidak akan menjadi headline di media. Makanya, tiga hari adalah pilihan paling masuk akal untuk cari perhatian. Untuk mencari dukungan. Semoga saja media massa tidak bungkam.
Hari pertama aksi ini berjalan lancar. Semua relawan tertib. Dari jam sepuluh pagi hingga jam enam sore. Tidak ada keributan. Beberapa aparat malah saling lempar botol minuman dengan pendemo. Berbagi air dan makanan. Benar benar aksi yang damai. Tidak ada aksi berlebihan. Tapi juga tidak ada juga tanggapan.
Hari kedua aksi berjalan kurang mulus. Beberapa penyusupan terjadi di sore hari. Membuat sedikit kericuhan disana-sini. Membuat aparat bertindak galak. Menyemburkan water canon. Aksi dipukul mundur. Entah siapa yang menyusup. Tiba tiba saja memprovokasi peserta dan polisi. entah ini memang spontan, atau malah sdah direncanakan agar tuntutan kami tidak dikabulkan karena bergerak atas kekerasan.
Hari ketiga, gelombang aksi hampir saja dilarang. Tapi massa terus bergerak, merangsak. Semua terus melakukan aksinya ke gedung pendopo. kali ini penjagaan lebih ketat. Suasanapun lebih memanas.Mungkin provokasi kemarin sore membuat mereka waspada. Membuat mereka garang. Tak ayal lagi peserta aksi pun memanas. Darah muda kami mendidih. Tak terima diteriaki aparat dan disemproti water canon. Pecahlah suasana hari itu. Beberapa peserta aksi diburu dan dipukuli oknum aparat. Beberapa dari kami juga tak kalah ganas. Satu dua aparat juga sudah menggelepar. Kami terbawa suasana.
Peserta aksi akhirnya membubarkan diri. Beberapa dari kami sudah tergeletak di jalanan dan terpaksa diangkut satu persatu oleh teman temannya terdekat. Aparat juga sama. Tapi tentu saja mereka sedikit. Lukanya pun tidak berat. Mereka terlatih, peralatan dan perlindunganya lengkap. Tapi malam itu aku lupa sesuatu. Dimana Adam sejak tadi. Biasanya kan selalu dekat denganku ?
Hari ini adalah pengadilan terbuka atas aksi kerusuhan yang tadi kuceritakan diatas. Aku adalah salah satu saksi yang dihadirkan di persidangan. Banyak sekali pasal yang dibahas. Dari mulai tindakan makar, dan kerusuhan, yang dituturkan aparat sebagai kejadian mendesak, sampai penuntasan HAM sebagai serangan balik peserta aksi. Aku masih ditanyai sebagai saksi dari peserta. Ditanyai tentang ketahuanku soal kerusuhan di hari terakhir aksi tersebut.
“Merah pak, warnanya merah,” ucapku sambil terisak.
Hakim dan jaksa, serta semua yang hadir seperti terheran heran. Kenapa aku malah berkata soal warna. Kenapa jalannya persidangan, yang keluar dari mulutku adalah warna. Bukan tanpa alasan. Itulah pertama kali yang selalu kuingat dari kejadian aksi satu bulan lalu. Hari dimana Adam, kekasihku ikut menjadi korban.
“Maksudnya ?” Hakim menyelidik.
Bibirku tak mampu bergerak lagi. Derai air mata membasahi kedua pipiku yang kemerah merahan. Kutahan segala kesedihan yang meledak ledak dalam hatiku. Kucoba tutup mataku dengan erat. Mencoba melupakan kesedihan tentang Adam, agar aku bisa bersaksi. Tapi aku tetap kelu. Lidahku tak bisa bergerak.
Di kejadian aksi waktu itu, aku terus mencari Adam. Tak lagi aku peduli pada sisa sisa gas air mata yang masih mengambang. Aku terus telusuri jalan demi jalan yang berkabut. Kan Adam juga pernah melindungiku. Bukankah sekarang bagianku mencarinya ? pikirku.
Disanalah kudapati 5 orang aparat keamanan sedang menggebuki dua orang peserta aksi. Tak jelas siapa yang sedang dihajar sepuasnya itu. Aku melihatnya dengan jelas. Tak sempat merekam. Aku kepalang takut dan terus mematung melihat kejadian itu.
Beberapa peserta aksi yang lain ada juga yang melihatnya. Mereka berteriak pada para aparat untuk berhenti. Tapi tak kunjung juga. Lima belas menit kemudian barulah semua bubar. Aku dekati dua orang yang terkapar bekas dihajar itu. Darahnya mengalir dari kepala, menutup seluruh wajah.
Kudekati kedua korbannya. Mereka tergeletak bersampingan. Peserta aksi lain juga berdatangan. Kudekati salah satu dari mereka. Kudengar suara nafasnya masih ada. Baju dan celananya sangat familiar. Kuusap wajahnya dengan baju yang kupakai. Ya Allah, Adam.
Aku berteriak tak karu-karuan. Nama Adam kusebut dengan teriakan yang panjang. Kutumpahkan juga sumpah serapah kebun binatang yang tak pernah kuucap sebelumnya. Tapi ini soal Adam. Kekasihku. Babak belur dihajar aparat. Sial, aku tak segera sadar sejak tadi. Aku kalah oleh ketakutan itu sendiri.
Aku masih menangi sejadi-jadinya. Air mata keluar dengan deras dan jatuh pada wajah Adam yang terkulai dipangkuanku. Korban lain sudah dievakuasi. Para peserta lain seperti sengaja memberiku moment untuk meraung disamping Adam.
Adam membuka matanya, aku masih terisak. Dia menatapku dengan sendu. Terbatuk batuk. Dan segera kupintai pertolongan peserta lain untuk menggendongnya. Membawanya ke rumah sakit terdekat.
Kejadian itulah yang akhirnya terekspos di media nasional. Terutama setelah kericuhan itu tersebar di media sosial. Kekuatan zaman 4.0 memang luar biasa. terekam jelas kekerasan yang dilakukan aparat pada peserta aksi. Aku tidak tahu juga siapa yang masih sempat selfie selfie, dan bikin instastory di keadaan genting seperti itu. Tapi setidaknya itu membantu.
——-
Aku masih dalam persidangan. Tubuhku masih berdiri kaku. Tapi lidahku kelu. Bagaimana tidak. Aku masih ingat diperjalanan menuju rumah sakit. Aku sendiri yang ikut meungguinya di dalam mobil. Dia mencoba tesenyum dan sesekali seperti ingin berkata. Tapi lidahnya berat. Kudekatkan tubuhku padanya. Taku satu atau dua kata tak terdengar. Ku dekatkan kupingku dari mulutnya. Pelan pelan dia berkata sesuatu. terdengar sayup sayup tapi kumengerti.
“Tanganmu yang usap wajahku, sayang ?” ucapnya. Aku mengangguk.
Tak ada ucap lain yang terus keluar dari mulutnya. Mungkin juga seperti aku dalam pengadilan ini. Semua serba berat. Tak mampu lagi berucap. Hanya satu kalimat yang dia ucap sebelum tidur damai untuk selamanya. Di mobil menuju rumah sakit, dia berbisik padaku satu kalimat. Kalimat yang sekarang kuucapkan juga di pengadilan.
“(Darah) warnanya merah, sayang,”