MEMPERINGATI, MENEGUHKAN DAN MERAYAKAN
“KUNINGAN”
Strategi dan Siyasat Transformasi Tradisi menuju Baladil Amin
Sambutan Sidang Paripurna DPRD Kabupaten Kuningan
pada Hari Jadi Kabupaten Kuningan
oleh :
Rana Suparman
(Ketua DPRD Kuningan)
Bismillahirrohmaniirohim,
Assalamu,alaikum Wr. Wb
Sampurasun,
Merdeka..!!
Puji serta syukur terpanjat kehadirat Alloh SWT. Tuhan semesta Alam. Atas segala limpahan Rahmat dan karunia-Nya kepada Kita sekalian Penduduk Kabupaten Kuningan. Sholawat juga salam semoga terlimpah curah kepada Panutan Alam, sebaik baik Ciptaan, Penunjuk jalan Kebenaran, Saidana wa maulana Muhammad SAW. Kepada para keluarga, sahabat dan pengikutnya juga kepada Kita sekalian umatnya.
Doa Pengampunan dan curahan Rahmat-Nya Kita sampaikan, untuk Arwah para Leluhur yang telah mencurahkan segala Budi-Pekerti dan Baktinya kepada Tanah Air dan Penduduk Kuningan ini. Dan semoga Kita, para penerusnya hari ini dan incu putu bumi Kuninganyang akan datang, diberi kemampuan untuk selalu mengenang, menjaga dan memelihara warisan-warisan kebaikandari para Leluhur dan pendahulu. Amin.
Pada kesempatan berbahagia yang terasa sakral dan eksistensial bagi Kita ini. Saya berdiri di sini sebagai Ketua DPRD Kabupaten Kuningan menyampaikan kepada seluruh Penduduk Kabupaten Kuningan selamat memperingati Hari Jadi Kabupaten Kuningan yang ke-520, semoga dengan usianya yang lima abad ini Kabupaten Kuningan lebih Mandiri, Agamis dan Sejahtera.
Dalam suasana ini juga saya sebagai Ketua DPRD, menghimbau dan mengajak kepada seluruh pemangku kepentingan dan kepedulian baik di Pemerintahan, Pegiat Komunitas dan Civil Socety dan seluruh masyarakat Kuningan umumnya, untuk menjadikan peringatan hari jadi ini sebagai momentum untuk muhasabah atau refleksi yang mendalam dan radikal akan keberadaan Kita sebagai diri yang besar, yang disebut Kuningan ini. Muhasabah atau refleksi ini merupakan cara sangat penting untuk menjaga kesadaran dan kewaspadaan Kita ditengah saling silang pengaruh nilai dan kekuatan wacana ideology yang sudah campuh yang datang dari kebudayaan lain baik pada tingkat Global, Nasional, Regional maupun Lokal.
Pada kesempatan yang singkat ini pula, ijinkan Saya secara nonformal kultural sebagai Bapak dari Penduduk dan Incuputu Kuningan, menyampaikan Muhasabah Kebudayaan Kuningan, dengan membawakan tema:
MEMPERINGATI, MENEGUHKAN DAN MERAYAKAN KUNINGAN ;
Sebuah tema yang saya coba jelaskan duduk perkaranya nanti, sebagai refleksi, tafsiran dan tawaran gagasan untuk pendalaman pemahaman, pemaknaan keberadaan kita hari ini, dimana pendalaman pemaknaan ini penting sebagai jiwa dan tenaga kita mengadapi tantangan kebudayaan Zaman now dengan tindakan-tindakan Strategis dan berdayaguna. Tindakan Strategis yang dilahirkan dari pemaknaan ini suatu saat akan menjadi tanda dan tapak bagi incuputu Kita di masa yang akan datang dalam merespon keadaan Zamannya nanti.
Dan refleksi ini, meskipun dengan cara baca dan tafsir yang berbeda sesungguhnyatidak bertolak belakang dengan visi dan misi Kabupaten Kuningan yang telah Kita buat, bahkan rasanya akan memperkaya dan menguatkan visi misi tersebut. Disini Saya tidak menggunakan data kuantitatif, saya lebih mengajak pada pemahamn dan pemaknaan, oleh karenanya lebih pada abstraksi dan kualitatif. Di dalam metodologi Ilmu Sosialpun dikenal istilah Erklaren dan Verstehen. Erklaren lebih pada menjelaskan kaitan-kaitan dan sebab akibat dari fenomena.Fisika, Matematika dan Statistic bermain disini. Kalau Verstehen lebih kepada pemaknaan-pemaknaan akan fenomena. Nilai-nilai, Ajen-kinajen dan Metafisika, maka hal ini Saya pada usaha Versteh.
Baiklah, dan mohon ijin, Saya berusaha melatakan duduk perkara dari tema tersebut di atas, bahwa:
- Muhasabah ini pada moment yang sangat tepat, dimana kita semua terkondisikan lebih termotivasi dan lebih terbuka untuk memaknai kembali apa arti keberadaan kita, diri dan rumah kita, Kuningan ini. Tapi Saya tegaskan pemaknaan Diri Kuningan ini dalam batas horizon Diri Sunda-Islam dan Diri Nusantara-Indonesia sebagai Rumah Besar Kita.
- Siapa Kita? Kita adalah diri besar yang disebut Kuningan. Dengan proses MENG-INGAT akan asal kejadian Kita yang suci dan fitri, Kita menjadi sadar dan terlahir kembali. Setelah sadar dan terlahir kembali Kita MENEGUHKAN untuk menjadi Subjek aktif dalam menggelarkan PERAYAAN. Yaitu melaksanakan peran-peran merayakan, merahayukan dan memakmurkan kehidupan ini di Zaman now. Menuju sebuah keadaan kehidupan yang Bathinnya damai dan bahagia, Lahirnya sejahtera, diatas landasan Lemah Cai yang Pancer dan Tetenggernya Gunung Ciremai. Itulah tujuan BALADIL AMIN.
- MEMPERINGATI adalah kembali kepada asal usul masa lalu yang Agung, luhur dan suci, yaituTRADISI. MENEGUHKAN adalah terlahir kembali sebagai Subjek yang menTransformasikan kekuatan Tradisi pada kehidupan kekinian. Dan MERAYAKAN adalah menggelar peran-peran untuk Merahayukan dan Memakmurkan menuju keadaan BALADIL AMIN.
- Untuk MEMPERINGATI, MENEGUHKAN DAN MERAYAKAN menuju BALADIL AMIN itu diperlukan Strategi dan Siyasat-Siyasat transformatif.
- Kerangka umum Strategi dan Siyasat transformatif itu adalah sebagai berikut :
- MEMPERINGATI adalah Laku Agama dan Budaya, dengan Peran Agamawan dan Budayawan di ruang Civil Society dengan rancangan nilai-nilai etik Solidaritas, Gotong-Royong, Silih asah, asih, asuh dan nilai estetika seni
- MENEGUHKAN adalah laku Politik, dengan peran para Politisi di Ruang Legislatif yang merancang Peraturan Perundangan dan Kebijakan Anggaran.
- MERAYAKAN adalah laku Teknokratis dengan para Akademisi Teknokrat dan Pengusaha di ruang Eksekutif dengan program-pogram pembangunan, ketertiban dan keamanan.Dan runag Bisnis dengan program ekonomi di berbagai sector ekonomi.
Sekarang ijinkan sejenak secara singkat saya mengurai peta duduk perkara tersebut di atas:
Spirit Hari Kejadian atau Kelahiran adalah spirit tentang Keaslian, Kesucian atau Kefitrahan. Tak akan ada makna apa apa di Hari Kelahiran tanpa kembali mengingat akan Kesucian dan Kefitrahan. Inilah maksud kata “Memperingati” pada Tema di atas. Memperingati itu kata dasarnya ingat. Yaitu adanya usaha mengingat. Tentunya mengingat soal Keaslian, Kesucian, Keluhuran dan Kefitrahan, yang hanya dengan itu Kita dilahirkan atau dijadikan tergelar dalam aliran sejarah keManusiaan.
Sebagai contoh, dalam tiga bulan terakhir ini Kita diajak untuk memeperingati tiga persitiwa besar di Negeri tercinta ini, yaitu Idul Fitri, Kemerdekaan Indonesia dan Idul Adha. Kesemuanya itu mengajak Kita mengingat kembali keaslian, kesucian, keluhuran dan kefitrahan sebagai asal usul Sejati Kita, yang mungkin saja telah terlupakan karena tercemar oleh pengaruh-pengaruh luar.
Idul fitri, adalah kelahiran Kefitrahan diri Kita, setelah Kita melakukan proses katarsis, yaitu pembersihan jiwa dan raga dari anasir-anasir nafsu rendahan, pengisian dan penghiasan jiwa dan raga dengan kebaikan dan kegunaan, melaui ibadah-ibadah di Bulan Suci Ramadhan.
Kemerdekaan Indonesia, dimana Kita terlahir sebagai Bangsa yang merdeka dari belenggu Penjajahan Bangsa Asing, setelah ratusan tahun menebusnya dengan pengorbanan tenaga, harta bahkan nyawa para Pahlawan. Kelahiran Kemerdekaan ini membawa tekad dan Budhi suci yaitu menggelarkan Rahmat Alloh SWT dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk mewujudkan Perdamain, Keadilan dan Kesejahteraan bagi seluruh Tumpah Darah Indonesia, sebagaimana yang termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Kita.
Idul Adha, dimana terlahirnya kembali Ruhani yang suci setelah Kita mampu mengorbankan hasrat dan sifat kehewanan diri Kita, maka terlahirlah Manusia haji yang Mabrur, yaitu diri yang senantiasa menjaga kesucian ruhani dan melakukan kebaikan.
Demikianlah tentang peristiwa kejadian atau kelahiran. Akan halnya dengan hari jadi Kuningan ini, maka tugas Kita adalah menelusuri kembali hal-hal Keaslian, Kesucian, Keluhuran, Kefitrahan dan Visi Visi Agung dari dijadikannya Kuningan ini. Semua ini ada di masa lalu Kita yang baik. Itulah Tradisi. Dan itulah maksud kata Tradisi dari tema di atas.
Tradisi adalah hal ihwal dari masa lalu Kita, yang itu tercermin dalam Pranata-Pranata Sosial, baik bendawi, seperti artefak-artefak, ataupun tak bendawi, seperti system pengetahuan atau kearifan, adab-adaban dan adat istiadat, dimana hal-hal itu masih hadir disini dan mempengaruhi Kita hari ini, baik dalam cara merasa, berfikir, berprilaku maupun berkarya. Itulah Tradisi. Dalam Tradisi yang baik tersimpan Keaslian, Kesucian dan Kefitrahan, baik Etis maupun Estetis bahkan Teknis.
Kembali pada meperingati hari jadi Kuningan, berarti mengingat kembali warisan-warisan Tradisi baik Kuningan. Tugas kita harus terus menerus dilakukan, sehingga mengingati tradisi ini sangatlah penting sebagai prinsip-prinsip eksistensi Kita di masa kini. Karena disanalah ada kekuatan bahkan Jati diri Kita. Senada dengan spirit dan anjuran Kitab Suci Al-qur’an, Surat al-Hasr ayat 18, yang berbunyi:
Waltandzur nafsun maa qoddamat lighod
Hendaklah setiap diri memperhatikan masa lalunya untuk masa depannya
Dari spirit Kitab Suci ini para ulama Islam membuat Qoidah Fiqhiyyah dalam hukum Islam, yaitu:
Man Jahila Ashla lam yusbihil far’a Abadan
Barangsiapa yang tidak mengetahui usul, tidak akan memahami cabang selamanya
Lamun di basa sundakeun eta koidah jadina:
Saha nu Tea apal Asal, Mual meunangkeun bakal salawasna
Dan anjuran memperhatiakan Tradisi ini senada dengan Pitutur Karuhun urang, Reshi Prabu Rahiyang Dharmashiksa Raja Saung Galah dan Sunda abad ka 12, dalam Naskah Kuno Sweka Dharma yang diterjemahkeun jadi Naskah Amanat Galunggung, anu kieu unggelna:
Hana Nguni Hana Mangke, Tan Hana Nguni Tan Hana Mangke
Ayana Ayeuna, lantaran ayana Baheula, moal aya Ayeuna, mun taya Baheula
Itulah letak penting dan relevannya akan Tradisi baik, masa lalu Kita. Mari memperingatinya.
Dalam hal metodologi membahas Strategi, Siyasat, Metode dan Cara atau Teknik. Inilah maksud dari kata “STRATEGI DAN SIYASATTRANSFORMASITRADISI’ pada tema di atas.
yaitu Bagiamana Sikap Kita terhadapTradisi ? dalam hal ini Saya meminjam analisanya seorang tokoh pemikir Islam Kontemporer asal Negeri Maroko, yaitu Muhammad Abed AL-Jabiri, ketika menghadapi problem yang sama, yaitu mendamaikan Tradisi dan Modernitas. Tradisi adalah masa lalu yang masih hadir di sini dan modernitas adalah kebaruan-kebaruan kekinian Zaman now. Bersikap terhadap Tradisi itu Beliau menawarkan Strategi yang disebut Objektivikasi dan Rasionalisasi.
Meskipun Tradisi itu mempengaruhi kehidupan Kita hari ini, tetapi Kita tetaplah Subjek dan bukan Ojek yang tenggelam ke masa lalu. Untuk menjadi Subjek hal yang dilakukan adalah proses memisahkan Kita dengan Tradisi dulu, biarkan Tradisi diletakan pada konteks ruang waktu dan konstalasi sosial politiknya. Kita bersikap terhadap Tradisi dengan Objektif. Itulah Objektivikasi.
Tetapi tidak selesai disitu, setalah proses pemisahan dan objektivikasi, dilakukan proses menyambungkan kembali, yaitu menyeleksi sisi tetap dan permanennya dan sisi relevansinya untuk saat sekarang. Itulah proses Rasionalisasi. Yang tetap dari Tradisi adalah nilai murni, suci dan fitrahnya namun nilai yang tetap itu ditarik pada konteks hari ini dengan merasionalisasikannya sehingga sesuai dengan kebutuhan hari ini.
Strategi ini mirip dengan yang dilakukan oleh kalangan Islam Tradisional Indonesia dengan Qoidah Transformasi Soialnya, yaitu:
Almuhafadzotu ala qodimi sholih, wal akhzu bil jadidil ashlah
Memelihara yang dulu yang masih baik dan mengadopsi hal-hal baru yang lebih baik
Dalam Strategi ini ada dua Sayap, yaitu al-muhafadzoh dan Al-Akhdzu artinya Memelihara yang lama dan mengambil yang baru. Dalam Abed Al-Jabiri al-Muhafadzoh itu objektivikasi dan al-akhzu itu Rasionalisasi.
Dengan Strategi mensikapi Tradisi seperti ini, Kita tetap Subjek yang tidak kehilangan pijakan pada kekinian Kita, tetapi tetap terpaut dengan Tradisi Kita yang Sholih. Ibarat Roda pada Delman, poros As-nya adalah Tradisi Kita yang Sholih, dan roda besarnya adalah kekinian Kita. Roda berputar menggelinding menyusuri Zaman sekarang tetapi tidak lepas dari poros Tradisinya yang dihubungkan secara kuat oleh jari-jarinya.
Dalam konteks Tradisi Kuningan, demikianlah kiranya Strategi Kita bersikap terahadap Tradisi Kita. Kita terus belajar untuk mengobjektivikasi terhadap tardisi masa lalu Kita yang kaya dan beragam mulai kurun Kerajaan Sunda-Galuh-Pajajaran, Kerajaan Islam, masa Penjajahan, masa Revolusi Kemerdekaan dan Zaman Modern sekarang ini. Dan menghadirkanTradisi itu untuk diTransformasikan di Zaman now dengan proses Rasionalisasi.
Suatu contoh praktek StrategiTransformasi Tradisi dari salah satu Tradisi Kuningan yang itu sudah menjadi Tradisi Sunda yang Sekarang telah dan sedang dipraktekan di beberapa incu putu sunda di Pangauban atau Wewengkon Putu Sunda di Nusa Jawa Bagian Barat yang Tradisi ini mungkin sudah banyak dilupakan oleh generasi Kita, karena kelupaan akan masa lalu tersebut.
Tradisi Leluhur ini Kita namakan Lakuning Patanjala. Patanjala artinya Aliran Sungai, kecap ini tertulis dalam Naskah Kuno Sunda Swekadharma yang diterjemahkan oleh Atja dan Saleh Danasasmita Tahun 1981 dengan nama Amanat Galunggung, dan tersimpan di Arsip Nasional Koropak 632. Naskah Kuno yang Asli masih tersimpan di Kabuyutan Ciburuy Garut, lereng Gunung Cikuray. Naskah ini dinisbatkan kepada Ajaran Kaweruh Rahiyang Dharmashiksa, Raja Saunggalah Kita.
Sedikit Saya kutip transiletarisnya,”
´Ku na urang ala lwirna Patanjala, pata ngarana cai, jala ngarana apya, hanteu ti burungeun tapa Kita lamuna bitan apwa teya, ongkoh-ongkwah dipilalweun di maneh, genah dina kageulisan, mulah kasimwatan, mulah kasiweuran ka nu miburungeun tapa, mulah kapidenge ku na carek gwareng, ongkwah-ongkoh di pitineungeun di maneh, iya rampes iya geulis
Kita tiru wujud Patanjala, pata berarti Air, jala berarti Sungai, tidak akan sia-sia amal baik Kita, bila (Kita) meniru Sungai itu. Terus tertuju kepada (alur) yang akan dilaluinya, senang akan keelokan, jangan mudah terpengaruh, jangan mempedulikan (hal-hal) yang akan menggagalkan amal baik Kita, jangan mendengarkan ucapan yang buruk, pusatkan perhatian kepada cita-cita sendiri, ya sempurna, ya indah …
Lanjutan teks naskah ini juga berbicara tentang Puncak Gunung, dimana kalau Kita mampu menaikinya, akan mendapat kebahagiaan dan kejayaan. Dan juga ada kecaman keras, bagi para rajaputra, Incuputu Raja, bila tidak bisa menjaga Kabuyutan, apalagi sampai jatuh ke tangan musuh, disebutkan status rajaputra itu leuwih hina batan kulit lasun di Jarian.
Dari Inspirasi Naskah ini, setelah KitaTransformasikan menjadi metodologi dan Kita lakonkan, barulah Kita tahu dan merasa dari kearifan Leluhur Kita itu. Inilah Tradisi yang Kita temukan lagi, setelah sekian lama tersimpan membisu, karena kelupaan Kita.
Proses menamukan, membaca, mentrasformasikannya dalam metodologi dan melaksanaknnya dalam suatu laku inilah Strategi Objektivikasi dan Rasionalisasi atau al-Muhafazoh wal Akhdzu akanTradisiKita itu. Dan inilah yang Kita butuhkan sekarang ini.
Saya lanjutkan. Dari penemuan, Transformasi menjadi laku Kita mengetahui salah satu kearifan Leluhur yang mungkin pada Zamannya dulu pernah menjadi satu hukum dan kebijakan Pemerintahan yang ditaati. Kearifan yang terlahir dari kejernihan berfikir, dan kehalusan rasa bahkan spiritualitas tinggi. Kearifan ini menyangkut hubungan segitiga Kita dengan Tuhan YME, Alam dan sesama mahluk hidup, terutama Manusia.
Bahwa Alam adalah Raung Hidup Kita yang fundamental. Salah satu faktisitas keberadaan Kita selaku Manusia. Dalam sunda disebut Tritangtu, tilu nu Tangtu, nyaeta Wilayah, Wayah jeung Lampah atau Ruang, Waktu dan Dinamika. Manusia berdinamika dalam kungkungan Ruang dan Waktu, pada Wilayah jeung Wayahna. Leluhur Kita telah mengajarkan kearifan bagaiman Lampah itu dibangun hubungan yang harmonis dengan Wilayah dan Wayah-nya.Persis inilah yang hilang dari Kita sekarang ini oleh yang namanya System Pengetahuan Modernitas Barat.
Modernitas Manusia dipacu berdinamika dengan melepaskan hubungan harmonis dengan Alam dan Waktu. Dalam ideology time is money, semua ruang dan waktu adalah Profan. Tak ada ruang dan waktu yang sacral. Sehingga, alam menjadi objek eksploitasi untuk kepentingan teknis dan ekonomis. Semua waktu siang dan malam adalah produktifitas ekonomi mengejar pertumbuhan dan akumulasi modal. Tak ada wayah reureuh dunya, wayah usik batin yang sakral.
Modernitas Barat dibangun dengan Filsafat Antroposentrisme atau Humanisme liberal. Manusia adalah Pusat Keberadaan, sehingga Alam menjadi Objek eksploitasi. Pada gilirannya Manusia Modernitas Barat meneguhkan Ras nya sebagai pusat keberadaan, dimana bangsa lain ditaklukan dan di jajahnya atas nama memperadabkan mereka. Inilah yang terjadi dan terus berlangsung, meskipun sudah banyak kritik dilancarkan oleh ahli fikir kontemporer dari Barat sendiri. Dan Kitapun tahu siapa yang diuntungkan besar dengan formasi Sosial modernitas itu? Betapa sakitnya Kita secara personal dan Sosial jika terus mengidap pengetahuan dari luar yang berkepentingan menaklukan itu.
Dalam Lakuning Patanjala, Kita mengenal ruang itu adalah alam ini, di nusantara ini khusunya di nusa jawa, wabil husus lagi di nusa jawa girang atau jawa barat alam itu topograpinya Gunung-Gunung. Dan raung alam itu ada yang sacral, semi sacral dan profane. Maka dalam konsep Patanjala membagi wilayah gunung pada tiga wilayah besar, yaitu leuweung Larangan, Leueung Tutupan dan leuwung Baladahan. Larangan itu raung sacral, tidak boleh dijamah hanyatuhan yang punya wewenang, leuweung Tutupan itu antara sacral dan profane, dan leweng baladahan itu profane, artinya duniawi.
Alam adalah Gunung. Dan konsep Gunung itu membentang dari puncak disebut Sanghiyang Angkasa hingga muara yang disebut Sanghiang Dampal. Yang menjadi tanda dari puncak Angkasa hingga Muara itu adalah Air dengan Aliran-alirannya yang Kita sebut Sungai. Itulah Lemah Cai, palemahan-palemanan dan pangcaian-pangcaian. Palemahan yaitu hamparan tanah dari puncak tertinggi hingga dampal terendah. Palemahan ini ditumbuhi berbagai jenis Pohon-pohon yang disebut leuweung. Pangcaian-pangcaian yaitu Air yang keluar dari gunung melalui seke-seke dan mengalir ke bawah melalui Sungai yang dalam konsep Patanjala Sungai itu ada tingkatan Solokan, Susukan, Wahangan, Walungan dan semua awor di Sagara. Atau bahasa modernnya mata Air, Das, subdas, mikro das, submikro das dan semua berkumpul di laut. Perhatikanlah nama-nama tempat di tatar sunda ini masih banyak menunjukan palemahan dan pangcaian. Nama tempat dengan jenis pohon dan ci (cai). Ini menunjukan betapa Lemah Cai dalam Tradisi Kita itu senantiasa dipusti-pusti.
Dalam konsep Patanjala Lemah Cai ini disebut Pangauban, yaitu suatu tempat yang di aubi, difasilitasi oleh alam berupa oksigen yang dihasilkan dari pohon-pohon pituin atau endemic, juga Air yang keluar dari seke-seke dan mengalir melalui Sungai-Sungai itu, serta berbagai tanaman pangan yang tumbuh dari palemahan ini. Semua itu adalah unsur-unsur dasar Kita untuk hidup secara ragawi yang nanti maodal ini Kita jadikan tenaga untuk hidup lebih berbudi bakti dalam sebuah nagri.
Lakuning Patanjala sebagai StrategiTransformasiTradisi itu adalah cara mupusti Lemah Cai itu, bukan migusti, tapi mupusti. Karena ada rasa cinta dan syukur yang dalam atas anugrah yang diberikan Tuhan dan rasa tanggung jawab untuk menjaga dan memelihara sumber-sumber kehidupan ini untuk kehidupan yang sutaineble, berkelanjutan sampai ke anak incu.
Pada sisi teknis prakatisnya Patanjala adalah metode Buhun untuk menetapkan dan menata ruang-ruang hidup (Larangan-Tutupan-Baladahan) untuk seluruh mahluk yang lahir dan tumbuh di suatu Pangauban. Jadi tidak hanya untuk Manusia. Tata Ruang model Buhun ini lebih menjamin kesimbangan hubungan-hubungan antara alam dengan Manusia disuatu wilayah. Pada gilirannya model tata ruan gini akanmelengkapi dan memperkaya ilmu Tata Ruang yang biasa Kita gunakan oleh para teknokrat Planologi yang sumber ilmunya dari Eropa, yang tentu berbeda tipologi alam dan budayanya dengan Kita. Dari inilah salah satu yang punya inisiatif model Tata Ruang Buhun dari TradisiKita ini diTransformasikan dalam bentuk peraturan peraturan daerah. Pengelolaan Mata Air, Tata Ruang Hutan, dan Pengelolaan DAS CISANGGARUNG
Bila kita lanjutkan Strategi Transformasi Tradisi Lakuning Patanjala ini, dilakukan pada ranah Sosial politik maka,
Pola tiga, atau Tritangtu, pembagian wilayah fisik Lemah Cai di atas tadi, yaitu wilayah Larangan, Tutupan dan Baladahan, maka Kita bisa menTransformasikannya tiga wilayah fisik itu kepada wilayah atau ruang-ruang Sosial.Tetap pola tiga (Tritangtu) tapi di ruang Sosial namanya jadi Karamaan, Karesian dan Karatuan. Karamaan ibarat wilayah Larangan, Karesian ibarat wilayah Tutupan dan Karatuan ibarat wilayah Baladahan.
- Wilayah Karamaan, adalahtempat makam karomah dan kabuyutan, dimana disini raung axis mundi, perantara antara dunia profane menuju dunia sacral. Lembaga pesantren dengan Pangersa Kasepuhannya yang menjaga kesucian spiritual termasuk dalam wilayah Karamaan.
- Wilayah Karesian, adalah ruang dan tempat budaya, dimana terdapat pendidikan dan pemapanan nilai-nilai, ajen-kinajen seperti solidaritas atau guyub, gotong royong, asah-asih-asuh dan sebagainya. Inilah ruang civil society yang di jaga oleh para budayawan, seniman dan aktivis Sosial. Di Karsian ini juga adalah institusi Legislatif dengan para politisinya, yaitu bertugas Transformasi nilai-nilai kepada peraturan perundang-undangan dn kebijakan penganggaran.
- Wiayah Karatuan, adalah ruang dan tempat pelaksanaan kebijakan pembangunan infrastruktur sosial menyangkut bidang ekonomi, teknologi, kemanan dan pertahanan kawasan. Wilayah karatuan ini dijaga oleh kaum professional dan teknokrat.
Ketiga wilayah Sosialsebagai Transformasi Tradisi itu tidaklah teprisahkan, senantiasa tersambung dalam keserasian dan keseimbangan peran-peran sosialnya. Karenanya mustilah dipelihara dan dijaga keberadaannya.
Demikianlah sekedar contoh Strategi dan Siyasat Transformasi, atau pentasshorufan Tradisi dengan kemoderan Zaman now hari ini.
Lalu, untuk apa semua transformasi dan pentasorufan ini. Tidak lain ini dilakukan dan didayagunakan untuk membentuk lembur matuh banjar karang pamidangan, tata tengtrem kerta raharja, itulah baladil amin. Negeri yang penduduknya aman, damai, bahagia dan sejahtera.
Sebagai Penutup Muhasabah ini, apa yang Saya paparkan tadi adalah penjabaran dari Lambang Kabupaten Kuningan. Lambang atau Simbol itulah lambing dan Simbol Kita. Manusia dan Kebudayaan Kuningan. Itulah cap alam atau blue print dari prinsip-prinisp keberadaan kita. Inilah gambaran ringkas dari Tradisi Kita yang Perlu terus dipegang teguh dan terus ditrasformasikan sesuai dengan kebutuhan dan konteks zaman yang terus bergerak.
Tradisi pertama adalah Alam, sebagai warisan dan ciptaan Tuhan Maha Pemelihara seluruh Alam, warisan ini bagaikan surga, dengan hawanya yang sejuk dan mengalir dibawahnya sungai-sungai yang jernih. Itulah Gunung Ciremay dengan Lima Sungai utamanya. Kita semua dari dulu hingga yang akan datang yang terlahir dan menetap di lemah cai ini adalah Incu Putu Gunung Ciremai yang tersebar di Pangauban Cisanggarung, Cijolang, Cisande, Cijangkelok dan Citaal.
Karena surga ini adalah Tajali sifat Rohman Tuhan maka dia lebih langgeng dari usia kita, dia ada jauh sebelum kita lahir dan akan tetap ada lama setelah kita tiada di dunia ini. Sangatlah tak pantas kita yang datang belakangan merasa lebih berada darinya, kemudian kita secara tidak sopan bertindak untuk menguasai dan mengeskploitasinya demi kepentingan sendiri apalagi bangsa deungeun. Subjek Ksatria bukanlah seperti itu.
Tradisi kedua adalah warisan luhur dari sejarah kemanusiaan Kuningan, ketika tanah dan penduduk ini dibebaskan, dimerdekakan dan terberkahi oleh kesucian lakunya, yang kemudian dijadikan hari jadi. Tradisi luhur kemanusiaan itu bagaikan Emas yang kuning kemilau. Jika kita sekarang jadi tembaga atau perunggu, sadarilah bahwa kita asalnya emas. Jika kita kuningnya adalah kuning kawat kuningan, ketahuilah bahwa kita telah terdistorsi, terbiaskan, hanya seolah-olah. Kuning kita yang asli adalah kuning emas.
Padi dan kapas adalah symbol Baladil amin. Negeri yang penduduknya damai, aman dan sejahtera. Sebuah Lembur matuh banjar karang pamidangan yang tata tengtrem kerta raharja. Etos kerja Rapih winagun kerta raharja tak lain untuk mencapai keadaan Baldil amin tersebut.
Demikian, Refleksi dan Muhasabah Hari Kelahiran kita, sekali lagi ini hanya tawaran gagasan dan ijtihadi sifatnya. Kita harus terbuka untuk terus bersiskusi dan mencari demi kemandirian dan perbaikan bersama. Mohon maaf atas segala kekurangan.
Balungbunga Agung Rahayu rumincing mincing walagri,
Balungbung agung rahayu rumincing manjing walagri,
Bray caang bray narawangan
Wangi diri sanubari
Korejat saringkang ringkah
Rancage hate awaking
Turun ti gunung gumuruh kahujanan ku malati
Rek moyan di pamoyanan
Papanggih jeung urang dami
Anu keur mener ngarajah
Madep ka dayeuh ka wangi
Terimakasih,
Wasalamu’alaikum wr, wb.