KUNINGAN (MASS) – Menikah muda dan langsung dikaruniai anak seringkali dianggap sebagai berkah dan anugerah yang luar biasa dalam kehidupan sebuah keluarga. Kebahagiaan menyambut kelahiran bayi kecil yang mungil seolah menjadi titik awal perjalanan baru yang penuh warna. Namun, di balik tangis dan senyum polos sang buah hati, tersimpan sebuah amanah besar yang menuntut kesiapan tidak hanya secara fisik, tetapi juga secara batin dan jiwa.
Seringkali, pasangan muda belum sepenuhnya menyadari bahwa anak bukan sekadar hadiah yang datang begitu saja, melainkan sebuah tanggung jawab besar yang akan menjadi ujian dan ladang pahala dalam kehidupan mereka. Anak tidak dibekali dengan buku panduan yang dapat dibaca saat kelahiran, juga tidak ada instruksi teknis yang dijelaskan secara rinci di ruang bersalin. Semua harus dipelajari dan dijalani dengan penuh kesungguhan dan ketulusan.
Orangtua muda harus mulai belajar dari nol memahami proses tumbuh kembang anak secara menyeluruh, mengenali tahapan psikologisnya, membangun pola komunikasi yang sehat dan efektif, hingga mengenalkan nilai-nilai agama dan kehidupan yang menjadi fondasi moral anak di masa depan. Semua aspek ini harus dijalankan secara seimbang agar anak tumbuh menjadi pribadi yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga kuat secara emosional dan spiritual.
Tentu saja, perjalanan ini bukanlah hal yang mudah. Banyak tantangan yang menghadang, mulai dari rasa lelah, kebingungan, hingga ketakutan akan kesalahan dalam membimbing sang buah hati. Namun, justru di sinilah letak keagungan peran orangtua. Peran ini menjadi mulia ketika dijalani dengan penuh ilmu, cinta yang tulus, dan kesungguhan yang tak pernah surut. Karena sesungguhnya, mendidik anak adalah bentuk ibadah yang agung, dimana setiap langkah dan perjuangan akan mendapatkan ganjaran yang besar di sisi Allah SWT.
Dengan pemahaman ini, pasangan muda diharapkan mampu menyikapi fase awal keorangtuaan bukan sebagai beban, melainkan sebagai kesempatan berharga untuk tumbuh bersama anak, memperbaiki diri, dan membangun keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Artikel ini hadir sebagai panduan dan inspirasi agar orangtua muda dapat menjalankan amanah mulia ini dengan penuh keyakinan dan kebijaksanaan.
Bagian 1: Tantangan Khusus Orangtua Muda di Era Modern
1.1 Minimnya Bekal Psikologis dan Spiritual
Sebagian besar pasangan muda belum benar-benar mengenal dirinya sendiri saat menjadi orangtua. Mereka masih mencari jati diri, belum stabil secara emosi, dan kadang membawa luka masa kecil yang belum selesai. Akibatnya, banyak yang secara tidak sadar mewariskan pola-pola asuh yang tidak sehat.
Contoh:
- Orangtua yang dulu dibesarkan dengan kekerasan cenderung otoriter.
- Orangtua yang merasa diabaikan cenderung menjadi overprotektif.
Padahal, tugas orangtua bukan hanya memberi makan dan pakaian, tetapi membangun jiwa dan karakter anak dengan stabilitas emosional dan spiritual.
1.2 Distraksi Digital dan Kecanduan Layar
Generasi muda saat ini sangat terhubung dengan teknologi. Namun, ini menjadi tantangan ketika perhatian orangtua lebih banyak tersita oleh media sosial daripada anaknya sendiri. Banyak anak yang merasa diabaikan secara emosional karena orangtuanya “hadir fisik tapi tidak hadir jiwa”.
Solusi:
- Terapkan zona bebas gadget saat bersama anak.
- Gunakan media digital untuk edukasi, bukan sekadar hiburan.
1.3 Tuntutan Sosial dan Tekanan Finansial
Banyak pasangan muda merasa harus mengejar karier, membangun usaha, atau menstabilkan ekonomi sambil mengasuh anak. Kombinasi tekanan ini bisa melahirkan stres dan kelelahan berkepanjangan jika tidak diimbangi dengan manajemen waktu dan pembagian peran yang baik.
Bagian 2: Prinsip Dasar Pola Pendidikan Anak Usia Dini dalam Islam
2.1 Anak Lahir dengan Fitrah
Nabi Muhammad ﷺ bersabda:
“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka kedua orangtuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam Islam, anak terlahir dengan potensi kebaikan. Orangtualah yang bertugas menjaga fitrah itu dengan:
- Memberikan pendidikan tauhid sejak dini.
- Menanamkan akhlak dengan keteladanan.
- Menjaga anak dari lingkungan yang rusak secara moral.
2.2 Tiga Tahap Emas Pendidikan Anak (0–21 Tahun)
Ibnu Khaldun dan Imam Al-Ghazali membagi fase pendidikan anak menjadi:
- 0–7 tahun: fase kasih sayang, cinta tanpa syarat, dan pembentukan rasa aman.
- 7–14 tahun: fase pembiasaan, kedisiplinan, dan pelatihan tanggung jawab.
- 14–21 tahun: fase dialog, kemandirian, dan penguatan identitas.
Orangtua muda perlu memahami bahwa mendidik anak tidak bisa diseragamkan. Harus ada kesadaran fase dan pendekatan yang tepat di setiap tahap tumbuh kembang anak.
Pendidikan dalam Islam bersifat holistik: tidak hanya fokus pada aspek intelektual, tetapi juga mencakup pengembangan fisik, emosional, sosial, dan spiritual. Anak perlu distimulasi secara fisik dengan aktivitas motorik, diberi ruang berpikir melalui eksplorasi dan tanya jawab, serta dibimbing secara ruhani lewat ibadah, kisah teladan, dan dzikir.
Islam tidak memisahkan dunia dan akhirat. Maka pendidikan pun harus mencetak anak yang cerdas di sekolah, terampil di kehidupan, dan taat di hadapan Allah.
Imam Malik pernah berkata kepada anak-anak muridnya, “Pelajarilah adab sebelum kalian mempelajari ilmu.” Dalam Islam, adab adalah pondasi ilmu. Anak yang diajari ilmu tanpa adab bisa menjadi cerdas tapi congkak, pintar tapi tidak santun.
Oleh karena itu, sejak dini anak perlu dibiasakan dengan adab-adab Islami: cara makan, berbicara, menghormati orang yang lebih tua, menjaga kebersihan, dan sebagainya. Adab yang dibentuk sejak kecil akan menjadi karakter yang melekat hingga dewasa
Bagian 3: Pilar Pola Pendidikan Orangtua Muda
3.1 Ilmu Sebelum Amal
Banyak orangtua muda ingin anaknya menjadi “soleh” dan “berprestasi”. Namun, jika tidak dibekali ilmu yang benar, keinginan itu bisa salah arah: menjadi ambisi, bukan amanah.
Langkah konkret:
- Ikuti kelas parenting (offline maupun online).
- Konsultasi dengan guru/ustaz jika ada kebingungan dalam mengasuh.
- Membaca buku parenting Islami yang kredibel.
“Sesungguhnya menuntut ilmu itu wajib atas setiap Muslim.”
(HR. Ibnu Majah)
3.2 Komunikasi yang Penuh Empati
Anak bukan hanya butuh nasihat, tapi juga butuh didengarkan. Komunikasi satu arah akan membuat anak menutup diri. Sebaliknya, komunikasi yang penuh empati akan mempererat kedekatan emosional.
Tips komunikasi efektif:
- Tatap mata anak saat berbicara.
- Validasi perasaannya sebelum memberi solusi.
- Jangan memotong cerita anak, meskipun tampak sepele.
3.3 Disiplin Positif, Bukan Hukuman
Disiplin bukan berarti menghukum. Disiplin berarti membimbing anak agar tahu apa yang benar dan apa yang salah dengan cara yang sehat dan membangun.
Langkah:
- Buat aturan yang jelas dan konsisten.
- Gunakan konsekuensi logis, bukan ancaman atau kekerasan.
- Beri reward untuk perilaku positif.
3.4 Menjadi Role Model
Anak belajar paling cepat bukan dari ceramah, tapi dari contoh nyata. Jika ingin anak mencintai Al-Qur’an, biarkan dia melihat ayah bundanya membacanya setiap hari. Jika ingin anak santun, maka bersikaplah lembut saat berbicara padanya dan pada pasangan.
Bagian 4: Solusi dan Rekomendasi Praktis
Mengasuh anak sambil membangun rumah tangga dan mengatur kehidupan sosial serta pekerjaan tentu bukan perkara mudah. Itulah mengapa diperlukan manajemen waktu dan peran yang bijak. Jadwal harian bukan hanya tentang efisiensi, tapi juga tentang menghadirkan kehadiran yang bermakna bagi anak dan pasangan.
Berikut ini adalah contoh jadwal harian yang bisa menjadi panduan fleksibel bagi orangtua muda, terutama yang memiliki anak usia dini (0–7 tahun):
🕓 Subuh – Pagi Hari (04.30 – 07.00)
Waktu Spiritual dan Awal yang Tenang
- Bangun, sholat tahajud dan Subuh berjamaah.
- Dzikir pagi dan doa bersama anak (meskipun masih kecil).
- Menyusui/sarapan ringan sambil memeluk anak.
- Ayah/Ibu bisa membacakan satu ayat Al-Qur’an atau kisah teladan secara ringan.
- Persiapan aktivitas harian dengan suasana yang tenang dan penuh syukur.
Catatan: Suasana hati anak dan orangtua di pagi hari sangat memengaruhi kualitas hari tersebut. Maka, mulailah hari dengan ketenangan dan spiritualitas.
🕗 Pagi – Menjelang Siang (07.00 – 11.00)
Waktu Stimulasi dan Aktivitas Edukatif
- Aktivitas motorik dan sensorik anak: bermain di luar, mengenal lingkungan, permainan edukatif.
- Orangtua bisa menyisipkan stimulasi belajar melalui permainan: mengenal warna, angka, benda sekitar.
- Jika anak sudah usia 3–6 tahun, bisa dikenalkan rutinitas sederhana seperti merapikan tempat tidur, menyapu bersama, atau membantu kecil di dapur.
- Orangtua yang bekerja bisa menyapa anak sejenak sebelum berangkat agar anak tetap merasa diperhatikan.
🕛 Siang (11.00 – 14.00)
Waktu Istirahat dan Ketenangan
- Makan siang bersama.
- Rutinitas sholat Dzhuhur berjamaah.
- Bimbing anak tidur siang dengan dongeng atau dzikir pendek.
- Orangtua juga bisa gunakan waktu ini untuk istirahat atau evaluasi kegiatan pagi.
🕒 Sore (14.00 – 17.00)
Waktu Berkualitas dan Kegiatan Fisik
- Aktivitas luar rumah: jalan sore, menyiram tanaman, bersepeda, main bola kecil.
- Latih empati anak: memberi makan kucing, menyapa tetangga, berbagi cemilan.
- Bimbing anak sholat Ashar bersama.
- Ajak anak membaca buku cerita, mengenal huruf, atau menonton video edukatif Islami secara terbatas.
Tips: Ini waktu yang penting untuk menjalin kedekatan emosional setelah tidur siang. Sentuhan, pelukan, dan senyuman sangat efektif menenangkan anak di sore hari.
🕖 Maghrib – Malam (17.30 – 20.30)
Waktu Spiritualitas dan Refleksi
- Ajak anak mandi sore, mengenakan baju bersih, dan menyiapkan suasana tenang.
- Sholat Maghrib dan Isya berjamaah, walau si kecil belum sempurna gerakannya.
- Mengajarkan doa-doa pendek dan dzikir sebelum tidur.
- Bercerita tentang kisah Nabi, sahabat, atau pengalaman harian anak.
- Evaluasi harian: tanya anak apa yang ia pelajari atau rasakan hari ini.
🕘 Malam Akhir (21.00 – 22.30)
Waktu Pasangan dan Diri Sendiri
- Setelah anak tidur, gunakan waktu ini untuk membangun hubungan dengan pasangan: ngobrol ringan, berdiskusi soal pendidikan anak, atau menonton bersama.
- Bisa juga digunakan untuk mengaji, journaling, menulis refleksi, atau belajar parenting online.
- Tidur dengan doa dan pasrah kepada Allah setelah lelah mendidik anak seharian.
Pesan: Waktu ini krusial untuk menghindari “burn out”. Orangtua muda yang cerdas tahu bahwa mereka juga butuh waktu untuk saling menguatkan dan terus belajar.
🔄 Catatan Penting:
- Jadwal ini bukan aturan baku, melainkan panduan fleksibel. Disesuaikan dengan kondisi masing-masing keluarga.
- Yang paling penting: konsistensi, kebersamaan, dan makna di balik setiap aktivitas, bukan kuantitas atau kemewahan.
- Libatkan anak dalam rutinitas sederhana agar ia merasa “berarti” dan “dibutuhkan” sejak dini.
Bagian 5: Penutup
Mendidik Anak adalah Jalan Menuju Surga
Dalam setiap peluh yang menetes saat bergadang menenangkan bayi, dalam setiap kesabaran menghadapi tantrum balita, dan dalam setiap doa yang terucap lirih saat anak mulai mengenal dunia—di sana tersimpan pahala yang tak terhingga. Mendidik anak bukan hanya tugas duniawi, tetapi jalan menuju surga yang terbuka lebar bagi siapa pun yang menjalaninya dengan ikhlas dan tanggung jawab.
Islam memuliakan peran orangtua. Bahkan, dalam Al-Qur’an dan hadis, begitu banyak ayat dan sabda Rasulullah ﷺ yang menekankan betapa besar ganjaran bagi mereka yang mendidik keturunan dengan baik. Seorang anak yang shalih dan shalihah tidak hanya menjadi penyejuk mata di dunia, tetapi juga menjadi penyelamat orangtuanya di akhirat. Doa anak yang tulus adalah amal jariyah yang terus mengalir, bahkan setelah orangtua tiada.
Namun, untuk sampai ke titik itu, dibutuhkan perjuangan yang tidak ringan. Terlebih bagi pasangan muda yang masih belajar, bertumbuh, dan menyesuaikan diri dengan peran baru sebagai ayah dan ibu. Di sinilah pentingnya kesadaran bahwa anak bukan sekadar anugerah untuk dibanggakan, tetapi amanah untuk dipelihara, dibimbing, dan dibentuk menjadi insan bertakwa.
Mendidik anak dengan ilmu, cinta, dan nilai-nilai Islam adalah bentuk ibadah panjang yang akan meninggalkan jejak kebaikan lintas generasi. Karena sejatinya, keluarga yang kuat dimulai dari pendidikan yang benar. Dan bangsa yang mulia, lahir dari rumah-rumah yang menanamkan nilai tauhid sejak buaian
Tidak ada orangtua yang sempurna. Tapi setiap orangtua bisa menjadi lebih baik jika ia mau terus belajar dan memperbaiki diri.
Menjadi orangtua muda adalah ujian sekaligus karunia. Di tangan mereka, masa depan umat bisa terbentuk. Anak-anak hari ini adalah calon pemimpin masa depan. Maka peran mendidik bukan sekadar tugas rumah tangga, tapi proyek peradaban jangka panjang.
“Dan orang-orang yang beriman, serta anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami pertemukan mereka dengan anak cucu mereka di surga.”
(QS. Ath-Thur: 21)
Penulis: Eka Sukmana, seorang pelajar dan pengajar yang lahir di Kuningan Jawa Barat. Aktivitas sehari-hari yaitu mengajar di Pondok Pesantren Terpadu Al-Multazam, kemudian memberikan kursus yang bergerak dalam dunia pendidikan di beberapa lembaga secara online (daring) dan tatap muka (luring).
