KUNINGAN (MASS) – Hari Arafah adalah hari kesembilan dalam bulan Dzulhijjah, sekaligus hari kedua dalam rangkaian ibadah haji. Ia dikenal sebagai puncak haji, ketika jutaan jamaah dari berbagai penjuru dunia berkumpul di Padang Arafah untuk melaksanakan wukuf.
Dalam tradisi Islam, Hari Arafah adalah hari yang amat istimewa. Pada hari ini, Allah Swt., membanggakan hamba-Nya yang berkumpul di Arafah di hadapan para malaikat.
Hari Arafah juga menjadi momentum yang dimuliakan bagi umat Muslim di seluruh dunia, yang dianjurkan untuk berpuasa. Dalam sebuah riwayat disebutkan, puasa di Hari Arafah mampu menghapus dosa-dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang.
Hari Arafah adalah puncak harapan para tamu Allah Swt. Di sinilah doa-doa dilangitkan, permohonan dikabulkan, dan jiwa-jiwa dibersihkan. Rasulullah Saw., bersabda:
“Sesungguhnya Allah Swt., memberikan banyak anugerah kepada orang-orang yang wukuf di Arafah, seraya membanggakan mereka di hadapan para malaikat dan berfirman: ‘Wahai para malaikat-Ku, lihatlah hamba-hamba-Ku yang lusuh dan berdebu, datang kepada-Ku dari segala penjuru yang jauh. Maka saksikanlah bahwa Aku telah mengabulkan doa-doa mereka, mengabulkan permohonan mereka, memberikan ampunan bagi yang bersalah di antara mereka, dan mengabulkan semua permintaan mereka, kecuali yang berkaitan dengan hak sesama.’” (HR. Abu Ya’la).
Hari ini, 9 Dzulhijjah atau yang dikenal sebagai Hari Arafah, umat Islam merenungi sebuah makna penghambaan dan pengharapan. Bertepatan dengan hari yang agung ini, di Kuningan, Sekolah Tinggi Ilmu Syariah Husnul Khotimah (STISHK) memulai sesuatu yang tampak sederhana, yaitu pertemuan pertama Kelas Kata, yang merupakan sebuah bagian dari Program Literasi STISHK Kuningan.
Tapi benarkah ini sekadar kebetulan? Tentu tidak. Mungkin, ini bukan hanya awal dari sebuah kelas menulis, melainkan awal dari perjalanan spiritual dalam bentuk lain, yakni perjalanan melalui kata-kata.
Arafah adalah tentang niat yang jernih, perenungan mendalam, dan harapan akan pengampunan. Begitupun dengan menulis. Setiap penulis, tanpa terkecuali, memulainya dari niat: ingin didengar, ingin mengenal diri, ingin berbagi makna, atau sekadar ingin jujur pada diri sendiri. Maka, memulai kelas literasi di Hari Arafah bukan hanya soal penjadwalan teknis, tetapi sebuah isyarat spiritual, ‘Kami ingin menulis dengan hati’.
Pertemuan pertama Kelas Kata bukan diisi dengan teori, teknik, atau struktur narasi. Hari ini, peserta diajak untuk menyelam ke dalam diri. Mereka berbagi dalam percakapan santai namun bermakna, tentang, “Kenapa aku memilih bergabung di forum ini? Apa yang ingin aku capai melalui kelas ini?”
Seperti halnya jamaah haji yang berkumpul di Arafah, para peserta Kelas Kata pun berkumpul dalam “padang sunyi” mereka masing-masing, menyimak suara hati, mendengar bisikan cita-cita, dan mulai menyampaikannya dengan jujur. Mungkin mereka tidak berada di Mekkah, tetapi mereka pun seolah melakukan wukuf dalam diam, di hadapan kata-kata, di hadapan niat. Karena menulis, seperti halnya berdoa, membutuhkan kesungguhan. Dan setiap kata yang dituliskan dari hati tidak akan pernah sia-sia. Ia akan menemukan jalannya sendiri, seperti doa yang mengetuk langit.
Hari ini, semua peserta Kelas Kata memulai dengan harapan agar forum ini menjadi semacam “Arafah kecil” bagi mereka. Tempat mereka menelusuri kata, merefleksi hidup, dan menanam harapan. Tempat untuk tidak hanya belajar menulis, tetapi juga belajar memulai. Sebagaimana Arafah menjadi titik balik bagi banyak jiwa, semoga Kelas Kata menjadi titik awal bagi lahirnya kata-kata yang jujur, menyentuh, dan bermakna.***
Oleh : Husnul Khotimah
LP3M STISHK Kuningan
