KUNINGAN (MASS) – Balai Taman Nasional Gunung Ciremai (BTNGC) bakal dilaporkan Ketua Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Kabupaten Kuningan Asep Susan Sonjaya Suparman atau yang kerap disapa Asep Papay, ke Menteri Kehutanan Republik Indonesia (Menhut RI) Raja Juli Antoni yang juga Sekjen PSI.
Rencana itu, dibocorkan Asep Papay ke Kuninganmass.com pada Kamis (22/5/2025) malam. Laki-laki yang aktif di bidang sosial kemanusiaan serta lingkungan itu, mulanya menyoroti ketidaksepakatan kedudukan statement yang dilontarkan oleh pihak BTNGC soal longsor Cilengkrang. Eloknya, kata Asep Papay, BTNGC lebih bisa komunikatif memberikan informasi terhadap publik secara baik.
“Bukan langsung tendensi membela tempat wisata yang dituduhkan oleh masyarakat dan malah memberikan syok statement dengan narasi masyarakat harus cerdas. Padahal jelas analisa sederhananya bahwa selama ini walaupun terjadi intensitas hujan deras tetapi tidak pernah terjadi longsor atau banjir,” ujarnya.
“Setelah keberadaan pembangunan tempat wisata tersebut, kini terjadi longsor, analisa ini harusnya BTNGC lebih bijak bahwa akan dilakukan penelusuran penyebab, atau investigasi lingkungan, atau bahkan akan ditinjau ulang segala bentuk aktivitas pada kawasan tersebut, sehingga kepentingan apapun yang terdepan adalah kepentingan masyarakat,” imbuhnya.
Selain soal insiden longsor, Asep Papay juga menyoal kinerja BTNGC tentang penetapan Zona Tradisional oleh TNGC, terutama pada tujuan diberlakukan zona tradisional tersebut apakah memang hari ini bisa diukur hasil evaluasinya. Karena, lanjutnya, hari ini terdapat menyadapan ilegal getah pinus pada kawasan TNGC. Sedangkan, kelompok masyarakat yang melakukan penyadapan ini berlindung pada dasar hukum zona tradisional, dan pihak TNGC seperti tutup mata.
Dijelaskan oleh Asep Papay bahwa penunjukkan kawasan Gunung Ciremai menjadi Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) oleh Menteri Kehutanan dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.424/Menhut-II/2004 seluas15.500 ha atas usulan Pemerintah Daerah Kabupaten Kuningan dan Kabupaten Majalengka berdasarkan analisa keberadaan sumberdaya alam hayati dan ekosistem Gunung Ciremai bagi keberlangsungan hidup manusia yang ada di sekitarnya, terutama ketersediaan air bersih.
Kemudian, lanjutnya, ditetapkan melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan 3684/Menhut-VII/KUH/2014 tanggal 8 Mei 2014 tentang Penetapan Kawasan TamanNasional Gunung Ciremai seluas ± 14.841,3 (empat belas ribu delapan ratus empat puluh satu koma tiga) hektar yang terletak di Kabupaten Kuningan dan Majalengka, Provinsi Jawa Barat.
Lalu terdapat usulan dari masyarakat desa penyangga untuk dilakukan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) berupa getah pinus dengan dasar Peraturan Direktur Jenderal KSDAE Nomor P.6/KSDAE/SET/KUM/6/2018. Selanjutnya BTNGC kemudian melakukan review zonasi dan menetapkan adanya zoba tradisionalseluas 1.818 ha yang sebelumnya adalah zona rimba dan rehabilitasi melalui Keputusan Direktur Jenderal KSDAE Nomor. SK.193/KSDAE/RKK/KSA.0/10/2022.
“Dari analisa zona tradisional tersebut, bisa juga mungkin kami mensinyalir bahwa kawasan-kawasan lain itu hanya digunakan untuk kepentingan kelompok berkepentingan saja, atas nama wisata, atas nama masyarakat tetapi tidak diimbangi secara ketat dampak lingkungan, evaluasi secara berkala terhadap aktivitas nya dikawasan. Jangan-jangan kinerjanya ya setalah ada kejadian baru berstatemen alasan alam, cuaca, hujan dan lain-lain, mirip dengan komentar longsor Cilengkrang kemarin itu,” kata Asep Papay.
“Dari fenomena yang terjadi ini, kami dari PSI selaku struktural politik dari Menteri Kehutanan akan membawa poin-poin hasil evaluasi kepada Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni selaku Sekretaris Jendral PSI,” tandasnya lagi.
Disebutkan, usulan permohonan penyadapan pinus diajukan pada tahun 2021 oleh 24 kelompok masyarakat lingkup Kab Kuningan dan Majalengka, namun karena zona tradisionalnya belum ada maka perlu review zonasi. Dan pada tahun 2022 sudah ditetapkan zona baru, yaitu zona tradisional seluas 1.800 ha. Masyarakat yang mengusulkan penyadapan, kata Papay, akhirnya melakukan aktivitasnya walaupun belum ada ijin.
Kondisi saat ini, Papay mengurai ada ada 19 kelompok masyarakat melakukan pemanenan getah pinus secara massif dan mendapatkan hasil dari pemanenan tersebut. Berdasarkan hasil inventarisasi, kata Papay, terdapat informasi bahwa pemanenan getah pinus pada 6 kelompok (Cisantana, Seda, Bantaragung, Payung, Cikaracak, Gunung Wangi dan Gunung Manik) mencapai 32 ton/bulan dengan penghasilan Rp 576.000.000,- dengan asumsi harga jual getah Rp 18.000/kg.
Namun yang dianggap tidak fair, Asep Papay menyinggung soal kelompok masyarakat lain –dibawah binaan PWNU- yang mengurus ijin sesuai regulasi bahkan belum melakukan aktivitas apapun di tingkat tapak. Ia memprediksi situasi yang ditimbulkan TNGC ini bisa memantik konflik antara kelompok masyarakat.
“Sulit membendung masuknya usulan pemungutan HHBK berupa getah pinus dari kelompok masyarakat yang lain,” sebutnya di akhir. (eki)
